By : Novianti
Setelah Presiden, Wapres, Menag, Mendikbud, Menkopolhukam, giliran Menkeu, Ibu Sri Mulyani menyatakan kekhawatirannya pada radikalisme. Dilansir dalam detikfinance.com (23/12/2019), menurutnya radikalisme bisa mempengaruhi kinerja ASN di lembaga yang dipimpinnya. Keresahan Menkeu ini berkaitan dengan pajak, hutang, belanja infratruktur yang merupakan bagian dalam pengawasannya sering menjadi komoditas politik. Menurutnya ini bisa menimbulkan perpecahan di kalangan ASN Depkeu dan berdampak pada lambatnya layanan birokrasi dan perizinan yang ujungnya menghambat investasi dan perekonomian.
Pajak merupakan penopang terbesar keuangan negara. Negara memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap rakyat pemberi pajak. Pemerintah berupaya melakukan berbagai langkah untuk meraup pajak dari rakyat. Di tahun 2020 Menkeu akan menggenjot penerimaan.negara dengan melihat segala yang berpotensi meningkatkan pajak seiring dengan perkembangan perusahaan berbasis digital (Kontan.co.id, 19/8/2019).
Namun, dengan kemunculan gaya para pejabat yang hidup mewah, korupsi makin menjadi jadi, rakyat makin mual. Yang korupsi pun tidak jauh-jauh. Mereka yang berada di lingkaran kekuasaan. Sehingga hukuman mati bagi koruptor sudah bisa dipastikan sebatas wacana yang tak akan pernah direalisasikan. Kasus terakhir yang menggegerkan adalah gagal bayar BUMN Jiwasraya pada para nasabahnya yang sudah jatuh tempo. Bahkan tidak hanya itu, negara berpotensi mengalami kerugian sebesar 13.7 triliun.
Lagi-lagi rakyat yang sudah dipaksa urunan dirugikan. Uang yang disetor ke negara dihambur-hamburkan untuk membiayai gaya hidup mewah para pejabatnya dan pengelolaan negara yang amburadul. Di saat yang sama, hutang negara terus bertambah dan ini akan menjadi beban rakyat turun temurun. Hutang bisa mengancam kedaulatan negara. Ujung-ujungnya, suka tak suka kantong rakyat dirogoh sedalam-dalamnya untuk membayarnya.
Dalam sistem kapitalisme, pajak memang menjadi andakan pemasukan negara. Negara malah harus kreatif mengulik-ulik mencari celah apalagi yang bisa dipajaki dari rakyat. Bahkan hingga titik darah penghabisannya.
Pajak dalam Islam.
Secara historis pajak adalah warisan Kerajaan Romawi dan Persia. Di era keduanya, rakyat dibebani berbagai kewajiban pajak yang membuat rakyat menderita dan sekarat. Pajak rakyat digunakan untuk membiayai perang diantara dua negara adigdaya ini dan menopang gaya hidup penguasanya. Dampakny pajak telah membuat penurunan ekonomi, rakyat harus kehilangan tanah sehingga warga asli Romawi pun keberatan terhadap pungutan pajak ini.
Karenanya, saat wilayah Mesir dikuasai Islam, rakyatnya menyambut gembira. Mereka sudah mendengar keadilan yang diterapkan Islam. Amr bin ‘Ash sebagai pembuka Islam di Mesir menutup pintu pajak dan kebijakan ini disambut dengan suka cita.
Islam memandang pajak adalah haram. Ini sesuai sabda Nabi shollalloohu ‘alaihi wassalam: “Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara dzalim).” (HR. Abu Daud).
Dalam pandangan Islam, pajak tidak diperhitungkan sebagai pemasukan negara. Pajak hanya berfungsi sebagai stabilitas dan isidental. Ketika kas negara kosong, orang-orang kaya muslim dimintai pajaknya. Jadi tidak seluruh warga dikenai pajak seperti sekarang. Dan manakala kekosongan kas negara sudah teratasi, maka pajak pun harus dihentikan.
Lantas darimana negara mengongkosi keperluannya? Negara harus memaksimalkan potensi yang bisa menjadi pos pendapatan yang halal. Pos-pos tersebut berupa kekayaan alam yang berlimpah ruah milik umat. Semuanya dikelola negara untuk umat dan negara tidak mengambil keuntungan darinya. Pos yang lainnya seperti fai, kharaz, dan lain-lain.
Jika keuangan negara defisit, pajak bukan opsi pertama. Negara akan melakukan pemetaan terlebih dulu untuk menentukan skala prioritas pengeluaran. Jika masih kekurangan, negara mendorong para orang kaya berkorban, bahkan mekanisme negara berhutang pada orang kaya yang kelebihan harta dimungkinkan.
Sumber-sumber pemasukan negara dijaga kehalallan dan keberkahannya. Transaksi ribawi termasuk hutang berbasis riba tidak akan pernah dilakukan negara. Negara tidak akan membuka investasi asing untuk mengelola milik rakyat. Jka ini dilakukan, negara telah mendzalimi rakyatnya sendiri. Padahal Allah telah berfirman :”Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat dzalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat adzab yang pedih.”(QS. Asy Syura : 42).
Perlakuan baik oleh negara terhadap rakyat akan membuat rakyat giat bekerja, para pengusaha terus mengembangkan harta dengan cara yang halal dan tak segan menyumbangkannya untuk negara. Terbentuk masyarakat yang saling menanggung dan menjamin agar negara tetap berlangsung sebagai pengayom rakyat, pelindung terhadap aqidah, jiwa, harta, darah dan akal rakyatnya.
Sehingga bisakah negara kita bebas pajak? Bisa. Lepaskan ikatan kapitalisme dari sistem negara dan penguasa hanya berkhidmat pada Allah dengan menerapkan islam secara kaffah. Melalui ini, terwujud negara bebas pajak yang benar-benar membangun negara dan dalam ridlo Allah Subhana wa Ta’ala.
Post a Comment