Palestina : Ketika Kemanusiaan Terbentur Kekuatan Politik

Sumber : middle east monitor
Oleh : Staviera A, dr. 
Praktisi Kesehatan di Purwakarta

Tanah Palestina kembali menjadi saksi bisu tragedi kemanusiaan. Serangan militer Israel di jalur Gaza dua pekan lalu kembali menelan korban jiwa. Serangan udara dan artileri memakan 34 korban jiwa termasuk di dalamnya 16 orang warga sipil, serta 69 orang luka-luka (Al-Jazeera, 14/11). Serangan ini menambah daftar panjang peristiwa menyayat hati dalam konflik Palestina – Israel yang tak kunjung usai. 

Motif serangan pun masih sama, yaitu ‘menjaga Israel dari ancaman teror’. Israel mengirimkan misil ke rumah Abu Al Ata yang merupakan tokoh penting milisi jihad Palestina, menewaskan dirinya beserta istri, melukai anak-anak dan tetangganya (BBCNews, 12/11). Setelah dua hari beradu serangan jarak jauh, Israel menyetujui gencatan senjata. Namun, tak lama serangan terjadi lagi, ditujukan kepada Hamas (Serambinews.com, 17/11)

Layakkah serangan Israel ini dilegitimasi, sebagai sebuah upaya self-defense dari serangan terorisme? Padahal masih jelas dalam ingatan kita 70 tahun yang lalu bagaimana Israel datang ke tanah Yerusalem, merampas hak tinggal 750.000 orang penduduk asli Palestina dengan paksa, 13.000 nyawa pun melayang. Siapakah yang lebih layak dikatakan penjahat?

Sudah 70 tahun sejak peristiwa itu, dan masih berlanjut hingga sekarang. Berapa puluh ratus gencatan senjata dan perjanjian damai telah dilakukan, tapi tetap saja Israel memandang Palestina sebagai ancaman yang harus disingkirkan. Presiden Palestina telah diangkat, bendera Palestina sudah berkibar di markas Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Tapi mengapa masih ada penyerangan?

Selalu ada negara besar di belakang Israel. Sejak awal Israel mampu untuk berdiri dibantu oleh Inggris melalui Deklarasi Balfour, setelah hancurnya Turki Utsmani. Kelahirannya diaminkan oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang merupakan cikal bakal PBB. Setelah Amerika Serikat (AS) maju menjadi adidaya pasca Perang Dunia II, Israel juga diakui oleh AS walaupun kejam kejahatannya di Palestina. 

Sayangnya hingga saat ini tak ada pemimpin negara yang mampu ‘menindak tegas’ tindakan Israel yang jelas bertentangan dengan kemanusiaan. Walaupun telah mendapat reaksi pengecaman dan pemboikotan ekonomi dari beberapa negara, tetap tak ada rasa bersalah dari otoritas Israel. Masih ada AS yang senantiasa mendukung Israel merampas tanah Palestina. 

Permasalahan ini  tidak luput dari sorotan Mahkamah Internasional, membicarakan sanksi untuk Israel namun tiada hasil. Anjuran-anjuran diacuhkan saja, sanksi pun tak kunjung diberikan. Begitupun solusi dua negara juga tidak menjanjikan. Lihat saja, Israel menyetujui berdirinya otoritas Palestina dengan syarat perlucutan senjata bagi seluruh angkatan bersenjata di Palestina (Republika, 19/10/17). 

Hal ini menunjukkan bahwa akhir derita Palestina tidak cukup hanya bermodalkan rasa kemanusiaan dan bantuan logistik, tak cukup pula dengan kecaman. Israel mampu mengacuhkan kecaman-kecaman dari berbagai negara. Diperlukan ketegasan dari institusi politik yang mampu menandingi AS yang menjadi backing Israel.

Amat disayangkan bahwa negeri-negeri muslim tidak mengambil peran ini. Padahal mereka memiliki potensi ekonomi dan militer yang tidak buruk. Israel harus dihadapi oleh kekuatan militer, namun bukan militer personal atau golongan, melainkan militer dari satu negara dengan kekuatan politik yang besar. Sayangnya, belum ada negara yang mengambil posisi ini.

Diperlukan adanya institusi negara yang menjunjung keadilan, tak tergoyahkan kepentingan pribadi  atau kelompok. Sosok negara yang memiliki ideologi mantap sehingga kuat internalnya dan aktif menyerukan visi ke luar negaranya. Termasuk visi militer yang kuat untuk membebaskan manusia dari penjajahan manusia lainnya, negara seperti inilah yang dapat mengakhiri derita Palestina.

Post a Comment

Previous Post Next Post