Oleh : Nita Nopiana,S.Pd
(Pemerhati Pendidikan Palembang)
Diskotek. Saat ini, siapa yang tidak mengenal diskotek? Sebuah tempat having fun yang diisi dengan alunan musik "ajep-ajep" dengan pencahayaan remang-remang. Para pendatang kelihatan gembira setiap datang ke sana, sambil mengangguk-angguk mengikuti alunan nada. Gelas di tangan siap menghapus dahaga, tapi isinya bukan susu, teh, jus atau air putih. Segelas minuman yang harganya tak murah, cukup menghabiskan uang jajan anak sebulan. Minuman ini beraroma menggiurkan, dengan rasa sedikit "aneh" di lidah yang mengandung etanol sekian persen. Semakin besar persennya, semakin dalam merogoh kocek.
Apakah orang-orang itu cukup dengan minum dan duduk sambil menikmati musik? Tentu saja tidak, kurang afdhol rasanya kalau belum ditemani cewek-cewek cantik berbaju sexy. Mereka yang menawarkan jajanan tubuh menggiurkan bagi para lelaki hidung belang. Tarifnya? Beragam, dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah sekali nge-date. Tak jarang pula tempat ini jadi ajang pesta narkoba. Banyak juga transaksi haram terjadi di tempat ini. Namanya juga tempat having fun. Segala sesuatu yang mendatangkan kesenangan (menurut mereka) akan dilakukan.
Mungkin seperti itulah gambaran diskotek yang masyarakat umum paham saat ini. Sebuah tempat yang diawali dengan perbuatan maksiat pun diakhiri dengan kubangan dosa. Nauzubilah.
Namun sungguh miris justru pemerintah Jakarta memberikan pengharagaan Adikarya Pariwisata kepada diskotik Colloseum. Seperti dikutip dalama CNN Indonesia ( Jumat, 13/12/2019), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberikan penghargaan kepada salah satu tempat pariwisata, yakni Diskotek Colosseum, Jakarta. Adapun jenis penghargaan yang diberikan Anies ialah penghargaan Adikarya Wisata.
Hal ini dibenarkan oleh Pelaksana tugas Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Alberto Ali. "Penghargaan Adikarya Wisata itu ada 31 kategori bukan cuma itu salah satunya diskotek dari 31 diskotek itu yang menang Colosseum," kata Alberto di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (13/12). Alberto menerangkan setidaknya ada tiga alasan mengapa Colloseum menang. Pertama, kata Alberto, karena dedikasinya dan karena kinerjanya.
Banyak pihak yang menyayangkan hal ini. Pasalnya masyarakat mengetahui bahwa klab malam ini di bawah satu kepengurusan Alexis yang pernah ditutup oleh Gubernur Anies. Tempat tersebut diketahui sebagai tempat penjualan jajanan seksual. Banyak masyarakat menyayangkan pemberian penghargaan tersebut. Bahkan tak jarang yang memberikan komentar menyindir.
Tak berselang lama, Penghargaan Adikarya 2019 tersebut dicabut oleh Gubernur Anies. Karena dinilai telah melakukan aktivitas terlarang, Gubernur DKI Jakarta memerintahkan untuk mencabut penghargaan tersebut dan meminta pengusutan penilaiannya. Sebagaimana diberitakan di teropongsenayan.com bahwa pencabutan penghargaan tersebut dikarenakan Colloseum pernah dijadikan tempat pesta narkoba. Hal ini bertentangan dengan prasyarat dibolehkannya usaha diskotek.
Diskotek di Mata Kapitalisme dan Islam
Dalam pandangan kapitalisme, segala sesuatu yang sifatnya tidak bertentangan dengan yang lain boleh. Sehingga, aktivitas minum minuman berakohol, campur baur laki dan perempuan, "dugem" untuk menghilangkan stres dan lain-lain itu hal yang lumrah. Asalkan sesuai standar yang ditentukan.
Berbeda dengan Islam, aktivitas seorang muslim tidak bergantung pada kebutuhan atau keinginan sendiri. Tapi senantiasa terikat dengan hukum syara'. Islam sendiri telah mengharamkan minum alkohol, ikhtilat (campur baur), "dugem" yang membuat lalai, bahkan berpakaian memperlihatkan aurat, zina dan narkoba pun dilarang. Sehingga Islam melarang ada tempat-tempat yang menyediakan pelayanan tersebut.
Maka, selama pemimpin suatu negeri mengambil kapitalisme sebagai dasar pijakan membuat kebijakan, aturan yang lahir tidak jauh dari kata manfaat. Manfaat akan menjadi standar utama dalam perizinan tempat hiburan malam. Jika dapat membantu pertumbuhan pariwisata dan tidak melanggar aturan, maka izin usaha tersebut akan dilayangkan. Bahkan aturan yang ada hanya sekadar tidak melakukan tindakan protitusi ilegal, narkoba. Meskipun perhargaan ini dicabut, alasannya hanya karena melanggar peraturan yang ada yaitu terlibat narkoba. Sanksinya, hanya diberi teguran saja.
Hal ini sungguh berbeda dengan Islam, sebelum menentukan kriteria atau aturan tempat hiburan terlebih dahulu akan dikaji sesuai hukum syara. Hal-hal yang melanggar hukum syara ditiadakan. Seperti beredarnya minuman keras, narkoba, prostitusi (legal/ilegal), campur baur laki dan perempuan dll. Meskipun tempat seperti ini dapat menyumbang devisa pariwisata, menyerap tenaga kerja, dan menyumbangkan pajak bagi negara. Jika perizinan tepat saja tidak diperoleh, maka tidak mungkin akan mendapat penghargaan semacam Adikarya Wisata.
Di sini jelas, pemimpin baik dan salih saja tidak cukup. Harus ada sistem baik pula untuk menghapus tempat hiburan malam yang isinya notabene maksiat. Agar jangan sampai tempat keburukan itu malah mendapat penghargaan meskipun akhirnya diralat. Wallahu a'lam bishowab.
Post a Comment