Penulis : Eva Rahmawati
(Pemerhati Sosial)
Dilansir oleh KOMPAS.com pada 5 November 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pengangguran di Indonesia periode Agustus 2019. Hasilnya, Provinsi Banten menduduki peringkat pertama dengan tingkat pengangguran sebesar 8,11 persen.
Kepala BPS Banten Adhi Wiriana mengatakan, ada beberapa penyebab angka pengangguran Banten jadi yang tertinggi. Pertama, menurutnya pada Februari-September daerah ini mengalami kemarau panjang. Hal ini mengakibatkan petani menganggur, tidak bisa menanam karena pasokan air yang kurang.
Kedua, ada beberapa industri yang merumahkan karyawan dan peralihan industri yang mengakibatkan jumlah pengangguran bertambah. Salah satunya, perumahan karyawan di Krakatau Steel (KS) dan tutupnya perusahaan Sandratex di Tangerang Selatan. (detik.com, 5/11/19)
Menanggapi hal tersebut, Gubernur Banten Wahidin Halim dalam berbagai kesempatan seringkali menginstruksikan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) agar dalam setiap program kerja, lebih memperhatikan output yang berdampak pada penyerapan tenaga kerja di Provinsi Banten. Disamping itu, gubernur juga seringkali mengajak pemerintah kabupaten/kota agar terus dapat bekerja sama untuk mendorong program-program unggulan yang mampu menyerap tenaga kerja.
Upaya Pemprov Banten menurunkan angka pengangguran cukup berhasil menekan laju tingkat pengangguran. Data BPS Banten menunjukkan tingkat pengangguran terbuka di Banten menurun, meski menurun tapi masih tetap tinggi, jauh di atas rata-rata nasional yang 5,28%. Pada Agustus 2017 pengangguran di Banten mencapai 9,28%, lalu pada Agustus 2018 turun jadi 8,52%, dan data terakhir Agustus 2019 sedikit turun jadi 8,11%. Artinya keberhasilan tersebut masih belum optimal dalam mengatasi masalah pengangguran.
Tren penurunan angka pengangguran masih sangat kecil, wajar jika Provinsi Banten menjadi juaranya. Langkah-langkah yang ditempuh guna mengatasi masalah pengangguran dinilai setengah hati dan hanya bermain di sektor-sektor kecil. Sektor Usaha Mikro dan Kecil Menengah (UMKM) yang digalakan hanya menyerap tenaga kerja sedikit. Menurut data BPS Banten, lapangan usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Banten adalah sektor industri dan sektor perdagangan, masing-masing sebesar 24,09 persen dan 20,91 persen.
Namun, kini sektor industri yang terbukti menyerap tenga kerja terbesar di Provinsi Banten justru berlomba-lomba merelokasi pabrik-pabrik berbasis padat karya khususnya alas kaki dari Banten ke wilayah lain terutama Jawa Tengah (Jateng). Hal tersebut dilakukan karena ada kesenjangan upah, Banten punya upah minimum yang tinggi. Hal ini dinyatakan oleh Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) sudah 25 pabrik alas kaki dari Banten hingga Juni 2019 yang pindah, dan ada dua lagi yang rencananya akan hengkang tahun depan.
"Kita relokasi dari Tangerang (Banten), relokasi pabrik ke Jateng. UMP di Jateng, masih cukup bagus (Rp 1,6 juta/UMP 2019)," kata Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko.
Melihat fakta tersebut pemerintah terlihat tak berdaya menghadapi para pengusaha yang merelokasi pabrik-pabriknya. Padahal, dampak relokasi tersebut dapat dipastikan menyumbang angka pengangguran di wilayah yang ditinggalkan. Kecil kemungkinan para pekerja direlokasi juga di tempat yang baru. Dalam kondisi seperti ini dibutuhkan peran negara dalam membuat kebijakan yang pro terhadap para pekerja. Relokasi hanya menguntungkan pihak pengusaha saja, sedangkan para pekerja gigit jari akibat "dirumahkan".
Fenomena pabrik ramai-ramai hengkang dari daerah dengan upah minimum tinggi, mengindikasikan bahwa tak ada kamus sejahtera bagi para pekerja dalam sistem kapitalisme. Padahal tiap tahun mereka turun ke jalan, berjuang demi mendapatkan upah layak. Namun ketika upah dianggap tinggi, para pengusaha justru buru-buru merelokasi pabrik-pabriknya. Mereka tak mau mengambil resiko, mengeluarkan budget pembayaran upah yang tinggi. Mereka berpikir kalau ada daerah dengan upah minimum rendah kenapa harus bertahan dengan upah minimum tinggi. Yang penting usahanya masih bisa untung, tak peduli dengan nasib para pekerja.
Muncul pertanyaan, kenapa upah minimum tiap daerah berbeda-beda? Perlu diketahui, penetapan upah minimum tiap-tiap daerah didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Adapun KHL itu sendiri dihitung berdasarkan kebutuhan hidup pekerja dalam memenuhi kebutuhan mendasar yang meliputi kebutuhan akan pangan 2100 kkal perhari, perumahan, pakaian, pendidikan dan sebagainya. Dengan kondisi dan tingkat kebutuhan yang berbeda-beda di tiap daerah, menjadikan upah mininum di setiap daerah akan berbeda. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh daya beli dan inflasi di daerah masing-masing.
Islam Solusi Tuntas Masalah Tenaga Kerja dan Pengangguran
Masalah pengangguran merupakan masalah sistemik. Mengatasinya bukan hanya dalam satu aspek saja, melainkan semua aspek saling berkesinambungan. Aspek ekonomi, sosial, politik, pendidikan semua berkaitan satu sama lain. Dalam sistem Islam, kepala negara berkewajiban memberikan pekerjaan kepada mereka yang membutuhkan sebagai realisasi Politik Ekonomi Islam. Rasulullah saw.:
Imam/Khalifah adalah pemelihara urusan rakyat, ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah saw. secara praktis senantiasa berupaya memberikan peluang kerja bagi rakyatnya. Suatu ketika Rasulullah memberikan dua dirham kepada seseorang. Kemudian beliau bersabda (yang artinya), "Makanlah dengan satu dirham, dan sisanya, belikanlah kapak, lalu gunakan kapak itu untuk bekerja!"
Dalam beberapa sektor real, negara berperan langsung dalam meyediakan sarana dan prasarana yang dapat menunjang rakyat bisa bekerja. Kebijakan ekonomi yang diambil fokus untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha di sektor real baik di bidang pertanian, kehutanan, kelautan, tambang, perdagangan dan industri.
Sektor-sektor yang merupakan kepemilikan umum seperti sektor tambang, kelautan, kehutanan wajib dikelola oleh negara, tidak boleh diserahkan kepada swasta baik lokal maupun asing. Dalam sektor industri negara akan mengembangkan industri alat-alat (industri penghasil mesin) sehingga akan mendorong tumbuhnya industri-industri lain. Peran aktif negara dalam pengelolaan sektor real tersebut bertujuan negara memberikan lapangan pekerjaan seluas-luasnya kepada rakyat.
Dalam Islam, tidak ada tempat bagi sektor non-real. Karena jelas keharamannya dan menyebabkan uang beredar hanya di antara orang kaya saja, serta tidak berhubungan dengan penyediaan lapangan kerja.
Penentuan upah dalam Islam berdasarkan jasa kerja atau kegunaan atau manfaat tenaga kerja seseorang. Berbeda dengan pandangan Kapitalis dalam menentukan upah, mereka memberikan upah kepada seseorang pekerja dengan menyesuaikannya dengan biaya hidup dalam batas minimum. Berkurang atau bertambahnya upah tergantung pada beban hidupnya. Di dalam Islam profesionalisme kerja sangatlah dihargai sehingga upah seorang pekerja benar-benar didasari pada keahlian dan manfaat yang di berikan oleh si pekerja itu bukan dengan biaya hidupnya. Hal ini dapat memutus rantai masalah seperti yang terjadi di Provinsi Banten, di mana pun daerahnya upah pekerja didasarkan pada jasa kerja yang telah diberikan pekerja tersebut.
Dalam Islam, diwajibkan bagi laki-laki mencari nafkah bagi keluarganya. Untuk perempuan bertugas sebagai ummu warobatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga) berkarir di rumahnya, kecuali untuk beberapa pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan. Dalam sistem kapitalisme justru sektor industri didominasi tenaga kerja perempuan, hal inilah yang menjadikan banyak laki-laki yang sulit mendapatkan pekerjaan. Untuk itu, Islam akan lebih mengutamakan pekerja laki-laki, karena laki-laki lah yang mempunyai kewajiban menafkahi keluarga.
Dengan demikian, masalah tenaga kerja dan pengangguran termasuk di dalamnya upah dapat diselesaikan dengan tuntas hanya dalam sistem Islam. Hal ini dapat terwujud ketika Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Oleh karena itu, sudah saatnya umat menyadari bahwa sistem kapitalisme sudah seharusnya dicampakkan.
Wallahu a'lam bishshowab.
Post a Comment