Identitas Partai Politik

Oleh : Shafayasmin Salsabila 
(Revowriter Indramayu) 

Menarik apa yang disampaikan oleh Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan saat penutupan Silaknas dan Milad Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Seakan baru tersadar akan satu hal, bahwa daya pikat agama kian pudar. Ketua Dewan Pakar ICMI tersebut menuturkan saat delapan bulan berkampanye dengan menjual isu agama dalam arti positif, ternyata publik lebih membutuhkan kebijakan yang bisa dirasakan manfaatnya secara langsung.

Pil pahit harus ditelan, PAN dipaksa puas berada di posisi ke delapan dalam pemilu lalu. Saat isu agama dianggap sudah tak laku, maka solusi pragmatis menjadi jurus terakhir. Beliau memberikan pernyataan sekaligus penegasan, "Jadi bukan jualan agama yang diharapkan, tapi apa kebijakan berdampak yang bisa ditawarkan kepada masyarakat," (antaranews.com, 8/12/2019) 

Ironis, tatkala Indonesia dengan penduduk mayoritas Muslim justru enggan melabuhkan pilihan pada partai bernuansa Islam. Apakah umat telah berpaling hatinya, atau hal ini dipengaruhi oleh menguatnya pemikiran sekuler dalam sistem Demokrasi? 

Romantisme Partai dan Umat
Berbeda dengan masa orde baru, kini partai politik jumlahnya banyak, lebih dari tiga. Sebagian bernapaskan Islam, sebagian besar lainnya memerdekaan dirinya dari cipratan wacana surga-neraka. Gesekan diantara keduanya malah mengakibatkan umat amnesia dari hakikat partai itu sendiri. Sibuk memilih sambil menutup mata mereka. 

Dalam Islam, keberadaan partai memiliki fokus utama, yakni pada upaya mewujudkan cita-cita mulia, membangkitkan Islam dan kaum Muslim dari berbagai keterpurukannya. Sementara kebangkitan Islam berawal dari perubahan level berpikir pemeluknya, dari rendah menjadi luhur. Maka menjadi tugas partai untuk memberikan edukasi terhadap umat agar memahami Islam dan mengarahkan pilihan hidupnya berdasarkan Islam. Mengawal umat agar terlepas dari belenggu pragmatisme kepada kecemerlangan berpikir. 

Dengan demikian partai tidak akan terombang ambing oleh minat pasar. Idealisme partai akan mengokohkannya di jalan yang satu, jalan Islam. Eksistensi partai tidak bisa dilepaskan dari semangat mengangkat martabat umat dengan pembinaan pemikiran dan pendidikan politik. Bukan atas dasar semangat mendulang suara semata. Tapi menjawab seruan Allah, "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (TQS. Ali Imran: 104)

Partai adalah kendaraan umat untuk sampai kepada satu tujuan besar, yakni menegakkan Islam dan menerapkan semua hukum-hukum Islam. Maka penting untuk mengembalikan partai kepada identitas sebenarnya, yakni dengan memastikan empat hal penting, berikut: Satu, kejernihan pemikiran (fikrah). Dua, kejelasan metode (thariqoh) yang ditempuh bagi penerapan fikrah-nya. Tiga, anggota-anggota partai memiliki kesadaran yang benar, bukan hanya sekadsr berbekal semangat dan keinginan belaka. Empat, anggota partai memiliki ikatan yang benar dan produktif, yakni ikatan ideologis bukan terbatas pada struktur partai. 

Partai Visioner
Jernihnya pemikiran (fikrah) suatu partai ditentukan oleh komitmennya terhadap Islam. Dalam hal ini, tidak boleh bagi partai untuk mengadopsi pemikiran di luar Islam, atau menginterpretasikan Islam agar sesuai dengan situasi dan kondisi, menjadikan Islam hanya sebagai opsi/pilihan bukan sebagi poros/dasar pengambilan keputusan/kebijakan. 

Dari satu poin ini saja, dapat kita tangkap satu kesimpulan logis. Partai Islam dengan bervisikan surah Ali Imran ayat 104 tidak mungkin bisa bernapas dalam alam Demokrasi. Dimana sistem ini memaklumkan adanya pengambilan keputusan atas dasar pemikiran di luar Islam. Wajar karena sistem ini lahir dari rahim sekulerisme. Agama menjadi perbincangan di satu sisi, sedangkan negara ada pada ruangan yang berbeda. Pemisahan ini yang menyihir umat menjadi antipati dengan partai bermantel Islam. Seakan jalannya buntu, tatkala membawa wacana surga neraka pada panggung politik praktis. 

Maka sudah saatnya, bagi partai Islam, menegaskan warnanya. Menentukan jati dirinya. Mengembalikan fokus perjuangannya. Solusi pragmatis hanya menjanjikan rasa manis sementara. Melalaikan dari target utama, yakni membawa umat pada kebangkitan, menyelamatkannya dari keterpurukan. 

Seiring dengan gigihnya partai membina pemikiran umat dan mengedukasinya dengan Islam, maka akan menentukan keberpihakan umat terhadapnya. Islam bukan seperti bedak yang menyamarkan noda hitam di wajah, tapi keberadaannya sebagai obat yang membawa kesegaran. Umat akan jatuh cinta dengan sendirinya, dan sedia memberikan hatinya bahkan jiwa dan raga siap dikorbankan untuk Islam bersama genggaman tangan partai visioner. 

Wallahu a'lam bish-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post