Oleh : Eviyanti
Pendidik Generasi dan Member Akademi Menulis Kreatif
Korupsi atau dalam bahasa Latin corruption, secara bahasa adalah busuk, rusak, menggoyahkan atau tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Dalam arti luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. (http://id.m.wikipedia.org>wiki)
Saat ini, korupsi di Indonesia bisa dikatakan sudah menjadi budaya, mulai dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi. Bahkan, Indonesia menjadi salah satu negara terkorup di dunia. Adanya lembaga anti korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak mampu mengatasi masalah korupsi di negeri ini. Miris.
Korupsi kian meningkat. Para oknum pejabat yang berkhianat dengan amanah rakyat semakin berani. Dari pejabat tingkat tinggi sampai rendah tak malu-malu lagi "merampok" uang rakyat. Mulai dari kepala daerah hingga kepala desa, bahkan dana desa yang diperuntukkan bagi kesejahteraan warganya dikorupsi juga. Seperti yang tertulis di laman SuaraJabar.id, Eks Kepala Desa (Kades) Karangasih, Asep Maulana resmi ditahan oleh Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi, Senin (9/12/2019). Kades dua periode ini ditahan lantaran diduga menyalahgunakan pengelolaan APBDes Karangasih 2016. Akibatnya, negara menderita kerugian mencapai Rp 1 miliar.
Dalam pandangan Islam, istilah korupsi dibagi dalam beberapa dimensi yakni, risywah atau suap, saraqah atau pencurian, al gasysy atau penipuan dan juga khianat atau pengkhianatan. Dan memang itu semua perbuatan maksiat. Sebagaimana firman Allah Swt. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu." (TQS. An-Nisa : 29)
Tidaklah Allah Swt. melarang sesuatu hal, jika dibalik sesuatu tersebut terkandung keburukan dan mudharat (bahaya bagi pelakunya). Termasuk dalam keburukan tersebut ini adalah korupsi atau ghulul. Islam mengharamkan segala bentuk penyalahgunaan wewenang, apalagi sampai mengambil apa yang seharusnya menjadi hak rakyat. Maka dalam Islam oknum pejabat yang berkhianat tersebut pantas mendapatkan hukuman berat.
Tapi berbeda halnya dengan jawaban dari seorang penguasa ketika menanggapi hukuman bagi seorang koruptor. Seperti yang dilansir (https://news.detik.com/berita)
"Mengapa negara kita mengatasi korupsi tidak terlalu tegas, kenapa ngga berani, di negara maju, misalnya dihukum mati, kenapa kita hanya dipenjara, tidak ada hukuman mati?" ujar Harley di SMKN 57, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Senin (9/12/2019)
Dan jawaban Jokowi, "Kalau korupsi bencana alam, dimungkinkan. Kalau nggak, tidak. Misalnya ada gempa tsunami di Aceh atau di NTB kita ada anggaran untuk penanggulangan bencana, duit itu dikorupsi, bisa (dihukum mati). Tapi sampai sekarang belum ada, tapi diluar bencana belum ada, yang sudah ada saja belum pernah diputuskan hukuman mati, di luar itu UU nya belum ada," ujar Jokowi.
Sangat disayangkan, tak seharusnya seorang pemimpin berkata demikian. Menjadi pemimpin haruslah tegas, apalagi terkait dengan amanah meriayah umat. Tak boleh ada sedikit pun hak rakyat yang dikebiri karena dikorupsi oleh oknum pejabat. Begitulah jika hukum buatan manusia yang diterapkan, para koruptor justru mendapat tempat. Hukuman penjara tak memberikan efek jera, buktinya para koruptor silih berganti memadati hotel prodeo. Seolah tak ada habis-habisnya.
Jika dalam sistem kapitalisme pelaku kriminal bisa mendapatkan discount masa tahanan, dalam sistem Islam tidak mengenal hal demikian. Pelaku kriminal wajib dihukum, besar kecilnya hukuman disesuaikan dengan tindakan kriminal yang dilakukan. Sistem persanksian dalam Islam bersifat jawabir dan jawazir, disamping sebagai penebus dosa hukuman juga memberikan efek jera. Sebagai contoh bagi pembunuh maka dihukumi dengan qishas, pelaku zina ghoiru muhson dijilid seratus kali dan diasingkan sedangkan bagi pelaku zina muhson dihukum rajam hingga mati. Hukuman bagi para koruptor dalam sistem Islam adalah dengan ta'zir, tindakan ta'zir yang paling berat bisa dihukum mati.
Hukum buatan manusia bersifat lemah, sarat dengan permainan dan jual beli. Hukuman yang diberikan tidak memberikan efek jera, wajar jika korupsi kian subur dan membudaya di negeri ini. Jauh berbeda dengan hukum Allah Swt yang jika ditegakkan mampu mengatasi semua problematika kehidupan. Hukumnya pun adil bagi seluruh umat manusia. Maka, sudah saatnya umat menyadari bahwa hukum Allah Swt, yang seharusnya ditegakkan di muka bumi, bukan hukum buatan manusia.
Walahu a'lam bishshaawab
Post a Comment