By : Fajarwati
Ironis. Sebuah negeri yang kaya raya, gemah ripah loh jinawi, namun masih ada kasus stunting. Stunting dikenal sebagai kondisi gagal tumbuh pada balita. Hal ini umumnya disebabkan karena kekurangan gizi kronis terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Lebih ironis lagi, ketika pejabat negara memberikan solusi masalah tersebut secara asal-asalan. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengusulkan agar satu keluarga memelihara ayam untuk memenuhi kebutuhan gizi anak. Ia mengatakan pemenuhan gizi anak bisa dilakukan dengan memberi asupan telur dari ayam yang dipelihara tersebut. (m.cnnindonesia.com/nasional/20191115134801-20-448667)
Pertanyaannya, apakah ketika telur dan ayam berlimpah kemudian masalah stunting usai? Juga, apakah gampang bagi setiap keluarga memelihara ayam?
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2019 mencapai 25,14 juta jiwa atau sekitar 9,82% dari total penduduk. (http://www.bps.go.id/pressrelease/2019/07/15/1629).
Inilah sebenarnya faktor penyebab utama adanya gizi buruk di negeri ini. Bukan karena rakyat memiliki ternak ayam, atau tidak. Ketidakmampuan mereka untuk membeli makanan bergizi ini karena dua hal. _Pertama_ karena rendahnya penghasilan. _Kedua_ , makanan bergizi dipatok dengan harga yang tidak terjangkau oleh mereka. Hanya orang tertentulah yang kemudian mampu menikmatinya. Semua masalah diatas disebabkaan karena ketiadaan jaminan kesejahteraan bagi rakyat oleh pemerintah.
Ekonom dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manan membenarkan bila orang-orang kaya di Indonesia merupakan kelompok utama yang menikmati pertumbuhan ekonomi di tanah air. Hal ini diketahui dari distribusi kekayaan dan pengeluaran. Berdasarkan lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, kata Manan, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 46 persen kekayaan di tingkat nasional. Inilah ironis berikutnya.
Dari data di atas, memberi pertanda adanya ketimpangan distribusi kekayaan di negeri ini. Hargalah kemudian yang menjadi penentu sekaligus distribusi distribusi tersebut.
Kemiskinan identik dengan keterbatasan daya beli. Makanan dengan kwalitas dan kuantintas tertentu, hanya dapat terdistribusi kepada mereka yang mampu. Tak terjangkau buat mereka yang tidak mampu. Mereka bahkan sama sekali tidak mendapatkan makanan tersebut, meskipun memiliki kesadaran akan pentingnya makanan bergizi. Apalah arti kesadaran, jika keterpurukan mereka menjadi masalah utamanya.
Maka, permasalahan gizi buruk ini tidak tepat, jika dikembalikan kepada keluarga dan masyarakat saja dengan memberikan 'ayam yang nantinya bisa bertelur'. Alih-alih bukan telur yang didapat, malahan kotoran ayam yang harus diselesaikan.
Inilah ironi dari sebuah negara yang berdasar pancasila namun sejatinya menganut sistem kapitalis. Dalam sistem kapitalis, semua permasalahan masyarkat akan di kembalikan kepada individu sedangkan negara hanya sebagai fasilitator. Gagasan satu ayam satu orang adalah bukti lepasnya tanggung jawab negara atas permasalah gizi buruk yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya.
Tentu ini berbeda jauh dengan sistem Islam yang menjamin kebutuhan pokok rakyatnya. Baik berupa kebutuhan akan sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. Jaminan itu diperuntukkan bagi semua warga, muslim atau non muslim. Pemimpin dalam Islam harus benar-benar memastikan masing-masing individu dalam masyarakat mendapatkan kebutuhan pokok tersebut. Inilah prioritas utama yang diperhatikan negara, selain juga menjamin setiap kepala keluarga bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Dalam perspektif Islam, pemimpin adalah penanggung jawab urusan dan kemaslahatan rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas hal itu di hadapan Allah SWT. Nabi saw. bersabda :“Seorang imam (pemimpin) pengatur dan pemelihara urusan rakyatnya; dia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya”(HR. al-Bukhari dan Muslim).
Keterpurukan negeri ini telah membangkitkan semangat rakyat untuk mengambil kembali islam sebagia solusi yang diterapkan oleh negara di semua lini kehidupan. Dengan diterapkan s8stem Islam, semua menjadi mulia. Tidak hanya penguasa yang berusaha taat dalam menjalankan roda pemerintahan, namun rakyat juga giat berlomba dalam amar makruf nahyi munkar. Benar-benar, islam sebagai rahmat bagi seluruh alam bisa terwujud dengan diterapkanya sistem Islam. Itulah sistem Khilafah Islamiyah.
Post a Comment