By : Novianti
Semakin dalam seseorang mengkaji ilmu pengetahuan dan alam ini, akan semakin dalam keimanannya kepada Allah, sebab mereka melihat dengan “mata kepala” sendiri betapa teratur semua yang Allah ciptakan. Mustahil keteraturan terjadi tanpa sengaja.
Apakah suatu kebetulan jarak antara matahari dengan bumi sesuai dengan kebutuhan manusia. Kebetulankah setiap planet bergerak pada garis edar yang tidak bertabrakan? Bagaimana bentuk batang dan akar tanaman, daun bisa berfotosintesis lalu mengeluarkan oksigen? Antara satu dengan yang lainnya terhubungkan sedemikian rupa sehingga tercipta suatu hubungan yang harmonis bagi kelangsungan hidup manusia.
Sehingga mestinya para ilmuwan adalah orang-orang dengan keimanan yang menghunjam. Realitasnya justru banyak ilmuwan atheis atau tidak menganggap penting agama. Atau mengakui tuhan tapi tidak mengakui agama. Apa yang terjadi pada dunia ilmu pengetahuan sekarang?
Hal ini dikarenakan sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan telah meracuni dunia pendidikan. Berbicara tentang alam semesta, bumi dan seisinya, kehebatannya tapi tidak bicara tentang Allah seolah-olah manusia tidak membutuhkan tuhan Allah. Pendidikan mengajak bereksplorasi mencurahkan segala pikiran, tenaga, dana dan semua potensinya untuk menemukan bagaimana tapi mereka gagal menemukan tuhan. Mereka sangat serius menjawab pertanyaan tentang “how”, tetapi tidak tentang “why”.
Ilmuwan saat ini seolah traumatik dengan agama, agama dianggap doktrin yang membuat kejumudan. Dalam paradigma Barat, “agama” dan sains memang dua hal yang berbeda. Orang harus memilih diantara keduanya, tidak bisa mencampuradukkan. Karenanya tidak heran, ilmuwan di barat cenderung atheis atau hanya sekedar tahu agama.
Masa kelam zaman kegelapan di eropa telah membawa dampak berkepanjangan. Ketika para gerejawan menggunakan agama sebagai alat kekuasaan, terjadilah benturan benturan antara ilmu pengetahuan dengan dogma agama. Dari sinilah sekulerisme berawal.
Padahal pandangan agama bertentangan dengan sains adalah keliru, cara pandang yang dikungkung oleh paradigma sempit dan kegelapan masa lalu. Sayang, Barat hanya mau melihat satu agama padahal agama itu tidak hanya satu. Ada agama yang berbeda dengan agama yang dominan di Barat, yaitu Islam.
Dan sungguh keliru jika umat islam pun ikut ikutan mereduksi agama saat berbicara tentang ilmu pengetahuan. Al Quran banyak berbicara tentang alam dan seisinya. Bahkan Allah mendorong hamba hambaNya untuk memikirkan semua itu. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi. Silih bergantinya malam dan siang. Berlayarnya bahtera di laut yang membawa apa yang berguna bagi manusia. Dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Ia hidupkan bumi sesudah matinya (kering). Dan Ia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan. Dan pengaturan angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. Sesungguhnya (semua itu) terdapat tanda-tanda (Keesaan dan Kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (QS. Al-Baqarah [2]: 164).
Dalam islam, manusia memperoleh ilmu bukan hanya sekedar bertambah pengetahuan melainkan untuk membawa perubahan pola pikir (aqliyah) dan sikap (nafsiyyah) yang membentuk pribadi seorang muslim (syakhsiyyah islamiyyah). Muslim yang berkepribadian islam akan melihat segala peristiwa dari sudut islam, mengukur benar salah perbuatan dari hukum islam. Bertambah ilmu, bertambah keta’atan. Dan inti dari keta’atan adalah kokohnya aqidah islam.
Aqidah islam mendorong seseorang untuk berkarya, bekerja dan memberikan manfaat seluas-luasnya bagi manusia. Lahirlah berbagai penemuan yang menjadi dasar perkembangan ilmu pengetahuan sains dan teknologi. Sehingga tidak ada dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan. Dalam islam tidak dikenal pemisahan diantara keduanya. Karenanya tidak mengherankan di zaman keemasan islam, para ahli di berbagai bidang seperti Ibnu Sina, Al Khawarizmi, adalah mereka yang juga mendalami Al Quran.
Aspek nafsiyyah (sikap) dibentuk melalui pembiasaan adab, ibadah dalam keseharian sehingga kontrol dan arahan diri terbangun. Pembiasaan ini untuk bertaqarrub pada Allah. Kedisiplinan, kesabaran, qona’ah, tawadhu menjadi bagian yang terlatih secara terus menerus.
Beginilah proses pendidikan di dalam islam yang seharusnya sudah mulai dilirik dan digali oleh para ahli saat ini sebagai pilihan untuk menata pendidikan. Kurikulum di negara kita berganti setiap pergantian mentri dan ini membutuhkan ongkos, tenaga dan waktu. Bahkan saat ini yang terlihat ada upaya yang mengarahkan pendidikan makin sekuler. Agama kian tidak mendapat tempat. Porsinya kalah oleh materi pelajaran seperti matematika, ilmu pengetahuan alam. Tsaqofah islam kian dijauhkan seperti upaya menghilangkan materi perang dan khilafah dari buku sejarah.
Jika keran agama makin ditutup, pengetahuan akan kehilangan ruh dan eksistensi manusia sebatas materi berjalan dan berpotensi membuat kerusakan. Padahal berbagai permasalahan di kalangan pelajar akhir-akhir ini kian memprihatinkan dan bermula dari rapuhnya pondasi agama. Pendidikan kehilangan visi misinya. Hanya dilakukan sebatas memenuhi kebutuhan pasar dan industri. Padahal pendidikan hakekatnya harus meningkatkan kualitas hidup di hadapan Allah.
Inilah salah satu medan tantangan para guru sekarang, membicarakan ilmu pengetahuan dengan dasar dari Al Quran. Sehingga tidak ada ilmu kecuali berdiri di atas keyakinan pada Allah Subhana Wa Ta'ala. Guru seharusnya mengajar tidak didikte oleh pejabat atau aturan yang bertentangan dengan agama. Guru tidak boleh menjadi bagian pembodohan generasi dengan menutupi kebenaran islam justru islam adalah sumber inspirasi yang tak ada habis-habisnya bagi ilmu pengetahuan.
Post a Comment