Bisakah Demokrasi Indonesia di Bawah Kendali Oligarki Berkedok Stafsus Millenial ?

By : Fajrina Laeli
Mahasiswi STIE Insan Pembangunan

Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengumumkan tujuh nama staf khususnya yang baru. Dia memperkenalkan satu per satu staf khusus presiden yang berasal dari kalangan anak muda itu di depan publik.

"Saya ingin mengenalkan staf khusus presiden yang baru, yang tugas khususnya nanti adalah mengembangkan inovasi-inovasi di segala bidang. Di sini segera kita lihat anak-anak muda semuanya," ujar Jokowi di beranda Istana Merdeka Jakarta, Kamis (21/11/2019)

Presiden Joko Widodo mengumumkan 12 staf khusus untuk mendampinginya selama pemerintah periode kedua 2019-2024. Tujuh di antara mereka merupakan generasi milenial: usianya 20 hingga 30-an tahun, yang memang sengaja ditunjuk Jokowi untuk bertugas "mengembangkan inovasi-inovasi di berbagai bidang."

Langkah Jokowi memilih staf khusus milenial mendapat sorotan dari publik. Bahkan menjadi polemik di tengah masyarakat karena gaji yang fantastis. Keberadaan stafsus dari kalangan milenial dikritik banyak pihak. Sebab, jumlah pembantu presiden saat ini sudah terlalu banyak sehingga membuat lembaga kepresidenan semakin gemuk. Pada Kabinet Kerja 2014-2019, jumlahnya hanya sebelas. Orang-orang di sekitar Presiden jadi lebih padat lagi jika diakumulasikan dengan Kantor Staf Kepresidenan–lembaga bentukan Jokowi pada 2015–yang terpisah dari staf presiden. Belum lagi jika dihitung delapan anggota Staf Khusus Wakil Presiden yang baru dilantik kemarin.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus mengungkapkan bahwa politik bagi-bagi kekuasaan ini memang bukan barang baru di pemerintahan Jokowi. Tak hanya sekarang, tapi sejak periode pertamanya. Ia menilai hal tersebut ciri khas utama pemerintahan Jokowi Jilid II. Akomodatif yang akhirnya mengangkangi prinsip efisiensi dan efektifitas yang didengung-dengungkannya.

Ia juga menambahkan bahwa melalui tujuh staf khusus milenial, ditambah menteri-menteri dan wakil menterinya ini, Jokowi berupaya menutupi lingkaran oligarki dalam pemerintahannya, bagian dari menyenangkan lingkaran yang telah berjasa memenangkan Jokowi dua periode. Inilah yang juga disebut politik balas jasa.

Pernyataan ini terbilang masuk akal karena nantinya alih-alih stafsus millennial ini meberikan masukan, yang ada malah mereka terhalang oleh elite politik atau orang-orang yang lebih tua yang ada di lingkaran dekat Jokowi. Apalagi stafsus milenial ini masih miskin pengalaman di bidang pemerintahan. Jokowi pun hanya ingin menunjukkan ia dicintai dan didukung oleh kaum milenial.

Jika melihat realitas politik dalam pemerintahan Jokowi sejak periode pertama, tampak betul bahwa oligarki seperti dalam tafsiran Winters merupakan penyakit yang sudah akut. Di tangan para elite segala keputusan partai politik yang menang dalam Pemilu ditentukan melalui mekanisme hierarki yang kaku, alias dari atas ke bawah.

Maka, mengangkat stafsus milenial hanya menguatkan politik oligarki di rezim jilid 2. Karena seberapa pun cemerlangnya masukan staf khusus tersebut, mereka tidak lebih dari–seperti yang dikatakan Jokowi–Teman diskusi Presiden.

Para milenial tersebut tidak punya daya tekan seperti yang dimiliki elite partai politik, yang lebih dulu menjadi teman diskusi Presiden. Dedi Kurnia Syah Putra, pengamat politik sekaligus Direktur Indonesia Political Opinion mengatakan jika untuk sekadar meminta masukan, Jokowi bisa kapan saja memanggil para milenial itu tanpa perlu memberi jabatan. (nasional.tempo.co, 23/11/2019).

Dari sini terlihat bahwa penguasa cenderung memberi kekuasaan cuma-cuma demi memuaskan penyokong yang telah berpartisipasi dalam kemenanangan pemilu kemarin. Posisi yang tidak ada daya gunanya dipaksakan masuk kedalam struktur pemerintahan.

Hal itu sangat berbeda dengan Islam. Sistem birokrasi dan administrasi dalam Islam memiliki ciri yang khas, yaitu basathah fi an-nizham (sistemnya sederhana), sur’ah fi injaz (cepat selesai), dan kifayah fi man yatawalla al-a’mal (cukup pelaksanaannya).

Dengan ciri tersebut, maka urusan rakyat dapat tertangani dan terselasaikan secara ringkas dan baik, juga mencegah terjadinya tindak korupsi dan suap pada setiap lini. Karena orang yang membutuhkan pelayanan butuh cepat terselaikan, namun jika sistem birokrasinya lambat dan bertele-tele, dari sini akan muncul terjadinya suap dan korupsi.

Di samping itu, agar birokrasi dalam Islam terhindar dari oligarki, pemerintahan Islam menerapkan satu hukum dan undang-undang untuk satu negara. Hukum yang diadopsi oleh khalifah menjadi undang-undang berlaku sama untuk seluruh wilayah. Undang-undang tersebut meliputi hukum syariah dan hukum administratif.

Hukum tersebut akan menutup celah bagi elite politik dalam menjalankan politik ologarki. Juga tak akan menyebabkan terjadinya bentukan hukum dan perundang-undangan antar pusat dan daerah, maupun antara daerah satu dengan daerah lain.

Jika hukum tersebut telah diundangkan, maka seluruh rakyat negara Khilafah di wilayah mana pun mereka berada, wajib menaati hukum yang berlaku. Mereka mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum. Tidak ada hak istimewa, baik bagi Khalifah maupun pejabat yang lainnya. Semuanya akan diperlakukan sama yakni sebagai warga negara. Karena sumber hukum langsung dari Allah yang akan menjamin kesejahteraan bagi ummat-Nya.

Dalam sistem Islam juga akan ada biro-biro yang dikepalai oleh ahli di bidangnya, serta memiliki sifat amanah, ikhlas, bertakwa kepada Allah, dan cakap. Karena sudah bukan lagi perkara keuntungan individu yang dipikirkan melainkan ridha dan wujud taqwa kepada Allah swt.

Inilah cara Islam menyusun birokrasinya hingga dapat menghindari oligarki. Mengharapkan sistem yang baik dan benar hanya ada pada sistem Islam. Sudah jelas alur pemerintahan dan sumber hukumnya. Tak perlu lagi demokrasi bermandikan uang yang membuat bunting pihak lemah. Wallahu’alam bisshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post