By : Neni Maryani |
Presiden Joko widodo telah menunjuk 13 orang sebagai staf khususnya. Dari 13 orang staf khusus tersebut, tujuh orang di antaranya merupakan wajah baru yang berasal dari kaum milenial.
Presiden Jokowi memperkenalkan ketujuh orang tersebut kepada pers di beranda Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (21/11/2019).
Mereka adalah Putri Indahsari Tanjung, Adamas Belva Syah Devara, Ayu Kartika Dewi, Angkie Yudistia, Gracia Billy Yosaphat Membrasar, Aminuddin Ma'ruf, dan Andri Taufan Garuda Putra.
Selain nama-nama tersebut, Presiden Jokowi juga menunjuk dua wajah baru lainnya, yaitu politisi PDI-P Arief Budimanta dan politisi Partai Solidaritas Indonesia Dini Shani Purwono.
Terkait hal tersebut Presiden Jokowi mengatakan, “(Ketujuh milenial ini) memberikan gagasan-gagasan segar yang inovatif, sehingga kita bisa mencari cara-cara baru, cara-cara out of the box, yang melompat, untuk mengejar kemajuan negara kita,” kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2019).
“Saya juga minta mereka untuk menjadi jembatan saya dengan anak-anak muda, para santri muda, para diaspora, yang tersebar di berbagai tempat,” kata Jokowi menambahkan. (tirto.id, 23/11/2019)
Beragam analisa berkembang terkait hal ini. Pertama, pengangkatan staf khusus (stafsus) presiden dari kalangan milenial di era digital dapat dijadikan penggerak _(social engineering)_ di tengah masyarakat. Potensi ini tentu dapat dimanfaatkan untuk kemajuan negeri.
Namun di sisi lain publik mengendus beberapa kontroversi. Terutama dari sisi gaji yang fantastis dengan fakta bahwa tupoksi kerja mereka hingga kini belum ditentukan secara jelas. Ini tentu memunculkan analisa apakah tidak terkategori pemborosan uang negara, yang notabene merupakan uang rakyat yang kini sedang mengalami kesulitan hidup sistemik yang terjadi di kalangan masyarakat luas.
Dilansir Kompas.com (23/11/2019) besaran gaji yang mereka terima sesuai dengan Perpres No. 114/2015, yakni Rp51 juta. Presiden menambahkan, karena mereka adalah para milenial yang memiliki kesibukan, maka mereka tidak wajib ngantor setiap hari. Begitu sangat ironis, jika dibandingkan dengan kondisi para guru honorer yang berbeda 180 derajat. Di Hari Guru tahun ini, masih banyak dari mereka yang mendapatkan kado pahit dari pemerintah.
Kedua, beberapa dari mereka diangkat dengan latar belakang partai dan sosok konglomerat penyokong Jokowi di kampanye Pilpres. Satu nama yang merupakan kader partai politik pendukung Jokowi, yakni dari Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Angkie Yudistia. Juga dua nama lain meski tidak mewakili generasi milenial karena usianya, politikus PDIP Arief Budimanta dan politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Dini Shanti Purwono. Sementara Putri Indahsari adalah putri konglomerat Chairul Tanjung, baron media lewat konglomerasi CT Corp. Ia lulusan Academy of Art University di San Francisco, California. Maka publik lebih melihat pengangkatan ini sebagai fenomena makin menguatnya politik oligarki di pusaran pemerintahan.
Terlihat jelas ke-13 orang yang ditunjuk Jokowi menjadi staf khusus itu terasa aroma politik bagi-bagi kekuasaan atau politik akomodatif.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai, politik bagi-bagi kekuasaan ini memang bukan barang baru di pemerintahan Jokowi. Tak hanya sekarang, tapi sejak periode pertamanya.
Lucius berpendapat, melalui tujuh staf khusus milenial, ditambah menteri-menteri dan wakil menterinya ini, Jokowi berupaya menutupi lingkaran oligarki dalam pemerintahannya. (tirto.id Jumat, 22/11/2019).
Semua kontroversi yang ada adalah lazim terjadi dalam sistem demokrasi kapitalis. Prinsip oligarki politik tak dapat terelakkan dan seolah menjadi keniscayaan.
Dari sekian banyak kontroversi yang mencuat kita tentu teringat dengan keluasan Ilmu Islam dalam memandang terkait problematika kehidupan. Sebagai agama yang komprehensif Islam memiliki panduan dalam menyusun birokrasi agar terhindar dari beragam kontroversi termasuk politik oligarki yang amat dekat dengan aroma ketidakadilan.
Islam memiliki syarat yang jelas ketika memilih pemimpin (pemerintahan), yakni: muslim, laki-laki, dewasa, berakal, adil, merdeka, dan mampu melaksanakan amanah kepemimpinan berdasarkan Alquran dan As-Sunnah.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizam al-Hukm fii al-Islam menyebutkan syarat tambahan sebagai keutamaan, bukan keharusan. Yaitu: mujtahid, pemberani, dan politikus ulung. Di luar kriteria tersebut maka seseorang tak layak untuk diserahi amanah memimpin.
Sementara untuk jabatan lain yang tidak berhubungan dengan pemerintahan, syariat Islam memiliki tata cara tersendiri dalam pemilihan dan pengangkatannya. Bahwa mereka dipilih dan diangkat karena kemampuannya (khubara).
Nabi Muhammad saw. pernah menolak Abu Dzar ra. dan tidak memberinya jabatan karena diketahui bahwa ia tidak sanggup memikul tugas-tugas pemerintahan. Padahal Abu Dzar mempunyai kedudukan yang terhormat dan persahabatan yang kuat dengan Nabi saw.
Seorang sahabat Nabi saw yaitu Umar ra. sendiri mengangkat seorang sahabat dan meninggalkan yang lainnya meskipun ada yang lebih utama kedudukannya, dengan memperhitungkan kemampuan, kekuatan dan kecakapannya dalam politik.
Dia pernah ditanya seseorang, “Mengapa engkau tidak mengangkat sahabat-sahabat Rasulullah saw. yang senior?” Ia menjawab, “Sesungguhnya aku tidak segan-segan untuk tidak mengangkat seseorang menduduki suatu jabatan jika ada orang lain yang lebih kuat darinya.”
Demikianlah syariat Islam telah memberi kemantapan dalam memberikan contoh terbaik sepanjang sejarah terkait pemilihan pemimpin pemerintahan beserta jajaran yang ada di bawahnya.
Syariat Islam senantiasa mendorong agar para pemimpin berhati-hati dalam membuat keputusan terlebih ketika memakai fasilitas sebagai abdi negara. Segala sesuatunya harus didasarkan pada hukum syariat. Karena ketundukan tertinggi adalah hanya kepada Allah Swt., bukan manusia.
Maka, sudah selayaknya kita kembali pada sistem Islam. Karena Islam menempatkan segala sesuatu pada porsinya. Islam pun menjamin ketika diterapkan dalam kehidupan akan ada banyak kemaslahatan yang didapatkan. Wallahu a’lam bishawab.
Post a Comment