Oleh : Widhy Lutfiah Marha
Pendidik Generasi dan Member Akademi Menulis Kreatif
Aksi Bela Islam 2 Desember telah menginspirasi Komite Perdamaian Dunia atau The World Peace Committee (TWPC) untuk menetapkannya sebagai Hari Ukhuwah Dunia alias World Brotherhood Day. Bisa disebut pula dengan World Ukhuwah Day. Nama ukhuwah langsung diambil dari asimilasi bahasa Arab.
Presiden TWPC, Prof. Dr. HE Djuyoto Suntani membenarkannya. Pernyataan dari yang berkompeten ini dengan sendirinya menepis isu dan sinisme banyak kalangan yang menyebut penetapan hari khusus itu sebagai hoax. Sebagaimana klaim situs fact checker yang menamakan dirinya pendeteksi fakta kebenaran, tetapi membantah fakta tentang penetapan Hari Ukhuwah Dunia atau World Ukhuwah Day.
Menurut presiden perdamaian dunia atau TWPC, Dr. HE Djuyoto Suntani, penetapan Hari Ukhuwah Dunia itu atas usulan beberapa negara yang mencermati peristiwa 212. Ketetapan ini didukung oleh 202 negara yang 90 persen non muslim.
Menurut TWPC, ada 9 (sembilan) hal penting dan luar biasa yang terlihat di peristiwa fenomenal 212 sehingga layak dimonumentalkan dalam sebuah hari khusus untuk tetap diperingati sepanjang tahun.
Pertama, pengumpulan jutaan umat massa secara spontan pada 2 Desember 2016 merupakan peristiwa pertama di dunia.
Kedua, jutaan massa yang berkumpul datang dengan ikhlas atas inisiatif sendiri.
Ketiga, jutaan massa yang berkumpul semuanya untuk menyampaikan suara hati nurani.
Keempat, jutaan massa yang berkumpul semuanya bertanggungjawab atas diri sendiri.
Kelima, jutaan massa yang berkumpul berlangsung tertib, aman dan damai.
Keenam, logistik yang terkumpul semua berasal dari elemen masyarakat. Tidak ada massa yang kelaparan atau kehausan.
Ketujuh, jutaan massa yang berkumpul dengan hening berdoa secara khusyuk bersama seluruh makhluk di alam semesta.
Kedelapan, jutaan massa yang berkumpul membawa aura sejuk dan kekeluargaan, persahabatan, perdamaian, persaudaraan yang saling menghormati sesama.
Kesembilan, alam semesta di seluruh planet bumi memberi restu mulia pada jutaan massa yang berkumpul di Monas pada 2 Desember sehingga selesai acara, lokasi bersih rapi. Tidak ada selembarpun sampah yang tersisa. Ini terjadi karena ridha Allah dan restu seluruh alam semesta.
Aksi 212 damai kali ini tak akan lagi mengetuk pintu istana sebagaimana aksi 411, tapi acara kali ini semata-mata hanya mengetuk pintu langit-Nya.
Allahu Akbar… Subhanallah…dengan hanya berniat mengetuk pintu langit-Nya, Allah Subhanahu wa ta’ala menunjukkan kekuasaan-Nya untuk menggerakkan para penghuni istana mau melangkahkan kaki menuju Monas, pusat lokasi aksi 212.
Reuni 212 tahun 2019 ini masih layaklah disebut Aksi Bela Islam - sekaligus Aksi Bela Nabi Muhammad saw seiring masih ada orang yang berani membandingkan Nabi saw dengan sosok manusia yang lain. Selain itu, mengajak hadirin untuk pula peduli terhadap nasib muslim Gaza di Palestina dan Uighur di China.
Partisipasi kehadiran pada momen reuni 212 tahun ini semoga didasari atas ketulusan, persaudaraan dan persahabatan untuk sama-sama membela Islam dan umatnya. Bagi yang berhalangan hadir tentu masih dapat berpartisipasi baik melalui donasi maupun doa-doanya.
Terlepas semua pro-kontra terkait reuni 212, dimana ada ruang untuk berbeda pendapat dan argumen. Namun, yang harus menjadi dasar adalah konstitusi. Bahwa UUD pasal 28E ayat 3 memberi ruang kebebasan bagi setiap warga untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Selama tidak melanggar ketentuan hukum, maka kebebasan berkumpul dan berpendapat tak boleh ada yang menghalangi. Ini harus jadi dasar dan pegangan bersama.
Reuni 212, atau apapun nama dan mimbarnya, siapapun penyelenggaranya, harus dilihat dari sisi undang-undang yang berlaku. Jika tak ada aturan dan hukum yang dilanggar, maka negara harus memastikan bahwa acara tersebut mendapat ijin untuk diselenggarakan.
Terkait hal ini, pihak kepolisian kabarnya telah mengeluarkan izin. Begitu juga Pemprov DKI juga telah mempersilahkan Monas sebagai tempat diselenggarakannya acara reuni 212. Ini fakta awal yang positif.
Tapi, izin saja belum cukup. Ada satu lagi tugas negara yang tak boleh dilewatkan. Yaitu memastikan bahwa tak ada pihak-pihak yang berniat mengganggu, apalagi menghalangi dan menggagalkan terselenggaranya acara reuni 212. Siapapun yang punya rencana dan berupaya menggagalkan acara tersebut, maka dapat dipastikan bahwa itu adalah pelanggaran. Disini negara harus hadir untuk menindak secara tegas kepada para pengganggu tersebut.
Dan jika masih ada yang mengganggu siapapun itu, hukum harus ditegakkan di atas semua institusi dan golongan. Jika tidak, maka akan berlaku hukum rimba. Masing-masing dengan kekuatannya akan adu nekat. Jika ini terjadi, maka konfllik terbuka bisa mengalirkan darah kembali. Akibatnya? Indonesia gaduh dan energi bangsa terkuras untuk hal-hal yang tak semestinya terjadi.
Sukses dan damainya mimbar rakyat, termasuk reuni 212 harus dipahami sebagai kesuksesan negara dan damainya sebuah bangsa. Tapi sebaliknya, gagalnya mimbar kebebasan rakyat akan dinilai sebagai gagalnya negara melindungi hak rakyatnya dan menjaga kedamaian bangsa. Sampai disini, nama baik, reputasi dan dedikasi pemerintah akan dipertaruhkan.
Wallahu a’lam bishshawab.
Post a Comment