Agama Hanya Aksesoris dalam Demokrasi

Oleh : Sofia Ariyani S.S
Pegiat Opini dan Member Akademi Menulis Kreatif


“Partai Allah VS Partai Setan”
“Poros Mekah VS Poros Peking”
Masyarakat mungkin masih ingat dengan jargon-jargon di atas beberapa waktu lalu saat kampanye pilpres 2019 berlangsung. Munculnya jargon-jargon itu bukan sekadar muncul akan tetapi karena pengutuban dua kubu timses (tim sukses). Panasnya masa-masa kampanye saat itu melatarbelakangi adanya jargon-jargon tersebut. Para pendukung dari kedua capres yang sangat bertolak belakang ideologinya. Jika kubu petahana yang saat itu banyak menjalin kerja sama dengan negeri tirai bambu yang menganut sosialisme-komunisme, maka kubu 02 didukung oleh partai berbasis Islam dan ulama.

Namun, setelah pesta demokrasi berakhir dua kubu yang saat itu berseteru kini saling “berpelukan”, bukan tanpa alasan mereka saling memaafkan. Kecurangan atas kemenangan 01 ditutupi dengan memanggil 02 ke istana yang mengimingi sebuah jabatan. Gayung pun bersambut, tak jadi soal tampuk kepemimpinan tidak dimilikinya asalkan mendapat sepotong roti kekuasaan. Kepentingan adalah tujuan mereka. Dalam alam demokrasi tak ada lawan abadi, tak ada kawan abadi, yang ada kepentinganlah yang abadi sebagai suatu hal yang lumrah. Besok lawan hari ini menjadi teman.

Hal ini terjadi pada beberapa partai yang saat itu mendukung 02, ketika masa kampanye dengan giatnya mengajak kepada umat Islam dan merangkul ulama agar mendukungnya. Namun, habis manis sepah dibuang, perjuangan umat yang saat itu “all out” akan tetapi dikhianati dengan bergabungnya 02 ke kubu petahana. Kini  partai-partai itu menampakkan wajah aslinya.

Dilansir oleh antaranews.com, Wakil Ketua MPR RI Zulkifli Hasan menilai jualan surga neraka yang diterapkan saat Pemilu 2019 tidak relevan lagi, karena ternyata masyarakat lebih membutuhkan kebijakan yang berdampak luas.

“Belajar dari Pemilu 2019 yang sudah usia, ternyata publik tidak lagi membutuhkan jargon-jargon, tapi apa yang akan berdampak bagi kehidupan mereka” kata dia, di Padang.

“Jadi bukan jualan agama yang diharapkan, tapi apa kebijakan berdampak yang bisa ditawarkan kepada masyarakat,”

“Buktinya ketika menjual isu penista agama tidak seiring dengan hasil pemilu, perolehan suara partai saya PAN malah di urutan ke delapan,” katanya lagi
Artinya kata dia, publik lebih memilih tawaran kebijakan yang berdampak langsung dan siapa yang menawarkan itu lebih mendapat dukungan. (antaranews.com, 09/12/2019)

Pernyataan pimpinan PAN ini menegaskan bahwa dalam sistem demokrasi agama hanya menjadi instrumen untuk meraih dukungan suara umat. Saat suara partai tidak bisa terdongkrak dengan isu agama maka mereka mengubah wajah menyesuaikan dengan selera pasar yang semakin sekuler anti Islam. Umat hanya menjadi pendorong mobil mogok. Inilah wajah asli demokrasi-sekuler yang hanya memikirkan kepentingan kelompoknya bahkan diri sendiri. Kepentingannya lebih diutamakan ketimbang kepentingan umat.  

Demokrasi yang katanya sistem rakyat, dari-oleh-untuk rakyat, rakyat dapat menghentikan masa jabatan presiden, dan kekuasaan berada di rakyat nyatanya hanya pepesan kosong. Pada faktanya demokrasi berlaku hanya untuk mereka yang memiliki kekuasaan (modal), dengan kepentingan penguasa maka rakyat hanya menjadi objek, menjadi korban kekuasaan. Rakyat hanya mendapatkan kezaliman-kezaliman dari segala kebijakan penguasa. Rakyat yang mengkritisi kebijakan penguasa akan dibungkam dan ditindak. Sudah berapa nyawa menjadi tumbal kezaliman demokrasi? Sudah berapa banyak mereka yang ditangkap tanpa pengadilan? Sedangkan agama dijadikan aksesoris sebagai pemanis buruknya rupa demokrasi.

Inilah kebobrokan sistem demokrasi, tidak sinkron antara konsep dan pengaplikasiannya. Karena demokrasi berasal dari jalan kompromi yang meniadakan aturan agama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dimana akal manusia sebagai makhluk lemah yang membuat aturan kehidupan mereka, maka tidak akan mampu mengurai setiap persoalan umat. Justru keterpurukan, kezaliman dan ketidakadilan akan selalu meneror umat.

Sedangkan Islam agama yang komprehensif, tidak hanya mengatur urusan ukhrawi akan tetapi mengatur pula urusan duniawi. Dengan kata lain Islam mengatur segala aspek kehidupan yaitu, sosial, politik, ekonomi, hukum, dan sebagainya, dalam rangka untuk menjaga dan melindungi umat manusia bahkan alam dari kerusakan. Maka pada praktiknya umat dituntut untuk terikat terhadap aturan Islam (syariah) dalam aktivitasnya. Agama bukan menjadi tameng kekuasaan, tapi menjadi periayah umat, mengurusi urusan umat. Dan pemimpinlah yang bertanggung jawab atas kesejahteraan, keamanan, keadilan dan kehormatan umat. Sebagaimana hadis Rasulullah saw:

فَاْلإمَامُ رَاعٍ وَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

"Seorang imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus." (HR al-Bukhari dan Muslim).

سَيِّدُ الْقَوْمِ خَادِمُهُمْ

"Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka." (HR Abu Nu‘aim).

Sedangkan partai di dalam Islam berfungsi untuk mengedukasi masyarakat agar memahami Islam dan mengarahkan pilihannya berdasarkan Islam. Pun sebagai pemantau penguasa dalam menjalankan amanahnya.
Kondisi umat yang tidak memberikan dukungannya terhadap Islam dan partai Islam adalah buah sistem sekuler dan absennya partai Islam dari mengedukasi Islam ke tengah umat.

Agar umat dan agama tidak lagi menjadi komoditas kekuasaan maka harus menjadikan agama Islam sebagai sistem yang mengatur manusia bermasyarakat dan bernegara, dan diterapkan secara totalitas (kaffah) bukan sebagai ibadah rirual belaka. Hal ini akan terwujud apabila institusinya ditegakkan, yaitu Daulah Khilafah Islamiyah.

Wallahu 'alam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post