Oleh : Suciyati
Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani sepakat dengan wacana anak buah Menteri Agama Fahcrul Razi merombak 155 buku agama Islam yang memiliki konten terkait khilafah.
Ismail mengatakan dalam sejumlah temuan, buku-buku pelajaran agama ini memang mengandung ada materi-materi berbau kekerasan, atau mengajarkan kekerasan atas nama agama. Termasuk di antaranya gagasan khilafah.
"Ini saya kira bagian yang harus di review untuk kemudian diperbaiki. Untuk kemudian disajikan materi-materi yang lebih toleran," ujar Ismail saat dihubungi Tempo, Jumat, 15 Oktober 2019.
Ismail menilai langkah pemerintah ini memang perlu dilakukan. Selama perombakan buku pelajaran dilakukan di tingkat SD hingga SMA, ia menilai hal ini masih dapat dipahami. Namun, jika perombakan hingga di tingkat perguruan tinggi, baru kemudian hal itu akan bermasalah.
"Saya kira penting di sini negara punya peran bahwa kurikulum yang diajarkan tak mempromosikan praktek-praktek intoleransi," kata Ismail.
Meski begitu, ia agak menyayangkan wacana perombakan ini hanya untuk menghapus konten yang berbau khilafah saja. Padahal, Ismail menilai selama ini rekomendasi perombakan kurikulum, lebih luas dari sekedar menghapus khilafah saja.
"Sebagai contoh ada ajaran tentang pengakuan enam agama. Jika hanya mengakui enam, maka kepercayaan dan agama yang lain, yang sebenarnya tumbuh di Indonesia, agama-agama lokal Nusantara, itu tidak dicakup. Tapi tampaknya rencana Kemenag ini tidak untuk menyasar ke bagian itu. Yang utama hanya khilafah," kata Ismail.
Sebelumnya, Kementerian Agama dikabarkan akan merombak 155 judul buku pelajaran agama yang memiliki konten tentang khilafah. Buku yang dirombak mulai dari buku kelas 1 sekolah dasar hingga kelas 12 sekolah menengah atas.
Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Kamaruddin Ami mengatakan, dalam buku yang dirombak harus dijelaskan khilafah ada dalam sejarah tapi tidak serta merta bisa diterapkan di Indonesia saat ini.
Khilafah sesungguhnya bukanlah istilah asing dalam khasanah keilmuwan Islam. Menurut Wahbah az-Zuhaili, “Khilafah, Imamah Kubra dan Imarah al-Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 9/881).
Menurut Dr. Mahmud al-Khalidi (1983), “Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.” (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 226).
Karena merupakan istilah Islam, Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam sebagaimana shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya. Apalagi menegakkan Khilafah adalah wajib menurut syariah Islam. Bahkan Khilafah merupakan “tâj al-furûd (mahkota kewajiban)”. Pasalnya, tanpa Khilafah—sebagaimana saat ini—sebagian besar syariah Islam di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, pemerintahan, politik, politik luar negeri, hukum/peradilan, dsb terabaikan. Di bidang pendidikan, misalnya, negara menerapkan sistem pendidikan sekular. Di bidang ekonomi, negara menerapkan sistem ekonomi kapitalisme-neoliberal. Di bidang sosial, negara mengadopsi HAM Barat sehingga zina dan LGBT dibiarkan dan tidak dianggap kriminal.
Karena itu tentu aneh bin ajaib jika Pemerintah dan mereka yang dijuluki sebagai ulama dan pakar ketatanegaraan Islam ingin membuktikan bahwa Khilafah bukan ajaran Islam.
Dalil Kewajiban Khilafah
Sebagai kewajiban dalam Islam, Khilafah tentu didasarkan pada sejumlah dalil syariah. Sebagaimana dimaklumi, jumhur ulama, khususnya ulama Aswaja, menyepakati empat dalil syariah yakni:
(1) Al-Quran;
Dalil al-Quran lainnya antara lain QS an-Nisa` (4) ayat 59; QS al-Maidah (5) ayat 48; dll (Lihat: Ad-Dumaji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49).
Selain itu Allah SWT berfirman:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً…
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi khalifah…” (TQS al-Baqarah [2]: 30).
(2) As-Sunnah;
Di antaranya sabda Rasulullah saw.:
مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah.” (HR Muslim).
(3) Ijmak Sahabat;
Berkaitan dengan itu Imam al-Haitami menegaskan:
أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ، بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اِشْتَغَلُّوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ.
Sungguh para Sahabat, semoga Allah meridhai mereka telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.” (Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7).
(4) Qiyas Syar’iyyah.
Khilafah juga didasarkan pada kaidah syariah berikut:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Selama suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.
Sudah diketahui bahwa banyak kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan oleh orang-perorang, seperti kewajiban melaksanakan hudûd (seperti hukuman rajam atau cambuk atas pezina, hukuman potong tangan atas pencuri), kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Pelaksanaan semua kewajiban ini membutuhkan kekuasaan (sulthah) Islam. Kekuasaan itu tiada lain adalah Khilafah.
dalam kitab fikih yang terbilang sederhana namun sangat terkenal berjudul Fiqih Islam, juga mencantumkan bab tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Bahkan bab tentang Khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air.
Khatimah
Berdasarkan paparan singkat di atas, masih adakah yang berani menolak Khilafah sebagai ajaran Islam?! Jika ada, semoga saja ia berani pula bertanggung jawab di hadapan Allah SWT kelak. Wal ‘iyâdzu bilLâh!
Post a Comment