Oleh : Yuni Damayanti
(Pemerhati Sosial Asal Kabupaten Konawe, Sultra)
Berbagai pemberitaan terkait desa fiktif hingga desa hantu di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara santer diperbincangkan masyarakat maupun media massa. Menanggapi hal tersebut, Wakil Bupati Konawe, Gusli Topan Sabara buka suara.
Gusli Topan Sabara mengaku hasil pemeriksaan Inspektorat Provinsi Sultra yang diterbitkan 27 Juli 2018 terdapat tiga desa yang menjadi perbincangan, yakni Desa Ulu Meraka, Desa Mohere, dan Desa Uepai. Gusli mengatakan bahwa desa Morehe dulunya masuk Kecamatan Uepai (Konawe) yang kini berada di Koltim (Kolaka Timur). Saat Koltim melakukan pemekaran, desa tersebut masuk di wilayah administratif Koltim yang sebenarnya dari dulu kala hingga saat ini desa tersebut adalah wilayah Konawe. Gusli pun mengatakan akan ke pusat untuk membahas terkait hal itu. Agar desa tersebut bisa dikembalikan di Konawe (Sultrakini.com, 07/11/2019).
Tim yang diturunkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk investigasi dugaan desa fiktif masih berada di lima desa di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara (Sultra). Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Pemerintahan Desa, Nata Irawan mengatakan tim yang diturunkan belum kembali ke Jakarta.
Nata mengatakan, secara administrasi persoalan desa yang berada di Konawe sedang dikomunikasikan dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDDT), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Pemerintahan Provinsi Sultra dan Pemerintah Kabupaten Konawe (Zonasultra.com, 12/11/2019).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan kemunculan desa siluman atau desa-desa baru imbas adanya kucuran dana desa. Bahkan, berdasarkan laporan yang dia terima, banyak desa baru tak berpenduduk yang dibentuk agar bisa mendapat kucuran dana desa secara rutin tiap tahun (Kompas.com, 08/11/2019).
Menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng pun menilai, munculnya kasus desa fiktif menjadi indikasi bahwa proses verifikasi di lapangan masih lemah.
Sedianya, setiap desa memiliki kode wilayah yang terdaftar di Kementerian Dalam Negeri. Desa yang ingin mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat, harus mengajukan usulan melalui pemerintah kabupaten/kota sebelum ke Kementerian Keuangan. Adapun besaran alokasi bantuan untuk setiap wilayah tidak sama. Tergantung dari letak geografis, jumlah penduduk, hingga tingkat kemiskinan (Kompas.com, 07/11/2019).
Menyelisik Kasus Desa Siluman
Persoalan desa fiktif di Konawe ini membuktikan lemahnya pengawasan pemerintah dalam menggunakan uang negara. Seharusnya persoalan semacam ini mudah diketahui oleh pemerintah pusat. Melalui pengawasan pemerintah daerah hingga propinsi, karena hal yang seperti ini tidak pantas lambat terdeteksi. Derasnya anggaran dana desa diduga memicu kelahiran desa fiktif, ditengah kondisi keuangan negara yang lemah dan hutang menggunung masih saja pemerintah kurang berhati-hati dalam mengeluarkan uang negara.
Triliyunan anggaran dana desa yang digelontorkan negara semestinya disertai dengan pengawasan yang ketat, agar tidak memberikan peluang korupsi kepada oknum tertentu yang terlibat dalam pencairan dana desa. Selain itu penggunaan dana desa juga harus tepat sasaran.
Tujuan pemerintah memberikan dana desa adalah untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat desa. Aneh jadinya, jika terdapat desa yang tidak memiliki penduduk namun menerima dana dari pemerintah selama bertahun-tahun. Jika hal ini dibiarkan harus berapa banyak uang negara yang dirugikan setiap tahunnya?
Dalam kasus tersebut tentu ada banyak pihak yang terkait dalam kelahiran desa fiktif ini. Mulai dari pemerintah kabupaten dan provinsi yang menyetujui pengusulan pembentukan desa ini. Inilah demokrasi yang tak sedikit melahirkan politik kepentingan saja. Pemimpin yang seharusnya mengurusi rakyat dan mengawasi penggunaan uang negara justru sering terjerat kasus korupsi. Sungguh miris ketika kepercayaan yang diberikan rakyat tidak dijalankan dengan baik dan amanah.
Padahal harta negara yang dikelola dengan jujur, mandiri, dan profesional, baik oleh pribadi pengusaha maupun pejabat negara, berarti telah melakukan pengawasan harta negara secara internal dan mulia. Buah dari kemandirian dan kejujurannya, kemudian ia menjadi pribadi yang tidak lagi bernafsu merampas dan menguasai harta negara yang bukan haknya. Bahkan, ia akan turut efektif membantu negara untuk menyejahterakan kaum lemah (yatim dan fakir miskin).
Gambaran Pengawasan Keuangan Dalam Islam
Dalam Islam sebenarnya pengawasan harta negara harus dimulai dengan akhlak yang baik dari pribadi maupun pemimpin bangsa. Di era klasik tidak sedikit pemimpin yang menerapkan pengawasan harta negara dengan cara ketat dan konsisten.
Sebagaimana Nabi saw. ketika mengutus Muadz bin Jabal sebagai gubernur di Yaman, sebelum ia sampai ke tempat bertugas diminta kembali datang menghadap kepada Nabi, “Tahukah kamu mengapa aku memanggilmu kembali wahai Muaz?” tanya Nabi. “Belum tahu ya Rasululullah”. Nabi lalu melanjutkan, “Saya ingatkan lagi sejak engkau mengemban amanah ini jangan coba-coba mengambil sesuatu (untuk kepentingan pribadi) tanpa seizinku. Barang siapa yang berbuat curang, pada hari kiamat kelak akan dibangkitkan dalam keadaan memikul beban kecurangannya.”
Cara Nabi ini pun diikuti oleh generasi berikutnya, Umar bin Khattab, seperti diceritakan Abdul Qadim Zallum dalam bukunya al-Amwal fi Dawlat al-Khilafah. Umar dengan tegas mengambil harta negara dari tangan Abu Sufyan pemberian dari anaknya, Muawiyah, yang menjadi Gubernur Syam senilai 10 ribu dinar.
Harta itu ditarik dan diserahkan kembali oleh Umar ke Baitul Mal (negara) setelah terlebih dahulu diadakan penyelidikan oleh lembaga pengawasan (semacam KPK) yang bernama al-Muraqabah dan al-Muhasabah al-Ammah (Badan Pengendali Harta Negara).
Dengan demikian, ketegasan para pemimpin sangat efektif dalam menjaga harta negara dari para penyulap (koruptor) sehingga tidak terjadi mafia pencurian harta negara secara berkesinambungan. Tidak ada ruang lagi bagi individu yang sembrono dalam menggunakan uang negara, apatah lagi sampai merugikan negara bertahun-tahun lamanya. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Post a Comment