Makin Liberal, Makin Hancur Ekonomi

Oleh : Aubi Atmarini Aiza 
(Member Akademi Menulis Kreatif dan Novelis) 

Ekonomi selalu menjadi perbincangan bagi banyak kalangan. Jangankan orang dewasa, anak-anak pun sudah tahu istilah 'wani piro' untuk menggambarkan nilai ideologi kapitalisme yang selalu mengukur segala sesuatu berdasarkan uang. Dimana ideologi kapitalisme ini sudah mengakar ke dalam pribadi masyarakat Indonesia. Sampai-sampai semua orang melakukan segala cara demi meraih harta sebanyak-banyaknya, walaupun harus mengabaikan saudara mereka yang masih kekurangan. Di antara orang-orang yang mampu memenuhi kebutuhan tersier mereka, ternyata yang tidak dapat memenuhi kebutuhan primernya lebih banyak lagi. 

Dilansir oleh cnnindonesia.com, pada 6 November 2019 Asian Development Bank (ADB) melaporkan 22 juta orang Indonesia masih menderita kelaparan. ADB bersama International Food Policy Research Institute (IFPRI) mengungkapkan hal itu dalam laporan bertajuk 'Policies to Support Investment Requirements of Indonesia's Food and Agriculture Development During 2020-2045'.

Kelaparan yang diderita 22 juta orang tersebut, atau 90 persen dari jumlah orang miskin Indonesia versi Badan Pusat Statistik (BPS) yang sebanyak 25,14 juta orang disebabkan masalah di sektor pertanian, seperti upah buruh tani yang rendah dan produktivitas yang juga rendah.

"Banyak dari mereka tidak mendapat makanan yang cukup dan anak-anak cenderung stunting. Pada 2016-2018, sekitar 22,0 juta orang di Indonesia menderita kelaparan," terang laporan tersebut dikutip dari laman resmi ADB, Rabu (6/11).

Akibat dari masalah sektor pertanian berdampak ke dalam persoalan ekonomi, yaitu kelaparan, kemiskinan, pengangguran dan masih banyak lagi. 
Solusi yang ditawarkan pun beragam, dari solusi pendidikan, lapangan pekerjaan, serta solusi bantuan yang diberikan kepada rakyat miskin berupa bantuan program-program pengentasan kemiskinan dari negeri adidaya Amerika. Namun, lagi-lagi solusi itu tidak terlaksana dengan baik. Darurat kelaparan sampai hari ini tidak diperhatikan dengan benar oleh penguasa. Mereka justru lebih fokus pada dugaan-dugaan terhadap ancaman kelompok-kelompok yang dianggap berpaham 'Radikal'. Hal ini menggambarkan bahwa paradigma berpikir penguasa tidak menyentuh akar persoalan masyarakat dalam segi penanganan masalah. Penguasa cenderung melarikan diri dari tugasnya mengurusi rakyat. Menggunakan kelompok-kelompok tertentu sebagai kambing hitam, untuk mengalihkan isu kegagalan penguasa dalam mengurusi rakyat. 

Kemiskinan, pendidikan dan lapangan pekerjaan yang terbatas, inilah yang harus diatasi terlebih dahulu. Kemudian kriminalitas, nasib korban bencana alam, penanganan tragedi di Wamena dan infrastruktur yang akhirnya dijual kepada swasta. 
Demikian pula dengan demokrasi yang dibanggakan pun telah mati. Pemilu yang memakan banyak korban sementara tidak ada peradilan dalam mengusut kematian para korban dari panitia pemilu presiden kemarin yang jumlahnya ratusan orang. 
Demokrasi telah menegaskan kematiannya, dengan mengabaikan demonstrasi mahasiswa sebagai wujud aspirasi rakyat dan malah menganggapnya sebagai pembangkangan terhadap rezim. Demikian pula dengan para koruptor dilindungi dengan cara menyempitkan ruang gerak KPK. Hal ini menegaskan bahwa rezim tidak menganggap penting darurat hukum dan ekonomi di negeri ini, malah sibuk tuding sana-sini. 

Bayangkan, negeri gemah ripah loh jinawi ini, ternyata pada 2016-2018, sekitar 22,0 juta orang menderita kelaparan. Satu persatu hak milik rakyat berpindah tangan menjadi milik swasta sehingga negara bahkan tidak mampu mengatasi kelaparan dengan kekayaan SDA dan SDM yang melimpah. SDA dijual dengan harga murah kepada Asing dan Aseng atas nama investasi sementara SDM dijejali dengan paham kapitalisme yang tirani, individualis dan apatis. Sehingga mendorong mereka pada langkah mencuri semua milik negeri dengan menipu rakyat sebagai pemilik sejatinya. 
Pemuda-pemudi sibuk  dengan gaya hidup Barat yang materialistis, mereka lupa pada tugasnya untuk membangun negeri. Bahkan mereka tidak menyadari bahwa kondisi negeri mereka masih dijajah dan tenggelam dalam jebakan sistem kapitalis melalui hutang. 

Sungguh malang negeri ini, semakin hari semakin menunjukkan keberpihakan pada Barat. Semakin liberal, maka hancur ekonomi kita. 
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 25,14 juta orang disebabkan masalah di sektor pertanian, seperti upah buruh tani yang rendah dan produktivitas yang juga rendah. Upaya-upaya dan solusi dalam bidang pertanian, ekonomi, pendidikan dan sosial telah dilakukan. Namun, tidak ada hasil yang ada justru masalah yang semakin membesar. Hal ini jelas bahwa problematika yang terjadi bukan berpusat pada masalah ekonomi semata,  produktivitas, sosial atau upah yang rendah. Namun,  secara sistematis masalah itu tidak dapat diselesaikan karena berlanjut secara berkesinambungan. 

Dalam problematika sistematis seperti ini, kita tidak bisa hanya melihat sub-sub masalahnya saja, tetapi harus diatasi dari akar. Akar masalah inilah yang disebut sistem.  Ketika sistem yang mengatur seluruh aspek kehidupan tidak sesuai, maka kerusakan yang akan terjadi. 

Dikutip dari mediaumat.news, 29/07/2018 dalam konteks global, di semua negara yang menganut kapitalisme-liberalisme -sekularisme telah tercipta kemiskinan dan kesenjangan sosial. Hari ini ada 61 orang terkaya telah menguasai 82 persen kekayaan dunia. Di sisi lain sebanyak 3.5 miliar orang miskin di dunia hanya memiliki aset kurang dari US$ 10 ribu. Karena itu mustahil kemiskinan bisa terentaskan bila dunia, termasuk negeri ini, masih menerapkan sistem yang rusak. Bahkan, Oxfam International yang meriset data ini menyebut fenomena ini sebagai “gejala sistem ekonomi yang gagal!” (Tirto.id, 22/01/2018).

Maka, solusi satu-satunya yaitu mencabut akar permasalahan tersebut, kemudian mengganti dengan sistem baru. Sistem baru ini adalah sistem Islam yaitu sistem yang sudah terbukti dan mampu menjamin kesejahteraan rakyat. Sistem Islam sepanjang sejarah penerapannya telah menggoreskan tinta emas sebagai peradaban terbaik di dunia. 

Bagaimana Islam mengurus dan melayani  rakyat secara gemilang? 
Dikutip dari mediaumat.news, 29/07/2018, di Madinah, sebagai kepala negara, Rasulullah Saw menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya dan menjamin kehidupan mereka. Pada zaman beliau ada ahlus-shuffah. Mereka adalah para sahabat tergolong dhuafa. Mereka diizinkan tinggal di Masjid Nabawi dengan mendapatkan santunan dari kas negara.

Saat menjadi khalifah, Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab biasa memberikan insentif untuk setiap bayi yang lahir demi menjaga dan melindungi anak-anak. Beliau juga membangun “rumah tepung” (dar ad-daqiq) bagi para musafir yang kehabisan bekal.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz membuat kebijakan pemberian insentif untuk membiayai pernikahan para pemuda yang kekurangan uang.

Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah dibangun rumah sakit-rumah sakit lengkap dan canggih pada masanya yang melayani rakyat dengan cuma-cuma.

Maka, sudah menjadi kewajiban bagi penguasa untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya, bukan mengukur kesejahteraan berdasarkan pada angka, tetapi pada pemenuhan kebutuhannya. Lalu sudahkah penguasa negeri ini menjamin kesejahteraan rakyatnya?

Rasulullah saw. bersabda:

فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

"Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus" (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Hanya dalam naungan sistem Islam (khilafah), kesejahteraan umat terjamin. Sebab, sistem Islam rahmatan lil alamin ini berasal dari Allah Swt.  Sang Pencipta semesta alam. Dengan sistem Islam sebuah negeri akan sejahtera, bahkan membantu negeri lain yang tengah mengalami kesulitan. Sejarah telah mencatat, bagaimana khilafah Utsmaniyah telah menyumbangkan bantuan tragedi kelaparan ke negara Eropa wilayah Irlandia pada tahun 1845-1852 M. 

Wallahu a'lam bishshawaab

Post a Comment

Previous Post Next Post