Oleh : Moni Mutia
(Penggiat Literasi Aceh)
Tagar #BebaskanLuthfi menjadi trending topik di twitter. Luthfi yang merupakan ekspelajar ini ikut demo bersama anak STM membantu aksi mahasiswa untuk mendesak pemerintah membatalkan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Luthfi sendiri menjadi viral saat photonya yang menutup wajahnya dengan bendera Merah Putih tersebar di dunia maya yang dijadikan iconik keberanian remaja dalam membela kebenaran.
Namun viralnya photo tersebut menyeret Lithfi ke jeruji besi. Tepat pada tanggal 30 September 2019, Luthfi ditangkap polisi.
Polisi kemudian menjerat Luthfi dengan Pasal 170 ayat (1) KUHP tentang kekerasan terhadap orang dan barang, pasal 212 KUHP juncto pasal 214 ayat (1) KUHP tentang perlawanan terhadap petugas secara bersama-sama, dan pasal 218 KUHP tentang pembangkangan terhadap perintah petugas untuk membubarkan diri dari kerumunan. (28/11/19/CCNIndonesia.com).
Sikap polisi ini ternyata tidak disambut baik oleh masyarakat, justru gelombang kepedulian datang dari masyarakat agar Luthfi segera dibebaskan.
Menurut Kuasa hukum demonstran Luthfi Alfiandi (LA), Sutra Dewi, kliennya mengaku tak melakukan pembakaran fasilitas umum maupun pelemparan terhadap petugas. Berdasarkan foto yang viral, kata dia, Luthfi saat itu tengah menggenggam telepon genggam, bukan batu. (28/11/19/CCNIndonesia.com).
Dan masih banyak lagi bukti yang dimiliki Kuasa Hukum Luthfi yang menunjukkan bahwa Luthfi tidak bersalah. Namun tetap saja, kasus Luthfi terus diproses dan sudah dilimpahkan ke kejaksaan.
Berbeda dengan kasus seorang pelajar yang menghina Presiden Jokowi. Justru polisi tidak menahannya karena ujaran kebencian yang diucapkannya. Hanya karena pelajar tersebut dianggap masih di bawah umur.
Namun jika pemerintah ingin benar-benar menghilangkan ujaran kebencian, harusnya bersikap adil dalam menegakkan hukum atasnya.
Justru dengan berbeda sikap inilah akhirnya membuat masyarakat terpecah. Dan berpendapat bahwa pemerintah tidak adil dan memihak ke pihak tertentu.
Dimana keadilan??
Polemik di negeri ini kian bertambah dan runyam. Namun saat rakyat ingin menegakkan kebenaran justru dibungkam. Siapapun yang pedas lisannya mengkritik rezim langsung ditumpas dan diperkarakan.
Jeruji besi pada akhirnya dipenuhi oleh rakyat sendiri yg menginginkan keadilan ditegakkan.
Keadilan seolah sirna bagi yang bersebrangan dengan penguasa. Pembungkaman dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari pemecatan bagi pegawai hingga penangkapan.
Bukankah negeri ini berlandaskan Pancasila? Yang terkandung di dalamnya Keadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Namun mengapa fakta dilapangan justru Pancasila tidak diterapkan?.
Bukankah negeri ini menjunjung tinggi Demokrasi yang bebas aspirasi?. Namun mengapa banyak aspirasi yang tidak didengarkan dan dianggap basi.
Justru proses hukum begitu ketat bila menyangkut dengan rezim, akan tetapi proses hukum begitu longgar terhadap penista agama Islam, dan pelecehan terhadap ulama dan lain sebagainya.
Semua ketidakadilan ini terjadi disebabkan oleh sistem yang diterapkan di negeri ini. Yaitu sistem pemerintahan Demokrasi.
Dalam sistem Demokrasi, keadilan hanya ilusi semata. Hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Hal ini disebabkan karena sistem Demokrasi menyerahkan pembuatan hukum pada manusia. Inilah kelemahannya yang paling mendasar.
Bagaimana mungkin keadilan terbentuk bila standar kebenaran diserahkan pada akal manusia. Sedangkan akal manusia itu lemah dan terbatas. Ditambah lagi pikiran manusia berbeda-beda satu sama lain sesuai kepentingan masing-masing. Oleh karena itu, keadilan sulit terwujud dalam sistem Demokrasi bahkan mustahil.
Keadilan dalam Islam
Berbeda dengan Demokrasi yang selalu berpihak pada penguasa dan pemilik modal. Justru Islam tampil menjadi solusi bagi manusia seluruh alam.
Islam telah membuktikan penerapan hukum secara adil di tengah-tengah masyarakat selama 13 abad. Sebagaimana kisah yang begitu mahsyur pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib mengenai yahudi dan baju perang Ali.
Meskipun Ali statusnya kepala negara, namun karena tidak mampu menghadirkan saksi atas pencurian baju besi nya, maka hakim memutuskan bahwa baju besi menjadi milik seorang laki-laki Yahudi.
Begitulah adilnya Islam dalam memutuskan perkara. Tanpa memandang status, suku, agama bahkan jabatan penguasa sekalipun.
Hukum tidak tumpul ke bawah namun hukum berlaku pada siapapun.
Wajar jika Islam mampu mewujudkan keadilan yang sempurna tanpa memihak pada golongan tertentu. Sebab Islam diciptakan bukan berlandaskan akal manusia melainkan datangnya dari Allah Azza Wa Jalla.
Tidak heran, jika Islam mampu memimpin dunia hingga 1300 tahun. Namun hal ini berbeda dengan Demokrasi yang belum sampai satu abad memimpin dunia, akan tetapi telah tampak kebobrokannya dan kecatatannya.
Jika selama sistem Demokrasi masih menjadi landasan berpikir pemerintah dan masyarakat di negeri ini, maka keadilan yg diharapkan tidak akan terwujudkan.
Post a Comment