By : Mutiara Putri Wardana
Tahun depan, tepatnya tahun 2020 pasangan yang memiliki planning untuk menikah nampaknya harus bersiap diri untuk mengikuti pelatihan pra nikah. Pelatihan ini sendiri merupakan sebuah syarat untuk mendapatkan sertifikasi layak nikah yang mana jika calon pengantin tidak lulus sertifikasi maka dapat dipastikan mereka tidak bisa menikah dulu atau dengan kata lain terpaksa ditunda sampai keduanya berhasil mendapatkan sertifikat tersebut.
Wacana ini sendiri dicanangkan oleh Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy sebagai syarat untuk menikah. Program sertifikasi ini berisikan bekal pengetahuan yang harus mereka miliki tentang ekonomi keluarga hingga kesehatan reproduksi. Pelatihan pranikah diharapkan berdampak menekan angka perceraian, mengatasi angka stunting dan meningkatkan kesehatan keluarga.
Rencana ini pun mendapat dukungan dari Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nakha'i karena dianggap sebagai upaya negara dalam membangun keluarga yang kokoh, berkesetaraan, dan berkeadilan. Sehingga, pasangan yang sudah menikah diharapkan mampu membangun keluarga sejahtera.
Menurut Imam, sertifikasi perkawinan menjadi penting karena saat ini terjadi perang narasi ketahanan keluarga. Ada kelompok yang memaknai bahwa ketahanan keluarga dengan kembalinya perempuan ke ruang domestik, ketaatan penuh pada suami, dan kepemimpinan laki-laki. (Tempo.co, 19/11/19)
Langkah yang diambil pemerintah untuk mengatasi permasalahan yang timbul di dalam kehidupan pernikahan ini justru nantinya bisa menghasilkan mudharat yang lebih besar lagi. Seperti yang kita ketahui tujuan dari pernikahan itu sendiri selain untuk menyempurnakan separuh agama atau ibadah adalah untuk merealisasikan gharizah nau’ (naluri melestarikan jenis) dengan jalan yang benar sesuai dengan tuntunan Islam. Jika pernikahan justru dipersulit dengan hal semacam ini maka tidak menutup kemungkinan naluri tersebut disalurkan dengan jalan yang haram seperti perzinahan.
Bahkan ada juga anggapan bahwa program ini sebagai upaya untuk mencegah pernikahan usia dini pun jelas salah, kenapa? Karena bisa kita lihat bahwa pembatasan usia pernikahan tidak punya arti apapun bila perilaku seks bebas di kalangan remaja tidak dicegah. Sebab seks bebas atau MBA (Married by Accident) inilah yang menyumbang angka paling besar terjadinya pernikahan dini.
Sungguh Ironi, ketika pernikahan dini terus dipermasalahkan sedang perzinaan dan seks bebas justru dibiarkan dan dianggap hal yang biasa. Padahal ada ancaman besar ketika ada perzinaan yang merebak di suatu negeri. Rasulullah Saw bersabda, “Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu negeri, maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri” (HR al Hakim, al Baihaqi dan at Thabrani).
Selain itu, isu ketidak setaraan gender disinggung di sini sebab bagi pegiat gender akan sangat mendukung program ini selama perspektif kesetaraan dan keadilan dalam perkawinan tetap dipakai sebagai landasan pelatihan. Sebab sebagian penggiat gender menganggap dalam kehidupan pernikahan terjadi konflik dikarenakan tidak adanya pembagian peran yang setara di rumah.
Selama ini, tugas-tugas domestik seperti membersihkan dan merawat rumah, memasak, mencuci, mengasuh dan mendidik anak, serta berbagai tugas lainnya di rumah dianggap sebagai tugas perempuan saja. Sementara, mencari nafkah dan menjadi kepala rumah tangga serta tugas-tugas lainnya di ruang publik lebih lekat kepada laki-laki. Pembedaan peran inilah yang mereka anggap sebagai ketidak setaraan itu.
Padahal masalah kesetaraan gender pun juga tidak bisa dijadikan dasar untuk membangun sebuah keluarga yang sejahtera, sebab tak sedikit kasus perceraian yang akhirnya terjadi karena perempuan juga ingin memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki dalam rumah tangga. Misalnya, dengan adanya kesetaraan gender yang dijadikan alibi di rumah membuat istri dan/atau ibu menjadi lalai dari tugas yang semestinya.
Islam menetapkan dua peran penting perempuan, yaitu sebagai ibu dan pengelola rumah. Ibu adalah pendidik utama dan pertama bagi para buah hatinya. Ibu adalah peletak dasar jiwa kepemimpinan pada anak. Ibu mempersiapkan anak menjadi generasi pejuang. Sebagai seorang pengurus rumah tangga, perempuan juga dimuliakan. Bukankah ini tugas yang lebih mulia dan besar pahalanya daripada aktivitas diluaran sana yang notabenenya lebih erat dengan faktor eksistensi diri, kepuasaan sesaat, dan materi semata?
Lihat bagaimana jawaban Rasulullah saw. saat Asma’ binti Yazid menyampaikan kebimbangannya apakah peran istri di rumah akan sama mulia dengan peran laki-laki? Rasulullah saw. bersabda, “Pahamilah, wahai perempuan, dan ajarkanlah kepada para perempuan di belakang kamu. Sesungguhnya amal perempuan bagi suaminya, meminta keridhaan suaminya dan mengikuti apa yang disetujui suaminya setara dengan amal yang dikerjakan oleh kaum lelaki seluruhnya.”
Sebenarnya sudah jelas di dalam Islam jika suami adalah pemimpin dalam keluarga dan seorang istri memang lah harus taat kepada suaminya selagi tidak melanggar syari’at Islam. Tapi kenapa justru hal ini dianggap sebagai masalah dalam menjaga ketahanan keluarga? Bukan kah ini suatu pembuktian bahwa segala persoalan yang terjadi justru dikarenakan kita semakin jauh dari syari’at Islam?
Permasalahan demi permasalahan yang melanda keluarga merupakan dampak dari kemerosotan berpikir dan akidah, sehingga tidak terarah dengan benar bagaimana seharusnya gambaran keluarga sesuai dengan koridor Islam. Hal ini diperparah dengan lemahnya pemahaman mereka terhadap aturan-aturan Islam, termasuk tentang konsep pernikahan dan keluarga, fungsi dan aturan didalamnya.
Selain itu, akar permasalahan utamanya adalah merupakan dampak dari virus-virus liberalisme yang menebarkan penyakit untuk menghancurkan umat dan merusak bangsa ini melalui serangan pemikiran. Tanpa kita sadari kondisi tatanan keluarga saat ini sedang mengalami kerusakan parah yang jika terus dibiarkan akan membawa kepada kehancuran negeri ini. Karena kehancuran keluarga perlahan tapi pasti akan membawa kehancuran negeri ini.
Jadi, di era kapitalis-liberal saat ini ketahanan keluarga tidak cukup disiapkan oleh individu dengan hanya bermodal tambahan pengetahuan dan keterampilan semata tapi harusnya lebih dari itu, dibutuhkan daya dukung negara dan sistem nya yang terintegrasi untuk menanamkan taqwa kolektif, iklim ekonomi yang kondusif bagi pencari nafkah keluarga, jaminan kesehatan berkualitas dan gratis serta peran media yg steril dari nilai-nilai liberal yang menjadi racun utama dalam merusak kehidupan keluarga itu sendiri.
Maka, sudah semestinya kita kembali kepada aturan Islam yang merupakan satu-satunya solusi yang mujarab dalam mengatasi berbagai persoalan umat saat ini tanpa harus mengambil solusi-solusi semu yang hanya akan membuat masalah baru lagi. Untuk menerapkan aturan Islam ini tentu diperlukan negara dengan bingkai Khilafah yang mampu menjadi perisai ketahanan keluarga karena berpegang teguh pada seperangkat aturan Islam yang akan melindungi kita. Khilafah ala minhaj Nubuwah yang saat ini dinantikan umat yang yakin akan janji Allah dan Rasul-Nya. Negara yang akan menebarkan rahmat tidak hanya bagi lingkup keluarga namun juga bagi semesta alam. Wallahu a’lam
Post a Comment