Oleh : Siti Nurjannah
Tindakan keras Pemerintah China terhadap etnis minoritas Muslim Uyghur telah mendapat kecaman internasional. Namun beberapa suara yang sebenarnya signifikan, yakni dari negara-negara Muslim nyaris tak terdengar. Para pengamat mengatakan pemerintah negara-negara Muslim memang tidak dimasukkan ke dalam satu kategori. Namun, ada sejumlah kesamaan utama di balik kebisuan mereka, yakni pertimbangan politik, ekonomi dan kebijakan luar negeri.
Dengan ikut campur nya negara negara muslim (khusus nya Indonesia) dengan permasalahan ini bisa berdampak buruk bagi keberlangsungan perekonomian yang semakin neolib. Karena Indonesia membuka selebar lebarnya pintu bagi para investor. Hal ini tidak menutup kemungkinan bisa menyebabkan timbulnya rasa ketidak pedulian umat muslim terhadap sesama dan hilangnya rasa kemanusiaan yang harus di utamakan ketika melihat kondisi saudaranya semakin terhimpit.
Pakar kebijakan Cina Michael Clarke, dari Universitas Nasional Australia, mengatakan kepada ABC bahwa kekuatan ekonomi China dan takut mendapat balasan menjadi faktor besar dalam politik komunitas Muslim. Investasi Cina di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara dari 2005 hingga tahun 2018 telah berjumlah AU$144,8 miliar. Sementara di Malaysia dan Indonesia, jumlahnya AU$121,6 miliar dibandingkan periode yang sama, menurut lembaga think tank American Enterprise Institute. Inilah salah satu faktor yang memberatkan negara muslim memilih tidak ikut campur dalam masalah Uighur.
Tidak hanya itu, kasus yang di hadapi oleh minoritas di Rohingya juga Banyak menyita keprihatinan negara muslim. Seperti yang di alami oleh minoritas muslim di negara negara-negara yang lain, salah satunya yaitu minoritas muslim di Rohingya.
Jakarta, CNN Indonesia -- Sidang audiensi perdana dugaan pelanggaran hak asasi manusia Myanmar terhadap etnis minoritas Rohingya digelar Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) di Belanda pada Kamis (12/12).
Kalangan aktivis dan ahli politik internasional menganggap sidang yang berlangsung atas gugatan Gambia itu bisa jadi jalan pembuka komunitas internasional menindak pihak yang bertanggung jawab atas dugaan pelanggaran HAM terhadap Rohingya .
Meski begitu, Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan (UPH), Profesor Aleksius Jemadu, menganggap sidang ICJ itu menjadi catatan negatif negara ASEAN.
Selain karena kasusnya terjadi di negara tetangga, Aleksius menuturkan Indonesia sebagai negara demokrasi dengan penduduk Muslim terbesar di dunia seharusnya lebih peduli dan bergerilya untuk memperjuangkan hak Muslim dunia.
"ini malah dilakukan oleh negara yang jauh di luar kawasan, Afrika. Ini bukan sinyal bagus. Ini jadi satu catatan negatif negara-negara ASEAN yang mestinya lebih peduli terhadap nasib kaum Rohingya dibandingkan negara nan jauh di Afrika," kata Aleksius saat dihubungi CNNIndonesia.com pada Kamis (12/12).
Menurut Aleksius, sikap diam Indonesia menunjukkan bahwa Jakarta tak mau mengusik prinsip non-intervensi yang melekat pada tubuh ASEAN. Padahal, prinsip tak ingin campur tangan itu tidak bisa selamanya dipegang terutama jika berkaitan dengan masalah kemanusiaan.
Fakta diamnya dunia Islam terhadap kekejaman Cina kepada Muslim Uighur, juga derita Muslim Rohingya dan Palestina menegaskan bahwa saat ketiadaan khilafah seperti sekarang, umat Islam tak punya pelindung. Umat Islam dianggap musuh bagi non muslim, bahkan di anak tirikan oleh negara-negara di dunia. Saat ini untuk mendapatkan perlindungan bagi kaum muslim terasa sangat pelik, bahkan tidak bisa berharap perlindungan dan pembelaan dari negeri muslim terbesar seperti Indonesia untuk menyelamatkan saudara muslim Rohingya. Prinsip nonintervensi, yang tercantum dalam Piagam ASEAN pada 1967, memberikan legitimasi kepada para anggota ASEAN untuk tidak mencampuri urusan internal negara masing-masing.
Posisi Indonesia sebagai pemimpin ASEAN maupun anggota Dewan Keamanan pun tidak berpengaruh terhadap sikap pembelaannnya.
Bila ada negeri kecil yang jauh di Afrika Barat (Gambia) menunjukkan protes dan menggugat kekejamana Myanmar terhadap Rohingya melalui lembaga dunia, seharusnya menggugah seluruh dunia Islam untuk bersikap lebih baik sebagai manifestasi ukhuwah Islamiyah.
Rasulullah SAW bersabda :
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur atau merasakan demam.” [HR. Muslim].
Merujuk pada hadits di atas, sudah jelas bahwa kaum muslim adalah 1. Ketika 1 terluka, maka yg lainnya akan ikut merasakan sakit. Sayang nya di sistem demokrasi liberal saat ini tidaklah begitu, keamanan dan kenyamanan kaum muslim minoritas sangat sulit untuk di dapatkan. Dengan berbagai alasan, mereka menolak untuk memperdulikan saudaranya. Karenanya Sekat Nasionalisme sangat kuat dalam mencengkeram negara negara muslim di dunia, sehingga keperdulian antar sesama muslim tidak ada di benak mereka. Padahal terbukti, selama 13 abad sistem Islam menaungi 2/3 dunia, tidak ada kasus penindasan atau penyiksaan terhadap non muslim (kafir dzimmi). Mereka hidup aman dan damai di dalam daulah Islam.
Dalam hukum Islam, warganegara Khilafah yang non-Muslim disebut sebagai dzimmi. Istilah dzimmi berasal dari kata dzimmah, yang berarti “kewajiban untuk memenuhi perjanjian”.
Islam menganggap semua orang yang tinggal di Negara Khilafah sebagai warganegara Negara Islam, dan mereka semua berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi antara Muslim dan dzimmi. Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan, dan harta benda mereka.
Kedudukan ahlu dzimmah diterangkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya: “Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun”. (HR. Ahmad).
Keadaan yang demikian itu tidak tidak akan bisa di terapkan oleh sistem yang bathil. Rahmatan Lil 'alaamiin akan terwujud ketika sistem Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia. Allah Swt menurunkan syariat Islam kepada Rasulullah saw sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, apapun warna kulit, agama, ras, dan segala latar belakang mereka.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. (TQS. al-Anbiya [21]: 107).
Yang di butuhkan oleh kaum muslim saat ini adalah perisai/pelindung, bukan hanya sebatas obat obatan ataupun makanan. Maka umat harus menyadari, tidak bisa dihentikan penindasan terhadap muslim sampai tegaknya khilafah Islamiyah. Buktikan kepada seluruh dunia bahwa ketika umat Islam bersatu tidak mungkin bisa dikalahkan, karena kekuatan islam adalah bersatunya seluruh umat muslim dann menerapkan syariat Islam secara kaffah.
Wallahu 'alam bisshowaab.
Post a Comment