Monopoli Infrastruktur Tol Laut dan Dampaknya

Oleh: Mega 
(Mahasiswi UHO)

Program tol laut menjadi jargon Jokowi ketika melakukan kampanye pemilihan presiden (pilpres) pada tahun 2014 lalu. Di penghujung akhir 2015, salah satu program utama Presiden Jokowidodo (Jokowi) tersebut akhirnya diluncurkan, yakni program tol laut yang harapannya dapat menjadikan Indonesia menjadi negara poros maritim dunia.

Tentunya harus kita akui bahwa negara kepulauan besar seperti Indonesia, merupakan negara yang tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan daerah perairan, terutama laut. Setiap kepulauan memiliki karakteristik tersendiri untuk wilayahnya, yang terintegrasi dan terus berkembang.
Kementerian Perhubungan mengidentifikasi potensi monopoli program tol laut banyak terjadi di daerah timur seperti Maluku dan Papua. Direktur Lalu Lintas dan Angkatan Laut Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub Wisnu Handoko mengatakan temuan itu merupakan hasil rapat evaluasi menyusul pernyataan presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu terkait dengan dugaan monopoli dalam penyelenggaraan tol laut. Menurutnya, pihaknya telah menindak lanjuti pemeriksaan dan evaluasi tol laut sesuai arahan Presiden Joko Widodo melalui menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi Agar lebih menyoroti maluku dan Papua. (Bisnis.com, 04/11/2019).
Berbagai kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara Indonesia saat ini, salah satu bentuk upaya yang dilakukan yaitu dengan peningkatan infrastruktur yang ada diseluruh wilayah Indonesia untuk mudah masuknya jalur barang dan jasa hingga masyarakat antar wilayah mendapatkan kemudahan yang sama dalam bentuk pelayan yang didapatkan, secara langsung ada beberapa faktor yang menjadi perhatian khusus dalam pembenahan sistem pelabuhan dalam mendukung program tol laut, antara lain Biaya operasional Pelabuhan yang selama ini banyak dikeluhkan oleh pengguna jasa pelabuhan, dimana belum adanya standarisasi ditambah ‘pungli’ yang berkeliaran dimana-mana.
 
Padahal tol diluncurkan untuk memperkuat jalur pelayaran yang ditujukan bagi pemerataan pertumbuhan ke Indonesia timur, menurunkan biaya logistik, juga menjamin ketersediaan pokok strategis diseluruh wilayah Indonesia dengan harga relatif sama.          

Namun dengan adanya penguasaan oleh swasta, sebenarnya tidak memberikan jaminan pelayanan yang dipeoleh masyarakat dengan sepenuhnya. Hal ini disebabkan paradigma sekuler demokrasi kapitalistik membangun infrastruktur bukan untuk kepentingan rakyat, namun untuk mencapai kepuasan dan tujuan segelintir kelompok saja yang malah merugikan masyarakat.
Dimanakah letak riayah pemerintah yang begitu dicanangkan untuk kepentingan kemaslahatan rakyat, namun malah menunjuk dan menyalahkan korporasi swasta yang mengelola proyek tol laut ini.
Jika ditelisik lebih lanjut sebenarnya peran pemerintah saat ini hanya menjadi regulator saja, bukan pemberi solusi kepada masyarakat. Mengeluhkan swasta tertentu memonopoli ongkos maka yang dia tuju adalah mewacanakan masuknya swasta lain atau asing agar terjadi persaingan harga.

Pandangan Islam Terkait pembangunan Infrastruktur
Pengelolaan Pembangunan yang bersifat publik, utamanya Infrastruktur harus didasari oleh sistem ekonomi Islam, yang meniscayakan sebuah negara mengelola seluruh kekayaan yang dimilikinya sehingga mampu membangun infrastuktur yang dibutuhkan untuk kemaslahatan publik. Dengan pengelolaan kekayaan umum (milkiyyah ‘ammah) dan kekayaan negara (milkiyyah daulah) yang benar berdasarkan Islam, menjadikan sebuah negara mampu membiayai penyelenggaraan pembangunan infrastruktur transportasi, pengelolaan, hingga pendistribusian barang dan jasa kepada rakyat diperoleh secara merata.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan sistem ekonomi kapitalistik seperti saat ini yang tertumpu pada pengelola segelintir kelompok yang mampu memonopoli secara sepihak. Sistem ekonomi kapitalistik tidak berprinsip bahwa pengadaan infrastruktur negara adalah bagian dari pelaksanaan akan  kewajiban negara dalam melakukan pelayanan (ri’ayah) terhadap rakyatnya. Karenanya, sistem ekonomi kapitalistik ini bukan hanya sistem ekonomi yang salah, bahkan ini adalah sistem yang rusak.
Ada empat poin penting pembangunan infrastruktur publik dalam Islam. Pertama, dalam sistem ekonomi dan politik Islam, pembangunan infrastruktur dalam Islam adalah tanggungjawab negara, bukan sebagai ajang mencari keuntungan atau ajang untuk melancarkan hubungan logistik antar wilayah atau negara saja. Prinsip ini sangat berbeda dengan pola pembangunan infrastruktur dalam sistem kapitalistik yang menjadikan proyek infrastruktur sebagai ajang mencari keuntungan atau memonopoli untuk kepentingan segelintir kelompok saja.
Kedua, sistem ekonomi Islam dalam naungan khilafah membahas secara rinci dan tuntas masalah kepemilikan [milkiyyah], pengeloaan kepemilikan [tasharruf], termasuk distribusi barang dan jasa di tengah-tengah masyarakat [tauzi’] juga memastikan berjalannya politik ekonomi [siyasah iqtishadiyyah] dengan benar. Sehingga pemerintah mempunyai sumber kekayaan yang cukup untuk membiayai penyelanggaraan negara. Termasuk memastikan terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar rakyatnya, baik kebutuhan pribadi maupun kelompok, seperti sandang, papan, pangan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Pada saat yang sama, ekonomi negara tumbuh dengan sehat, karena produktivitas individu yang terjaga.
Ketiga, Rancangan Tata Kelola Ruang dan Wilayah dalam negara khilafah didesain sedemikian rupa sehingga mengurangi kebutuhan transportasi.  Sebagai contoh, ketika Baghdad dibangun sebagai ibu kota, dibangunlah masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan,  pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah.  Dengan demikian, warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, baik untuk menuntut ilmu atau bekerja karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar.
Keempat, pendanaan pembangunan infrastruktur khilafah berasal dari dana Baitul Mal, tanpa memungut sepeser pun dana masyarakat. Hal itu sangat memungkinkan karena  kekayaan milik umum dan kekayaan milik negara memang secara riil dikuasai dan dikelola oleh negara.
Dengan demikian jelaslah hanya sistem ekonomi dan politik Islam lah yang menjamin pembangunan infrastruktur negara bagi rakyatnya, dan sistem ekonomi dan politik Islam ini hanya dapat terlaksana secara paripurna dalam bingkai Khilafah Islam sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, para khulafaur rasyidin hingga khilafah utsmaniyyah. Wallahu a’lam bishshawab.[] 

Post a Comment

Previous Post Next Post