BUMN Menguntungkan Negara?



Oleh : Heni Kusmawati, S.Pd
Member Akademi Menulis Kreatif Bima

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) baru saja menerbitkan Keputusan Menteri BUMN Nomor SK-315/MBU/12/2019 terkait diperketatnya anak, cucu dan cicit perusahaan BUMN. Menurut mantan Menteri BUMN, Rini Sumarno, anak hingga cicitnya mencapai 700 perusahaan. Untuk itu, kementrian BUMN menghentikan pendiriannya, bahkan dicabut beleid oleh pimpinannya (detikfinance.com, 13/12/2019).

Awalnya, pemberian izin pendirian anak perusahaan diharapkan dapat menguntungkan negara. Namun, ternyata tidak memiliki efek positif. Justru negara mengalami kerugian, karena keberadaan anak cucu perusahaan hanya dimanfaatkan segelintir elit untuk mendapatkan keuntungan besar. Seperti yang dikatakan oleh Koordinator BUMN, Watch Naldy N Haroen SH, bahwa anak perusahaan BUMN telah banyak memonopoli perusahaan, menggerogoti induk perusahaan sehingga merugi. Contohnya, PT Krakatau Steel memiliki 70-an anak perusahaan, PT Pertamina 140-an, PT PLN  40-an, PT Indonesia Ferry (ASDP) dan masih banyak anak perusahaan lainnya. (MediaIndonesia.com, 15/12/2019)

Bayangkan saja, dari 142 induk perusahaan, hanya 15 perusahaan yang memberikan keuntungan bagi negara. Keberadaan anak cucu perusahaan tidak terlepas dari izin yang diberikan oleh penentu kebijakan (pemerintah). Seandainya tidak diberikan izin, maka tidak mungkin anak cucu perusahaan bisa berdiri hingga hampir ribuan perusahaan. Ini menunjukkan lepasnya tanggung jawab negara dalam mengontrol kondisi yang ada di dalamnya.

Kasus BUMN yang tidak banyak memberikan keuntungan bagi negara, tetapi lahan gurih bagi segelintir elit mendapatkan keuntungan besar terjadi karena diterapkannya sistem kapitalisme liberalisme yang menuntut negara untuk melakukan bisnis dalam memenuhi dan mengelola harta milik umum.

Berbeda dengan Islam yang membagi harta umum sebagai milik umum dan negara. Kepemilikan  umum meliputi sektor yang dikelola untuk memenuhi kebutuhan umum dan SDA yang tidak terbatas. Seperti air, tambang, minyak dan gas, hutan dan lain-lain. Rasulullah bersabda : 
"Kaum muslim berserikat dalam tiga barang, yaitu air, padang rumput dan api."(HR Abu Daud)

Ketiganya merupakan milik umum yang dikelola negara. Keterlibatan swasta hanya sebagai pekerja yang akan digaji sesuai kinerjanya. Islam melarang adanya kontrak kerja seperti yang ada di PT Newmont NTB, Freeport Papua dan lain-lain. Tidak boleh bagi negara mengambil keuntungan dari harta rakyat tersebut. 

Adapun kepemilikan negara, seperti pengelolaan bangunan atau tanah mati yang sudah lebih dari 3 tahun ditinggal oleh pemiliknya. Rasulullah pernah memberikan Bilal bin Harits al-Mazani(daerah) antara laut dan padang pasir. Ini menunjukkan bahwa tanah mati merupakan harta milik negara. Selain itu, kharaj (hak kaum muslim yang diperoleh dari tanah hasil peperangan), jizyah (harta yang dipungut dari non muslim yang tunduk di bawah kepemimpinan Islam), ghanimah (harta rampasan perang) juga merupakan milik negara. 

Negara membutuhkan hak milik sebagai sumber pemasukan dan kekuasaan agar dapat memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya. Misalnya pendidikan, kesehatan dan lain-lain.

Wallaahu a'lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post