Oleh : Novita Tristyaningsih
Muslimah Peduli Umat
Bagai menggenggam bara api, kiasan tersebut yang telah disematkan Rasulullah Saw tentang keadaan umat akhir zaman. Keadaan tersebut benar telah dirasakan umat saat ini. Islam kembali terasing sebagaimana mulanya. Saat ini, ketika umat Islam ingin diatur dengan aturan Islam secara menyeluruh maka label radikal, fundamentalis, teroris, bahkan garis keras kerap disematkan kepada mereka. Bahkan jualan-jualan radikalisme semakin digencarkan oleh penguasa negeri ini.
Seperti dikutip dari Tirto.id, Presiden Joko Widodo menunjuk mantan wakil Panglima TNI Jenderal (Purn) Fachrul Razi masuk kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024. Jokowi meminta lulusan akademi militer 1970 itu mengurus pencegahan radikalisme dalam jabatan barunya. Satu persatu, nama menteri yang dipanggil Jokowi berdiri. Nama lainnya adalah Tito Karnavian Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kummolo Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Mahfud MD Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Prabowo Subianto Menteri Pertahanan. Jika melihat kelima formasi menteri itu, terlihat sinyal pemerintah lima tahun ke depan berfokus pada persoalan melawan radikalisme di Indonesia.
Radikalisme seakan menjadi momok yang sangat menakutkan bagi pemerintah. Tapi, di sisi lain memanfaatkan cara itu untuk membungkam pengkritik dan lawan politiknya dengan tudingan radikal, ekstrimis, teroris tanpa tolok ukur yang jelas. Menurut catatan tirto, sejak Juni-September 2019, isu radikal di lembaga negara, yakni KPK terus dihembuskan di media sosial oleh buzzer. Terutama saat proses pemilihan komisioner dan revisi Undang-Undang KPK. Propaganda di medsos menggunakan kata radikal atau taliban untuk mendeligitimasi dan melemahkan KPK. (Tirto.id, 25/10/2019)
Upaya-upaya pemerintah dalam deradikalisasi menggambarkan bahwa Indonesia darurat radikalisme. Padahal faktanya, radikalisme yang digembar-gemborkan pemerintah merupakan sesuatu yang diada-adakan. Para penguasa dan pengikutnya dengan getol menggaungkan narasi bahwa radikalisme mengancam keutuhan NKRI, bahkan ingin mengubah pancasila dengan ideologi terlarang. Padahal faktanya, para pemberontak di Papua yang terang-terangan dan terstruktur membahayakan NKRI, justru hanya dianggap separatis bersenjata. Yang paling menyedihkan, sasaran radikalisme ala pemerintah menyerang ajaran-ajaran yang ada di dalam Islam. Seperti, khilafah, bendera tauhid, wajibnya mengkritik penguasa, dan sebagainya.
Padahal di dalam Islam muhasabah terhadap pemimpin adalah wajib atas umat Islam. Apatah lagi pemimpin tersebut tidak menerapkan hukum-hukum Allah dalam mengatur kehidupan masyarakat dan negara. Perintah ketaatan kepada pemimpin bukanlah ketaatan yang mutlak, seperti perintah taat kepada Allah dan rasul-Nya. Akan tetapi, Allah memerintahkan taat kepada pemimpin yang menerapkan hukum-hukum Allah dalam mengatur segala aspek kehidupan. Oleh sebab itu, segala kebijakan pemimpin yang tidak sesuai dengan Al Qur'an dan hadits maka wajib bagi umat Islam untuk mengoreksinya. Al-Thariq menuturkan sebuah riwayat, “Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw, seraya bertanya, Jihad apa yang paling utama? Rasulullah saw menjawab kalimat haq (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa yang lalim.“(HR. Imam Ahmad).
Dalam riwayat lain diriwayatkan, “Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw tatkala ia melakukan jumrah aqabah pertama. Ya Rasulullah, apa jihad yang paling utama? Rasulullah Saw diam. Ketika melakukan jumrah aqabah kedua, laki-laki itu bertanya lagi. Ya Rasulullah, apa jihad yang paling utama? namun, Rasulullah Saw tetap diam. Lalu, tatkala melakukan jumrah aqabah ketiga, ia bertanya lagi kepada Rasulullah Saw. Ya Rasulullah, apa jihad yang paling utama? Rasulullah Saw memasukkan kakinya ke pelana kuda, hendak menaikinya. Beliau berkata, siapa yang bertanya tadi? laki-laki itu menjawab, saya ya Rasulullah. Beliau Saw menjawab, kata-kata haq yang ditujukan kepada penguasa lalim.”(HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah).
Mengoreksi pemimpin merupakan bagian terpenting di dalam Islam. Standar dalam mengkritik pemimpin bukan berlandaskan ada manfaat ataupun mudharat. Lebih dari itu, Hal tersebut merupakan perintah syara' sekaligus kewajiban yang ada di pundak umat Islam. Sepanjang sejarah kepemimpinan Islam, kita bisa bercermin dari Khalifah Umar bin Khaththab, legawanya beliau terhadap kritikan rakyatnya.
"Wahai Amirul mukminin, apakah yang wajib kita ikuti itu Kitab Allah ataukah ucapanmu? seorang wanita dengan penuh keberanian melontarkan pertanyaan kepada Khalifah Umar yang baru selesai berkhutbah. Wanita itu menanggapi pernyataan Umar yang melarang memahalkan mahar. Umar membatasi mahar tidak boleh lebih dari 12 uqiyah atau setara 50 dirham. Seraya menyatakan, sesungguhnya kalau ada seseorang yang memberikan atau diberi mahar lebih banyak dari mahar yang diberikan Rasulullah Saw pastilah aku ambil kelebihannya untuk Baitul mal.” (Dakwatuna.com, 15/06/2012).
Muslimah pemberani itu pun kemudian mengutip ayat Allah, “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (QS: an-Nisa’ [4]:20).
Khalifah Umar menyadari kekhilafannya, kemudian dengan tanpa merasa malu, ia membenarkan ucapan wanita itu dan mengakui kesalahannya. “Wanita ini benar dan Umar salah,” ucapnya di depan banyak orang. (Dakwatuna.com, 15/06/2012).
Sejarah membuktikan bahwa hanya dengan kepemimpinan Islam penguasa dapat dan menerima kritikan dari rakyat ketika penguasa lalai dari tanggung jawabnya. Aktivitas amar makruf nahi mungkar akan berjalan sesuai perintah Allah Swt. Maka hanya dengan Sistem Islam akan terwujud pemimpin yang amanah, bertanggung jawab dan sadar bahwa kepemimpinannya kelak akan dimintai dipertanggung jawaban di akhirat.
Wallahu A'lam bish-shawab
Post a Comment