Benarkah Pemusnahan 20.000 ton Beras Merupakan Solusi??

Oleh : Ulivia Ristiana, S.P.

Hidup sejahtera nampaknya hanya akan menjadi angan-angan belaka. Pasalnya, dengan iklim ekonomi seperti saat ini, untuk sekedar memenuhi kebutuhan pangan yang layak, merupakan beban tersendiri bagi kaum menengah.  Dikutip dari Muslimahnews.com, pemenuhan pangan masyarakat belum merata karena sebagian masyarakat masih sulit mengaksesnya. Seperti ditemukannya warga Suku Anak Dalam yang mengalami kesulitan pangan berminggu-minggu, hingga terpaksa memakan makanan yang tidak sewajarnya (Muslimahnews.com, 3/12/19). Masih berdasarkan sumber yang sama, disebutkan bahwa terdapat 88 daerah (sekitar 7 juta jiwa) yang mengalami rawan pangan karena rendahnya akses terhadap pangan. Bahkan laporan ADB menyebut 22 juta warga Indonesia masih mengalami kelaparan kronis. Besar kemungkinan fakta di lapangan masih jauh lebih banyak lagi dari data yang terungkap. Fakta tersebut mungkin hanya sebagian kecil saja dari fakta-fakta yang tidak diketahui media.

Maraknya berbagai isu kekurangan pangan di masyarakat rupanya tidak membuat hati nurani pemerintah 'trenyuh'. Alih-alih membuat kebijakan agar pangan lebih mudah diakses oleh masyarakat hingga ketahanan pangan bisa tercapai, malah tersiar kabar bahwa Bulog akan melakukan disposal cadangan beras pemerintah (CBP) sebanyak 20.000 ton karena usia penyimpanannya telah lewat setahun. Kerugian akibat pembuangan ini kira-kira mencapai Rp160 M (Muslimahnews.com, 3/12/19). Sungguh bukan angka yang sedikit. Bisa kita bayangkan, seandainya 20.000 ton beras tersebut dapat tersalurkan dengan baik, ada berapa banyak masyarakat yang terselamatkan dari jerat kekurangan pangan. Namun kenyataannya, pemerintah seolah abai dengan hal tersebut.

Dicabutnya kewenangan Bulog oleh Agreement of Agriculture yang disahkan oleh WTO pada 1995 dalam mengatur pangan seolah membuatnya tidak memiliki Bergaining Position. Karenanya Bulog tidak dapat menjaga stabilitas harga pangan, melakukan impor dan ekspor, ataupun menentukan provisi subsidi. Bulog tidak boleh ‘memonopoli’ tata kelola pangan, namun Bulog harus berkompetisi dengan berbagai pihak termasuk korporasi-korporasi asing. Wajar jika mayoritas stok bahan pangan hari ini dikuasai oleh korporasi (lembaga non-Bulog) dan hanya 6-8 % saja yang dikuasai Bulog. Sudah tentu kondisi seperti ini lebih banyak merugikan petani dan masyarakat miskin karena dalam pelaksanaannya Bulog mengedepankan prinsip profit. 

Dalam Islam, kebutuhan pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang pemenuhannya dijamin oleh negara. Bulog dalam Islam berfungsi mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan pada setiap individu masyarakat, menyimpan cadangan pangan untuk kebutuhan pada kondisi bencana, kebutuhan jihad, dan menstabilkan harga di pasar. Bulog dijalankan berlandaskan prinsip-prinsip Islam yang sahih, dijiwai fungsi pelayanan, dan dinihilkan dari aspek komersial. Sebab, Bulog merupakan perpanjangan tangan pemerintah sebagai raa’in (pelayan) dan junnah (pelindung). Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah saw., “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Muslim dan Ahmad). Dalam hadis lainnya Rasulullah saw. menegaskan, “Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim).

Post a Comment

Previous Post Next Post