Bangkai “Uighur” Terungkap di Lemari Besi “Xinjiang”

By : Riannisa Riu

Sejumlah berita yang terungkap mengenai operasi penahanan etnis minoritas muslim Uighur di kamp konsentrasi Xinjiang, China, semakin membuat negeri tirai bambu itu kalang kabut memutar otak dan mencari sejumlah cara untuk menutupi dan mengatasi perbuatannya yang tak berperikemanusiaan tersebut. Namun, secantik-cantiknya mereka menyimpan ikan busuk, aromanya tetap tercium juga. 

Mulai dari dirilisnya berita menghebohkan jagat Indonesia oleh majalah wall street journal tentang pemberian modal dan bantuan yang tak sedikit kepada beberapa ormas Islam di Indonesia, informasi tentang pembiayaan para santri Indonesia untuk mengikuti beasiswa ke China sampai mengundang mereka untuk mengikuti tur di China termasuk ke lokasi Xinjiang yang konon katanya pembiayaannya ditanggung otoritas China dengan kunjungan yang terkesan setingan bagi siapapun yang masih memiliki akal sehat. Pemerintahan China berusaha menunjukkan pencitraan yang luar biasa bahwa kondisi muslim Uighur saat ini tidak memprihatinkan dan perlu memperoleh perhatian dunia, tetapi berada dalam kondisi yang damai, penuh toleransi, dan baik-baik saja.

Pemerintah China ingin mengindikasikan bahwa keberadaan kamp konsentrasi - yang mereka sebut sebagai ‘kamp pendidikan’ - di Xinjiang tersebut tak lain dan tak bukan hanyalah bertujuan untuk mendidik kaum etnis muslim minoritas Uighur agar menjauhi paham separatis dan ekstrimisme.

Namun bom informasi terus diluncurkan oleh sejumlah pihak yang ingin menjegal langkah Negara Panda ini. Salah satunya, yakni Amerika Serikat, - yang dilansir sedang terlibat perang dagang dengan China - membeberkan informasi terkait kebocoran dokumen internal pemerintah China yang menunjukkan bahwa Presiden Xi Jinping memerintahkan para pejabat untuk bertindak "tanpa belas kasih" terhadap etnis minoritas Muslim di Xinjiang, Uighur.

Dokumen setebal 403 halaman yang berhasil didapat The New York Times itu juga mengungkap pidato dan arahan Xi kepada para bawahannya untuk melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap populasi etnis Uighur yang sebagian besar tinggal di Xinjiang.

Dalam salah satu pidatonya pada 2014 lalu yang juga tertulis dalam dokumen itu, Xi menyerukan "perjuangan melawan terorisme, infiltrasi, dan separatisme secara habis-habisan" menggunakan "organ kediktatoran" tanpa menunjukkan "belas kasihan sama sekali".

Bukan itu saja, Pemerintah China juga dilaporkan menggusur puluhan taman pemakaman milik masyarakat etnis Uighur dalam beberapa tahun terakhir. Diduga hal itu dilakukan sebagai upaya sistematis untuk menghapus jejak sejarah etnis Uighur di Provinsi Xinjiang. Hal ini diperkuat dengan beberapa foto satelit yang menunjukkan adanya tanda-tanda perusakan puluhan makam di provinsi Xinjiang.

Rentetan bukti di atas hanyalah segelintir bukti yang terus bertambah atas kedzaliman pemerintah China terhadap etnis minoritas muslim Uighur. Namun sayangnya belum ada tindakan nyata untuk mengakhiri kebiadaban ini dari mayoritas kaum muslimin.

Uighur menjadi salah satu kaum muslimin yang sedang terluka, menambah daftar panjang kaum muslim yang dianiaya orang-orang kafir setelah Palestina, Afghanistan, Rohingya, Suriah, Yaman, dan masih banyak yang lainnya.

Banyak sekali kaum muslimin yang tengah terluka, dan terus dianiaya dengan kebiadaban yang bahkan hewan pun tidak mungkin melakukannya. Namun mayoritas muslim saat ini tetap bungkam. Bahkan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, negara kita, ikut bungkam. Para petinggi ormas Islamnya bahkan bersikeras mengubah pernyataan mereka setelah pemerintah China menghadiahi mereka dengan bantuan bea-suap dan donasi serta tur ke Negara Bertirai Bambu tersebut. Semurah itukah harga nyawa saudara sesama muslim kita di Uighur?

Fakta ini semakin bertambah miris saat melihat kondisi mayoritas muslim di negara kita yang bahkan tidak peduli dan tidak ingin tahu mengenai kondisi muslim Uighur, atau Palestina, atau Suriah, atau Rohingya saat ini. Tidak sedikit dari mereka yang ketika disinggung masalah tersebut masih menjawab, “ah itu kan jauh di palestina/uighur, ya kita memangnya bisa apa? Bantu doa ajalah, yang mereka butuhin itu doa. Mendingan pikirin masalah kita sendiri, itu juga banyak.”.

Ketika seorang rakyat muslim mampu mengeluarkan pernyataan seperti itu tanpa tedeng aling-aling, maka tentu perwakilan petinggi pemerintahnya yang muslim juga mampu mengeluarkan pernyataan serupa, yang struktur bahasanya lebih halus karena menggunakan diplomasi yang sudah ditata rapi. Berikut pernyataan beliau seperti dilansir oleh “The Jakarta Post.”

“Of course we reject or [want to] prevent any human rights violations. However, we don’t want to intervene in the domestic affairs of another country.” Kira-kira artinya seperti ini “Tentu saja kami menolak atau [ingin] mencegah kekerasan yang terjadi pada manusia/masyarakat. Namun, kami tidak ingin mencampuri urusan dalam negeri negara lain.”

Kalimat yang indah, bukan? Namun mengandung efek yang luar biasa fatal, yakni pengabaian total terhadap nasib kaum minoritas muslim yang kini sedang teraniaya di luar negeri kita. Tentunya kalimat ini sangat menghancurkan hati saudara-saudara seiman kita di Uighur. Bagaimana bisa bersikap tegas kepada tuan mereka sendiri, dimana mereka hidup dan makan dari remah-remah belas kasih bangsa lain? Perjanjian kerjasama antara negeri ini dengan Pemerintahan China dengan nilai investasi yang cukup besar tentu saja membuat penguasa tidak mampu berkutik dan mati gaya. Akhirnya, rela menutup mata bahkan menari indah di atas penderitaan saudara seakidahnya sendiri.

Inilah realita menyedihkan di negeri berpenduduk muslim terbesar yang tidak berbuat apapun untuk menolong saudara seimannya di negeri-negeri lain. Dan dengan adanya pagar negara alias “Nasionalisme”, di negeri ini, kita tidak mampu menunjukkan sikap yang seharusnya ditunjukkan seorang muslim terhadap saudara-saudara seiman kita di belahan bumi yang lain.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Perumpamaan kaum mukmin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu ibarat satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam.”

Dengan pengabaian nyata terhadap hadits Rasulullah di atas yang telah dilakukan oleh petinggi negeri-negeri muslim saat ini, nyatalah bahwa umat Islam saat ini sama sekali tidak memiliki pelindung. Politik non intervensi dan kebijakan manis mengenai Hak Asasi Manusia hanyalah bualan pemerintah semata yang bisa diluweskan sesuai dengan kebutuhan pihak elit global yang berkuasa saat ini.

Umat Islam perlu segera menyadari bahwa satu-satunya solusi untuk menyelesaikan semua permasalahan ini hanyalah dengan penerapan syariat Islam secara kaffah. Saat Khilafah Islam ditegakkan, dan syariat Islam dilaksanakan oleh seluruh umat, maka takkan ada pemimpin muslim yang akan bungkam saat umatnya diganggu seujung rambut saja oleh orang-orang kafir.
Seperti kisah Khalifah Al Mutashim Billah yang membela kehormatan seorang wanita muslimah yang telah dilecehkan oleh bangsa Ammuriah yang kepala pasukannya masih di Baghdad sementara ekor pasukan sudah sampai di Ammuriah. Ketika syariat Islam ditegakkan, maka kehormatan dan keamanan seluruh kaum muslimin, bahkan kaum kafir dzimmi sekalipun, akan terjamin, insyaAllah. Wallahu alam bisshawab. 

Post a Comment

Previous Post Next Post