Penulis : Muthiah Raihana
(Mahasiswa Pascasarjana)
Dari rakyat oleh rakyat. Sebuah kredo demokrasi yang diklaim di berbagai negeri, termasuk di negeri kita, Indonesia. Negeri yang ‘piramida’ demografisnya. “Maka, suara kaum muda atau Milenial sejatinya harus didengar idenya, bukan hanya sekadar suaranya diambil untuk kepentingan Pilpres 2019,” ujar Kiai Ma’ruf di Rumah Situbondo, Menteng, Jakarta, satu tahun lalu (Jumat, 7/12/2018). Benar saja, Milenial ternyata menyumbang 35% suara pada pilpres 2019 (news.okezone.com).
“Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia,” ujar bung Karno jauh sebelumnya. Milenial memang punya kekuatan untuk mengguncang. Semangatnya, intektualitasnya, sikap kritisnya, daya inovatif dan kreatifnya, menjadi senjata khas para Milenial. Apalagi dengan adanya prediksi bonus demografi yang tak bisa dibendung. Pada 2018 diproyeksikan oleh Bappenas, jumlah penduduk Indonesia didominasi usia produktif. Sekitar 90 juta orang merupakan generasi Milenial yang berusia 20 - 34 tahun. Fakta ini bisa menjadi pisau bermata dua bagi penguasa. Menjadi penenang, atau sebaliknya, sebagai penentang.
Lihat saja, apa jadinya ketika kaum Milenial turun aksi. Layaknya tahun 1908 dengan berdirinya Boedi Utomo. Mereka berjuang merdeka atas penjajah Belanda. Begitupula tahun 1998, mereka menjadi pelopor perubahan menuntut reformasi akibat KKN yang dilakukan penguasa. Pun, yang terjadi pada akhir bulan September 2019, mereka turun ke jalan menyampaikan aspirasinya secara kritis di berbagai daerah menyerukan hal yang sama yaitu menolak RUU KUHP, Revisi UU KPK, RUU Pertahanan, RUU Minerba, RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, serta RUU Sumber Daya Air, yang dianggap menciderai demokrasi, yang sebelumnya diklaim dari rakyat oleh rakyat.
Fakta yang ada justru semakin tergambar dalam benak masyarakat bahwa demokrasi itu dari kapitalis, oleh elite rakyat, dan untuk corporate.
Maka pemegang status quo tentu tak bisa tinggal diam. Mereka merasa harus mengamankan aset kaum Milenial di sisinya. Harapannya, terdapat aset Milenial yang mampu menjadi penenang dan pembela kebijakan serta keputusannya dalam masa kepemimpinannya.
Benar saja, setelah mengumumkan kabinet dengan sederet wakil mentrinya, kini Presiden Jokowi menunjuk 12 staf khusus presiden untuk mendampinginya, 7 di antaranya adalah kaum Milenial.
“Ketujuh Milenial ini akan memberikan gagasan-gagasan segar yang inovatif, sehingga kita bisa mencari cara-cara baru, cara-cara out-of-the-box, yang melompat, untuk mengejar kemajuan negara kita,” kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (21/11). “Saya juga minta mereka untuk menjadi jembatan saya dengan anak-anak muda, para santri muda, para diaspora, yang tersebar di berbagai tempat,” kata Jokowi menambahkan. Dimulailah strategi itu dengan mengajak dua staf khusus Milenial dalam kunjungan kerja melihat program Mekar di Subang, Jabar (29/11). “Paling tidak lapangannya ini, anak muda ini biar tahu,” terang Jokowi.
Apakah benar dengan dibentuknya Stafsus dari kalangan Milenial akan menjadi jembatan generasi muda? Atau malah semakin menguatkan politik oligarki di rezim jild 2? Benarkah keadilan sosial bagi rakyat Indonesia bisa tercipta di negeri Pancasila?
Banyak pengamat meragukan strategi pembentukan Stafsus Milenial. “Itu hanya pencitraan,” kata Prof. Burhan Bungin “Karena Stafsus tak punya wewenang mengambil keputusan, meski bisa memberi pertimbangan, tapi akan sulit beradu pendapat dengan mentri dan partai pengusungya, maka tak ubahnya pepesan kosong.”
“Bagaimana mau inovatif dan kreatif jika sudah dibatasi karena berada di sisi penguasa, ini adalah upaya menutupi lingkaran oligarki dalam pemerintahannya,” ujar Lucius, mantan Wali Kota Solo. Apalagi mereka diangkat dengan latar belakang partai dan sosok konglomerat penyokong Jokowi di kampanye Pilpres. Gaji yang mereka dapatkan sebesar 51 juta rupiah per bulan, berbeda jauh dari guru honorer yang hanya ratusan ribu. Bukankah hal ini semakin membuat ketimpangan?
Ibarat jauh panggang daripada api. Dilansir dari Formapi, bahwa masalah utama yang dirasakan oleh Milenial adalah masalah ekonomi, yaitu terbatasnya lapangan pekerjaan, tingginya harga sembako, dan tingginya angka kemiskinan. Jika pemerintah memang peduli pada persoalan Milenial, seharusnya pemerintah menciptakan lapangan pekerjaan dan iklim usaha yang kondusif, bukan membuka keran pekerja asing masuk ke dalam negeri. Bukan hanya memikirkan Revolusi Industri 4.0, hingga PHK meningkat karena digantikan oleh kecanggihan teknologi. Juga bukan dengan mencari simbol Milenial di birokrasi, apalagi nampak hanya pencitraan semata.
Sesungguhnya, fungsi dan peran birokrasi pada prinsipnya ialah memberikan pelayanan penuh terhadap masyarakat. Bercermin pada apa yang dilakukan Rasulullah SAW sebagai pemimpin negara (dalam buku ensiklopedi Muhammad Sebagai Negarawan), seorang pemimpin harus selalu ada untuk rakyatnya, dan berpihak pada rakyat pada setiap kebijakan yang diambil, bukan pada segelintir kapitalis. Harus terbentuk birokrasi yang amanah dan sosial ekonomi yang berpihak pada rakyat.
Penguasa dan birokrasi haruslah dari orang yang mampu dan profesional, jujur dan tidak berpihak. Pada tata administrasi harus ada kesederhanaan aturan; karena kesederhanaan aturan akan memberikan kemudahan dan kepraktisan, sementara aturan yang rumit akan menyebabkan kesulitan. Harus ada kecepatan dalam pelayanan transaksi.
Pada sistem ekonomi sosial, harus terjadi peningkatan ekomoni yang halal yang menggunakan sektor riil. Uang yang ada tidak boleh beredar pada segelintir orang. Dalam iklim usaha, pemerintah harus terus berupaya merangsang iklim birokrasi yang sederhana dan penghapusan sistem pajak sebagai pendapatan utama, untuk diganti dengan sector yang lebih sesuai dengan yang dipedomankan oleh manusia terbaik; Rasulullah Muhamad SAW.
Kehadiran Milenial di birokrasi haruslah merepresentasikan keberadaan ilmu dan ketaqwaan yang teruji, sehingga dapat secara penuh dijadikan teladan dan memberi daya kawal yang kuat bagi jalannya pemerintahan agar tetap on the track. Karena hanya dengan ilmu dan taqwa sematalah keberadaan Milenial itu bernilai, baik bagi mereka sebagai pribadi, sebagai bagian dari keluarga, maupun sebagai orang yang berperan di tingkat negara. Baik bagi kehidupan dunia maupun akhirat mereka.
Wallahu A’lam bi showab.
Post a Comment