Redefinisi Jihad, Sasaran Isu Radikalisme Berikutnya?

Oleh : Kayyisa Haazimah 
(Aktivis Dakwah Remaja Majalengka) 

Isu radikalisme kembali mencuat setelah Presiden Joko Widodo menunjuk mantan wakil Panglima TNI Jenderal (Purn) Fachrul Razi masuk kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024. Jokowi meminta lulusan akademi militer 1970 itu mengurus pencegahan radikalisme dalam jabatan barunya.

Saat memperingati Hari Santri 2019 bersama anggota Muslimat NU Kab. Sukoharjo, Minggu (03/11), Menteri Agama Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi mengajak seluruh santri dan anak negeri ini untuk merapatkan barisan, memperkuat identitas keislaman dan keindonesiaan.

Menag mengatakan, jiwa santri yang tidak pernah memisahkan antara agama dan negara sesungguhnya terinspirasi dari apa yang dinyatakan dalam Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945 yang dikumandangkan oleh Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.  

Ia mengungkapkan, di dalam resolusi jihad itu tercermin sikap kebangsaan dan keagamaan yang bersatu padu. 

"Atas dasar dalil agama, mempertahankan NKRI merupakan bagian dari kewajiban agama. Agama membenarkan untuk memiliki semangat kebangsaan. Agama tidak pernah memisahkan perhatiannya terhadap negara. Akan tetapi, justru karena semangat agamanya itu, ia rela berkorban dan terus berkarya untuk membangun bangsa," ungkap Menag. (kemenag.go.id, 3/11/2019).

Pernyataan Menag tersebut perlu untuk dikritisi oleh umat Islam. pasalnya, menyempitkan makna jihad dengan semangat kebangsaan jelas menyalahi dari makna jihad secara syar'i. Apakah ini bagian dari upaya redefinisi jihad? 

Jihad adalah bagian dari hukum Islam dengan makna yang telah dijelaskan oleh syara'. Ditegaskan oleh Ibn Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni. Beliau tidak membahas makna lain dalam bab Jihad, kecuali yang terkait dengan perang, memerangi kaum kafir, baik fardhu kifayah maupun fardhu ‘ain, atau kesiagaan kaum Mukmin dari serangan musuh dan menjaga perbatasan. 

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mu’tabar tentang makna jihad, yaitu berperang. Meski jihad identik dengan perang, tidak semua perang berarti jihad. Berperang melawan penyimpangan penguasa, selama tidak masuk dalam kategori murtad, berperang melawan orang yang merampas kekuasaan dan berperang untuk mendirikan Negara Islam, misalnya, adalah bentuk peperangan, tetapi tidak termasuk dalam kategori jihad.

Berbicara jihad pasti akan bersinggungan dengan negara Islam, karena jihad hanya bisa dilakukan melalui Institusi Negara Islam sebagai bentuk metode dakwah offensif, demi membebaskan negeri - negeri yang belum tersentuh cahaya Islam. Adapun yang dilakukan kaum muslimin ketika tidak ada negara Islam seperti saat ini, jihad yang dilakukan adalah jihad defensif, untuk melindungi diri. 

Perlu diperhatikan juga bahwa konsep kebangsaan bertentangan dengan Islam. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang keluar dari ketaatan dan memecah belah jamaah lalu mati, dia mati dengan kematian jahiliyah. Dan siapa yang terbunuh di bawah panji buta, dia marah untuk kelompok dan berperang untuk kelompok maka dia bukan bagian dari umatku. Dan siapa saja yang keluar dari umatku memerangi umatku, memerangi orang baik dan jahatnya dan tidak takut akibat perbuatannya terhadap orang mukminnya dan tidak memenuhi perjanjiannya maka dia bukanlah bagian dari golonganku-” (HR Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, an-Nasai).

Sebelumnya, pernyataan Menag banyak menuai kritikan dari umat Islam perihal cadar dan celana cingkrang. Meski sudah meminta maaf sudah membuat kegaduhan, namun tetaplah umat Islam tidak boleh mendiamkan upaya-upaya penyesatan terhadap ajaran-ajaran Islam yang mulia. 
Hal ini semakin memperjelas bahwa benar, rezim ini telah mengidap islamophobia akut. Dengan terus menunjukan sikap berlawanan dengan kehendak publik, dimana publik di negeri ini adalah mayoritas muslim. Seharusnya negara yang menganut kebebasan beragama ini, memberi ruang kepada umat Islam untuk melaksanakan aturan dari keyakinan mereka. 

Upaya menyerang ajaran Islam melalui proyek deradikalisasi dan penyesatan makna syar'i harus segera diakhiri. Bukan hanya yang dilakukan oleh rezim, namun juga oleh pihak-pihak dibalik proyek besar tersebut, yakni musuh-musuh Islam. Umat Islam harus terus menyuarakan hukum-hukum Allah yang wajib dilaksanakan oleh segenap umat. Dengan dakwah yang tiada henti, umatlah yang harus mengcounter upaya busuk tersebut dengan menjelaskan motif program deradikalisasi serta upaya-upaya yang menyudutkan Islam dan ajarannya. Sehingga cahaya kemenangan Islam hanya soal waktu. Wallahu a'lam bish shawab. 

Post a Comment

Previous Post Next Post