By : Toipah
Pelajar, Aktivis Smart With Islam
Zalim. Kata yang tepat menggambarkan penyiksaan dan penahanan yang menimpa etnis minoritas Muslim Uighur di Xinjiang, China. Menjadi rahasia publik, lebih dari satu juta Muslim Uighur ditahan dalam kamp-kamp konsentrasi milik China. (bbc.com, 31/8/2019).
Sedih, marah, kesal melihat umat Muslim disakiti. Nyawa kaum Muslimin seolah tiada harganya. Padahal label radikal dan teroris selalu diarahkan kepada umat Islam. Faktanya, merekalah yang sebenarnya teroris, menebar teror dan ketakukan di tengah kaum Muslimin. Sungguh kebencian mereka tampak nyata kepada Islam dan umatnya.
Duka Uighur jelas meninggalkan luka yang sangat mendalam bagi umat Muslim seluruh dunia. Sayangnya, hanya kecaman dan doa yang dapat kita lakukan saat ini. Kita dibuat tidak berdaya dan tidak mampu berbuat apa-apa. Bahkan mayoritas para penguasa Muslim bungkam atas kepedihan yang Muslim Uighur rasakan.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim pun diam. Sebaliknya menghimbau untuk tidak turut campur dalam urusan politik dalam negeri China. Sebagaimana pernyataan Ketua umum PBNU Said Aqil dalam sambutannya dalam acara santunan Duta Besar Republik Rakyat Tiongkok (RTT) untuk Indonesia Xie Feng bagi 500 anak yatim piatu dan santri NU. Ia menghimbau umat Islam RI tidak ganggu politik china. Himbauan ini jelas semakin menegaskan di mana sejatinya ia berpihak. Ironis, menerima bantuan di atas penderitaan Muslim Uighur. (m.detik.com, 6/7/2015).
Hak Asasi Manusia yang diteriakan dunia, ternyata itu hanya omong kosong buatan barat. Faktanya, dunia mendadak buta dan terhadap kekejaman yang menimpa Muslim Uyghur, Rohingya dan Palestina. Kaum Muslimin jadi pesakitan kala HAM justru diteriakan lantang.
Sungguh ketiadaan Khilafah, membuat umat Islam tak punya pelindung, umat Islam kehilangan prisainya. Padahal sejatinya kaum muslim itu bagaikan satu tubuh, jika salah satu anggota tubuh merasakan sakit, maka anggota tubuh yang lain juga merasakan sakit. (HR. Muslim).
Berbeda dengan kondisi hari ini yang tercerai berai dalam naungan negara bangsa. Saat kaum Muslimin di negara lain ditindas, para penguasa Muslim justru bungkam. Mereka hanya dapat mengecam, tanpa melakukan berlawanan. Dengan dalih bukan urusan mereka. Padahal jelas bahwa umat Islam itu bagaikan satu tubuh.
Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla pernah menyatakan, bahwa ia menolak atau mencegah pelanggaran HAM. Tetapi, ia tidak ingin ikut campur tangan dalam urusan negri negara lain (tempo.co, 24/12/2018). Ini adalah bukti bahwa kita tidak dapat berharap pada HAM ala Barat. Dan tidak dapat berharap perlindungan serta pembelaan dari negara Muslim lainnya, termasuk Indonesia. Untuk turun tangan menyelamatkan Muslim Uyghur, Rohingya, dan Palestina. Posisi Indonesia sebagai pemimpin ASEAN maupun Dewan Keamanan pun tidak berpengaruh terhadap sikap pembelaannya.
Maka umat Islam harus menyadari bahwa kita butuh sosok pemimpin Muslim yang taat pada syariat-Nya dan kembali menghadirkan sistem kepemimpinan dalam Islam. Sosok pemimpin yang berani memimpin jihad untuk membebaakan negeri-negeri Muslim yang terjajah. Serta tidak gentar kecuali pada Allah Ta'ala semata. Kita umat Islam adalah umat yang satu dan bertuhan yang sama. Kita adalah umat yang kuat dan tak bisa di ganggu oleh musuh musuh Islam jika kita satu kepemimpinan dalam naungan Khilafah. Wallahu'alam.
Post a Comment