SOLUSI SATU EKOR AYAM, SOLUSI TAK MEMBUMI

Oleh : Inas Rosyidah
(pemerhati masalah sosial) 

Baru-baru ini,  Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mewacanakan agar satu keluarga memelihara satu ekor ayam untuk memenuhi kebutuhan gizi anak, yaitu dengan memberi asupan telur yang dihasilkan dari ayam yang dipelihara tersebut. Menurutnya, gizi yang diberikan sejak usia dini dapat menekan angka stunting alias gagal tumbuh akibat kurang gizi kronis pada seribu hari pertama. Benarkah ini solusi yang menyelesaikan masalah?

Sekali lagi,  pemerintah menawarkan solusi yang 'aneh', tak solutif dan jauh dari nilai kemanusiaan.  Usul ini tak beda dengan solusi yang dulu pernah digagas oleh para menteri di era Kabinet Kerja Jokowi pada periode pertama kepemimpinannya. Saat daging mahal, rakyat disarankan mengkonsumsi daging tutut (keong sawah). Ketika harga cabe mahal, cukup disolusi dengan menanam cabe di rumah sendiri. Beras mahal, maka rakyat miskin disuruh mengencangkan ikat pinggang, mengurangi makan beras. Dan sederet solusi lain yang tak manusiawi yang bertentangan dengan akal sehat.

Penguasa seakan bersikap cuci tangan atas setiap masalah yang menimpa rakyatnya. Mereka menutup mata atas fakta,  bahwa kesengsaraan yang dialami rakyat saat ini akibat rezim salah mengelola negara. SDA yang dimiliki negeri ini nyaris disedot habis oleh asing dan aseng, dan rakyat hanya kebagian merasakan limbahnya. Rakyat tak ikut mencicipi manisnya kekayaan alam Indonesia. Rakyat dipersilahkan mensolusi sendiri masalah-masalah mereka.
 
Penguasa hanya memposisikan diri sebagai 'penasehat' yang sok bijak memberikan petunjuk jalan keluar pada rakyatnya.  Padahal sumber masalahnya justru berpusat pada penguasa yang menerapkan sistem demokrasi kapitalis yang mendudukkan penguasa sekaligus sebagai pengusaha.

Setiap muncul masalah,  rakyat diberi solusi oleh rezim,  yang notabene itu bersandar pada daya kekuatan rakyat sendiri untuk mensolusi masalahnya.

Usulan mencegah stunting pada anak dengan cara memelihara 1 ekor ayam untuk 1 keluarga untuk meningkatkan gizi anak, sungguh solusi yang jauh panggang dari api.  Solusi yang jelas tak menyelesaikan masalah. Apa yang bisa diharapkan dari 1 ekor ayam dalam mengangkat gizi keluarga? Lagi-lagi institusi keluarga-lah yang diserahi kewajiban untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Lantas,  dimana peran negara?

Sistem neoliberalisme dan neokapitalisme yang dianut negeri ini,  membuat rezim mengebiri hak-hak rakyat. Banyak kebijakan rezim yang hanya menguntungkan para pengusaha alias para pemilik modal. Tanpa rasa malu,  rezim mengimport daging sapi, cangkul, jagung, ketela pohon,  garam dan bahan kebutuhan lain yang sebenarnya sangat berlimpah di dalam negri.

Berapa milyar dana yang digelontorkan penguasa untuk acara hura-hura semacam konser musik sambut pelantikan presiden kemarin yang menampilkan banyak artis? Nyaris serupa dengan acara apel kebangsaan yang menelan 18 milyar yang digagas Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat kampanye presiden dulu. Padahal acara-acara tersebut tak berkontribusi sedikitpun untuk kesejahteraan rakyat. Gemebyar namun seperti fatamorgana yang menipu. Sama saja bombastisnya dengan gaji staf khusus presiden yang dibayar 51 juta per orang per bulan,  yang digaji tanpa harus ngantor. Bandingkan dengan biaya yang dikeluarkan rezim untuk membebaskan rakyat dari masalah stunting. 1 ayam untuk 1 keluarga. Sangat jauh.  Bagaikan bumi dengan langit. Padahal jika masalah stunting ini tak segera ditangani negara dengan tepat, mampu membuat LOST GENERATION....hilangnya generasi masa depan yang berkualitas.

Islam mewajibkan penguasa untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya. Sandang,  pangan,  papan,  kesehatan  dan keamanan harus dijamin oleh penguasa. Masalah stunting pada anak tak mungkin terjadi jika penguasa faham dengan tanggung jawab terhadap rakyatnya . Sebagaimana hadits Rasulullah :
"Setiap kalian adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang penguasa adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya....."(HR Bukhari).

Islam mewajibkan negara untuk mensolusi masalah kebutuhan pokok rakyatnya,  bukan rakyat yang disuruh mensolusi masalahnya sendiri. Ini semua terjadi akibat negara mencampakkan hukum Allah Yang Maha Sempurna dan justru mengadopsi hukum buatan manusia yang jelas sarat dengan kepentingan si pembuat hukum. Hanya dengan kembali pada syariah Islam kaffah, kesejahteraan dan keadilan masyarakat dapat tercapai.

Post a Comment

Previous Post Next Post