PALESTINA, AL-AQSHA DAN PENEGAKAN KHILAFAH

Oleh: Al.Azizy Revolusi 
(Penulis, Editor, Penikmat Media Sosial)

"Nasihati Dr Hertzl supaya jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun segenggam tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam. Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika Daulah Khilafah Utsmaniyah dimusnahkan pada suatu hari, maka mereka boleh mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Daulah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup."

Begitulah jawaban Khalifah Sultan Abdul Hamid II menanggapi upaya kaum Zionis Yahudi untuk mendirikan Negara Israel di bumi Palestina. Theodore Hertzel, pemimpin Zionis Yahudi, setidaknya telah enam kali mengunjungi Istanbul, ibukota Khilafah Utsmaniyah di Turki untuk maksud tersebut. Kondisi itu sangat kontras dengan Palestina saat ini. 

Jangankan untuk membantu masalah Palestina, melindungi Masjid Al Aqsha yang sedang menghadapi ancaman keruntuhan akibat pembangunan terowongan di bawahnya pun tak dilakukan oleh para penguasa negeri-negeri Islam di sekitar Palestina, termasuk otoritas Palestina sendiri. Padahal mereka tahu bahwa itu adalah tanah suci kaum Muslimin. Mereka menganggap seolah persoalan ini tidak terlalu penting. Yang lebih penting adalah menciptakan perdamaian.

Mereka tidak ada yang berani melawan Israel, meski hanya dengan kata-kata, sebagaimana dulu Khalifah Abdul Hamid bersikap. Yang keluar dari mulut hanya kecaman, sekadar untuk menutupi pengkhianatan mereka di hadapan rakyatnya. Dan yang lebih parah dari itu, beberapa pemimpin Arab justru mengakui keberadaan Israel, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan mendorong otoritas Palestina dari semua faksi yang ada untuk mengakui Negara Israel.

Pemecahan Palestina tentu tidak pernah terlaksana hanya dengan mengandalkan para penguasa negeri-negeri Arab, sebab mereka adalah agen-agen Barat yang melestarikan penghinaan terhadap kaum Muslim. Mau tidak mau, beban ini jatuh pada diri kaum Muslimin sendiri baik yang ada di Palestina dan di seluruh dunia.

Membebaskan Palestina

Untuk menyelesaikan persoalan ini, mau tidak mau kita harus mendudukkan Palestina pada posisinya semula sebagai wilayah yang dicaplok oleh Israel. Pilihannya tidak lain adalah mengusir Israel dari bumi Palestina, sebagaimana halnya kita mengusir Belanda dari bumi Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, mengobarkan jihad fi sabilillah merupakan pilihan yang rasional. Sebaliknya, dialog perdamaian dalam segala bentuknya merupakan jebakan Barat dan Israel untuk mengulur-ulur penyelesaian persolan ini secara tuntas.

Jihad harus terus dikorbankan di bumi Palestina. Tidak boleh ada upaya berdamai sedikitpun dengan penjajah. Bersamaan dengan itu kaum Muslim harus membangun kekuatan alternatif yang tidak bersandar pada kekuatan asing atau kekuatan para pengkhianat. Kekuatan ini haruslah kekuatan nyata yang bisa berhadapan dengan Israel dan negara pelindung Zionis. Negara itu adalah Daulah Khilafah Islamiyah yang lenyap sejak 3 Maret 1924. Negara inilah yang akan mempersatukan umat Islam seluruh dunia untuk membebaskan tanah Palestina dan Masjid Al Aqsha pada khususnya dari cengkeraman Israel la'natullah. Di sinilah relevansi antara Masjid Al Aqsa, Palestina, dan penegakan Khilafah. Wallahu a'lam bisshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post