Oleh : Netty Susilowati, SPd
(Kepala Sekolah Tahfizh Plus Khoiru Ummah Malang)
Era revolusi Industri 4.0 ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi. Demikian juga teknologi informasi juga berkembang pesat. Informasi semakin mudah didapat. Hanya dengan menjetikkan jemari, dunia terbuka luas. Semua informasi mudah diakses. Bahkan informasi yang belum tentu kebenarannya pun (hoax) banyak bertebaran di media sosial. Secara bersamaan, saat ini umat Islam dibombardir dengan sejumlah informasi tentang jalan hidup liberal Barat dan tentang Islam. Di satu sisi, nilai-nilai dan sistem Barat dipromosikan sebagai jalan hidup yang paling adil dan beradab yang dapat menjamin kebahagiaan, kemakmuran, dan kesuksesan bagi mereka. Sementara di sisi lain, Islam, keyakinan, hukum-hukum, dan sistemnya diserang tanpa henti dan dituduh menindas, terbelakang, tidak beradab, dan jalan menuju kesengsaraan dan ketidakpuasan.
Pada suasana seperti ini, sangat penting untuk membangun pemikiran yang kritis pada diri umat muslim agar mereka dapat memahami semua informasi, terutama yang bertebaran di berbagai media, mampu memisahkan kebenaran dari kebohongan. Mampu membuat penilaian dan pilihan yang benar terhadap ide-ide dan gaya hidup yang mereka adopsi. Mampu memberi penilaian yang benar terhadap pandangan yang mereka rumuskan tentang isu-isu, peristiwa dunia, dan narasi tentang berbagai jalan hidup yang berbeda. Mampu memuhasabah penguasa dengan seluruh kebijakannya yang hari ini tidak sesuai dengan keyakinannya.
Dengan pemikiran kritis ini, akan mampu membangunkan umat Islam dari tidur panjangnya. Mereka akan mampu bangkit dengan ideologinya. Mampu mengurai masalah terbesar saat ini adalah karena tidak diterapkannya sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Mampu memilih sistem pemerintahan yang harus mereka gunakan saat ini yakni Khilafah.
Inilah yang tidak diinginkan musuh-musuh Islam dan para anteknya. Mereka mencoba membungkam kekritisan umat dengan isu deradikalisasi. Siapa yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah, dianggap radikal. Siapa yang bersuara vocal berani mengkritisi kebijakan pemerintah, maka dianggap terpapar radikalisme. Hingga menanamkan nilai-nilai Islam sejak dini semisal larangan ikhtilat (campur baur antara klaki dan perempuan) dianggap sebagai ajaran radikal.
Sungguh, proyek deradikalisasi yang sedang diusung pemerintah ini sejatinya tidak hanya membungkam sikap kritis umat. Lebih dari itu, mereka ingin menyerang, menghapus ajaran Islam tentang kewajiban muhasabah/menasehati pemimpin. Sebagaimana sabda Rasulullah :
«Ø§Ù„دِّينُ النَّصِÙŠØَØ©ُ»
“Agama itu adalah nasihat”
Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Nabi–shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:
«Ù„ِÙ„ّÙ‡ِ، ÙˆَÙ„ِÙƒِتَابِÙ‡ِ، ÙˆَÙ„ِرَسُÙˆْÙ„ِÙ‡ِ، ÙˆَÙ„ِØ£َئِÙ…َّØ©ِ المُسْÙ„ِÙ…ِÙŠْÙ†َ، ÙˆَعَامَتِÙ‡ِÙ…ْ»
“Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad. Lafal Muslim)
Allah dan rasulNya telah memerintahkan kaum muslimin untuk memberikan nasehat kepada pemimpin mereka. Jika hari ini mengkritik kebijakan pemerintah, mengoreksi dianggap radikal, dalam perspektif negatife sebagaimana narasi pemerintah, siapakah yang harus kita turuti, Allah dan RasulNya atau pemerintah? Yang sengaja membungkam kaum muslimin. Mengeliminasi ajaran Islam. Mengkerdilkan sikap kritis umat.
Wallahu’alam bi showab.
Post a Comment