Antara LGBT, CPNS, dan Peran Negara

 

Oleh: Sri Nurwulan 


Penerimaan CPNS 2019 di Kejaksaan Agung menuai polemik. Pasalnya pihak kejaksaan Agung memberlakukan syarat tidak menerima pelamar lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dalam seleksi tersebut. Kejaksaan Agung mengaku memiliki landasan hukum yang kuat terkait pelarangan tersebut. Kejaksaan Agung sudah memiliki tim medis dan psikolog yang akan mendeteksi LGBT tersebut (22/11/2019, kompas.com).
Hal ini memunculkan pro dan kontra. Banyak pihak yang menilai bahwa kebijakan tersebut bersifat diskriminatif. Salah satunya adalah partai Gerindra yang menulis dalam cuitan akun Twitter Gerindra @Gerindra, yang tak setuju dengan penolakan terhadap Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dari kalangan LGBT. Selain Gerindra, partai PPP dan PDIP juga menolak kebijakan tersebut.
Konglomerasi media liberal juga turut mengecam keputusan ini dan menganggap regulasi yang ada diskriminatif, tidak bertransformasi dengan perubahan tipologi masyarakat. Salah satunya adalah pernyataan dari Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan menilai terdapat kesalahan berpikir yang mendalam terkait persyaratan rekrutmen CPNS tersebut. Selain itu, terdapat kebencian serta ketakutan luar biasa terhadap homoseksualitas atau homophobia. Kedua hal tesebut, kata Ricky, terlihat dari penyebutan "kelainan orientasi seksual".  “Dalam perspektif kesehatan dan psikologi, tidak ada persoalan dengan ‘kelainan’ orientasi seksual. Sebab, orientasi seksual yang berbeda, termasuk yang berbeda dari yang mayoritas, dilihat sebagai keberagaman seksualitas, dan hal itu adalah sesuatu yang biasa saja dan ada dalam kehidupan manusia,” ungkap Ricky (tirto.id, 14/11/2019). Dan masih banyak lagi komentar mengenai keputusan memberikan persyaratan tersebut.
Melihat polemik ini, kita dapat menilai bahwa banyak kerusakan yang terjadi disistem kapitalistik. Tidak hanya sumber daya alam saja yang dirusak, bahkan moralitas pun diabaikan, agama dan aturannya dibuang dari praktik kehidupan serta kepentingan bisnis dimenangkan dengan berbalut slogan kesetaraan dan HAM. Ukuran yang digunakan hanyalah atas dasar materi saja, yaitu keuntungan individu atau golongan yang akan dihasilkan. Ketika aturan tersebut dianggap merugikan bagi para pemilik modal, maka harus dimusnahkan. Walaupun aturan tersebut adalah untuk kebaikan seluruh umat manusia.
Hal ini sangat berbeda sekali dengan aturan Islam. Dalam aturan Islam salah satu tujuannya adalah menjaga moralitas setiap masyarakat. Aturan Islam memiliki ukuran baik dan buruk yang harus diadopsi oleh semua pihak tanpa terkecuali dan pemberlakuannya secara sempurna untuk menjamin terwujudnya persamaan hak dan keadilan. Jika terdapat opini atau pandangan yang bertentangan, sudah dapat dipastikan akan tertolak. Negara berkewajiban untuk menjaga sistem ini berjalan dengan baik dan sesuai dengan jalurnya.
Dalam kasus ini, perbuatan LGBT merupakan perbuatan terlarang dalam Islam. Bahkan para pelakunya akan dikenakan hukuman yang berat. Karena LGBT merusak tatanan kehidupan masyarakat, sehingga perilakunya tidak boleh ada dimasyarakat. Jika perbuatannya saja dilarang, maka perilaku ini akan sangat jarang kita temukan dalam masyarakat. Sehingga instansi tidak perlu lagi mencantumkan pelarangan LGBT, salah satu contohnya dalam hal persyaratan penerimaan calon pegawai, karena negara juga sudah melarangnya.
Pemberlakuan hukuman yang berat bagi pelaku LGBT ini setelah hukum Islam diterapkan, untuk pelaku sebelum aturan Islam diterapkan yang kemudian bertaubat akan dibebaskan dari hukuman tersebut, akan tetapi pelakunya harus menjalani masa rehabilitasi. Jika pelaku tersebut mengulangi perbuatannya, barulah diberlakukan hukuman berat tersebut.
Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah kita kembali kepada aturan yang benar, yaitu aturan Islam. Karena hanya aturan Islam saja yang dapat memberi solusi yang tuntas mengenai seluruh masalah kehidupan manusia, baik itu masalah individu, masyarakat, maupun negara. Selain itu Allah telah menjanjikan bahwa hanya Islamlah pemberi rahmat bagi semesta alam.
Wallahu a'lam bish-showabi

Post a Comment

Previous Post Next Post