Kekalutan Ekonomi Akibat Kebijakan yang Makin Liberal dan Pro-Asing

Oleh : Waode Iswarawati, M.Pd.
Pemerhati Sosial

Hidup sejahtera merupakan impian setiap insan. Namun, melihat kondisi negeri ini, begitu sulit mendapatkan kesejahteraan. Hidup sejahtera hanya sebatas mimpi yang seakan terus menjadi mimpi. Betapa banyak problematika kehidupan yang tak kunjung surut, bahkan semakin menjadi-jadi.

Belakangan, angka pengangguran di Indonesia dikabarkan menurun. Namun, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tengah tahun ini, tercatat ada 5,01 persen penduduk usia produktif yang menganggur. Indonesia tertinggal dari Laos dan Kamboja, yang secara berurutan mencatatkan 0,60 persen dan 0,10 persen pengangguran dalam data BPS. Artinya, ini memang menjadi angka terendah dalam sejarah Indonesia, tetapi tetap menjadi yang tertinggi kedua di Asia Tenggara. (www.idtoday.co)

Asian Development Bank (ADB) melaporkan, 22 juta orang Indonesia masih menderita kelaparan. Kelaparan yang diderita oleh 22 juta orang tersebut setara dengan 90 persen jumlah orang miskin Indonesia yang berjumlah 25,14 juta orang. Sebagian besar dari mereka mendapat masalah di sektor pertanian, seperti upah buruh tani  dan produktkvitas yang  rendah. 

"Banyak dari mereka tidak mendapat makanan yang cukup dan anak-anak cenderung stunting. Pada 2016-2018, sekitar 22,0 juta orang di Indonesia menderita kelaparan," terang laporan tersebut dikutip dari laman resmi ADB, Rabu (6/11). (https://m.cnnindonesia.com)

Dikutip dari detik Finance, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, ketidakpastian global memberikan dampak pada beberapa sektor industri di tanah air. Beberapa industri yang terdampak merupakan salah satu penyetor besar penerimaan negara.

"Artinya kalau perusahaan mengalami tekanan, sehingga penerimaan mereka menurun, maka pembayaran pajak mereka juga akan menurun," kata Sri Mulyani di ruang rapat Komisi XI DPR, Jakarta, Senin (4/11/2019).


CNBC Indonesia melansir, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, "Perekonomian dunia mengalami tekanan yang cukup berat. Terlihat dari revisi menurun dari proyeksi 2019. Dimana turun hampir 0,7%. Tadinya 3,9%, kemudian 3,7% dan 3,5% dan terakhir proyeksi hanya akan tumbuh 3%,".

Perlambatan ekonomi Indonesia kian nampak sejak triwulan I-2019. BPS baru saja melaporkan ekonomi Indonesia tumbuh melambat pada triwulan III-2019. Ekonomi Indonesia tumbuh 5,02% di triwulan III-2019 atau lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang mencapai 5,05%. Jangankan menagih janji pertumbuhan 7% di awal kampanye Joko Widodo (Jokowi) 2014 lalu, ekonomi Indonesia tak mampu bergerak dari 5%. Sejak tahun 2014-2019 (Triwulan III) pertumbuhan ekonomi Indonesia berturut-turut 5,02%; 4,79%; 5,02%; 5,07%; 5,17%; dan 5,02%.

Di sisi lain, ada wacana penghapusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Di antara pemerintah daerah yang menolak kebijakan itu adalah Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto. Penolakan itu bukan berarti tidak mendukung visi dan misi Presiden Joko Widodo untuk menarik investasi sebanyak-banyaknya. Tetapi, investasi itu hendaknya tidak mengganggu kenyamanan masyarakat. Oleh sebab itu, untuk mengatur kenyamanan tersebut masih diperlukan IMB dan Amdal. (https://economy.okezone.com)


Kapitalisme Biang Kekacauan Ekonomi

Ekonomi dunia tengah mengalami perlambatan. Selain itu, perang dagang dan gejolak politik di sekitarnya membuat ekonomi kian tertekan, termasuk Indonesia. Tekanan yang cukup berat ini merupakan konsekuensi penerapan sistem ekonomi Kapitalisme secara global. Sebuah sistem perekonomian yang pada dasarnya berasal dari ideologi lemah manusia. Berbagai negara yang menerapkan sistem ini justru sering mengalami krisis ekonomi dan membuat kacau keadaan ekonomi negara tersebut.

Sistem ekonomi Kapitalisme dibangun atas dasar Liberalisme (kebebasan). Salah satunya adalah kebebasan kepemilikan harta, pengelolaan dan penggunaannya. Asas kebebasan ini, memberikan peluang untuk melanggar nilai-nilai moral dan agama. Sebagai contoh, bisnis prostitusi (pelacuran) yang dipandang menguntungkan, kenyataannya melanggar nilai-nilai agama dan  menghancurkan institusi keluarga.

Kebebasan ini memunculkan berbagai macam paradigma kepemilikan harta dan pengelolaannya yaitu: (1) Sistem perbankan dengan suku bunga; (2) Berkembangnya sektor nonriil dalam perekonomian sehingga melahirkan institusi pasar modal dan perseroan terbatas; (3) Utang luar negeri yang menjadi tumpuan dalam pembiayaan pembangunan; (4) Penggunaan sistem moneter  yang diterapkan di seluruh dunia yang tidak disandarkan pada emas dan perak; (5) Privatisasi pengelolaan sumberdaya alam yang merupakan barang milik dan kebutuhan publik.

Selama ini, mata uang dolar dijadikan alat oleh Amerika Serikat untuk mempermainkan ekonomi dan moneter suatu negara. Bahkan, Amerika sebagai pencetak dolar bisa dengan mudahnya membeli barang-barang dari negara-negara berkembang. Inilah yang dikritik oleh  Rakadz, ekonom Amerika, yang juga salah seorang intelijen ekonomi Amerika. Ia menyatakan dalam artikelnya, “Apa yang terjadi pada dunia di ambang tahun 2015? Ambang fase baru dari depresi besar ekonomi.” Dia menyatakan, Bank Federal telah mencetak uang dengan sembarangan, bahkan triliunan dolar AS.

Sektor nonriil menyebabkan sektor riil tidak bisa berjalan secara optimal. Menurut penelitian Prof. Maurice Allais, peraih Nobel tahun 1997 dalam tulisannya, “The Monetary Condition of an Economy of Market,” menyebut hasil penelitiannya yang melibatkan 21 negara besar. Uang yang beredar di sektor nonriil tiap hari mencapai lebih dari 440 miliar US$; sedangkan di sektor riil hanya sekitar 30 miliar US$ atau kurang dari 10%. Inilah penyebab utama krisis keuangan global. Karena itulah, uang hanya dijadikan sebagai alat tukar dalam perekonomian.


Sistem ekonomi Kapitalis dengan konsep kebebasan kepemilikan telah mengakibatkan terjadinya monopoli terhadap barang dan jasa yang seharusnya milik bersama sehingga terjadi kesenjangan yang luar biasa. Swasta maupun asing diberi peluang untuk menguasai dan mengelola Sumber Daya Alam (SDA) dan berbagai sektor publik.

Penerapan prinsip-prinsip tersebut telah mengantarkan kepada kerusakan  dan kesengsaraan umat manusia.  Di antaranya, kerusakan alam, kemiskinan serta kesenjangan ekonomi yang sangat lebar, baik antara individu di suatu negara maupun kesenjangan ekonomi antarnegara. Karena itulah, tanda-tanda kerapuhan Kapitalisme semakin tampak nyata. Yakni, semakin lesunya pertumbuhan ekonomi, semakin lebar kesenjangan dan terus bertambahnya orang miskin, serta semakin seringnya terjadi krisis keuangan baik lokal maupun global.


Khilafah: Solusi Alternatif Ekonomi Global


Khilafah Islamiyah dengan penerapan  sistem ekonomi Islam, akan mampu mencegah dan menghentikan perlambatan dan krisis ekonomi global. Dengan begitu, kesejahteraan rakyat akan terjamin. Untuk mewujudkan hal tersebut, khilafah akan menerapkan prinsip dan paradigma ekonomi Islam.

Pertama, khilafah akan menjalankan politik ekonomi Islam. Tujuannya untuk memberikan jaminan pemenuhan pokok setiap warga negara (muslim dan nonmuslim) sekaligus mendorong mereka agar dapat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya.

Menurut Almaliki, ada empat perkara yang menjadi asas politik ekonomi Islam, yakni: (1) setiap orang adalah individu yang memerlukan pemenuhan kebutuhan; (2) pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok dilakukan secara menyeluruh; (3) mubah (boleh) hukumnya bagi individu mencari rezeki (bekerja) dengan tujuan untuk memperoleh kekayaan dan meningkatkan kemakmuran hidupnya; (4) nilai-nilai luhur syariat Islam harus mendominasi (menjadi aturan yang diterapkan) seluruh interaksi yang melibatkan individu-individu dalam masyarakat.

Berdasarkan prinsip di atas, khilafah akan memonitor perkembangan pembangunan dan perekonomian, dengan menggunakan indikator-indikator yang berkenaan dengan kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya, bukan hanya pertumbuhan ekonomi. Sebab, percuma saja jika tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi jumlah gelandangan dan pengemis masih sangat banyak, jumlah anak putus sekolah sangat tinggi, maraknya prostitusi, kriminalitas, narkoba, korupsi, busung lapar dan penyakit berbahaya.

Kedua, khilafah akan menerapkan sistem moneter berbasis dinar dan dirham. Ada beberapa keunggulan sistem dinar-dirham di antaranya: 1) Dinar-dirham merupakan alat tukar yang adil bagi semua pihak, terukur dan stabil. Sejarah membuktikan bahwa dinar-dirham menjadi mata uang yang nilainya stabil karena didukung oleh nilai intrinsiknya. 2) Tiap mata uang emas yang dipergunakan di dunia ditentukan dengan standar emas. Ini akan memudahkan arus barang, uang dan orang sehingga hilanglah problem kelangkaan mata uang kuat (hard currency) serta dominasinya.

Ketiga, khilafah tidak akan menoleransi berkembangnya sektor nonriil atau sektor moneter yang menjadikan uang sebagai komoditas. Ketika sektor ini ditutup atau dihentikan oleh khilafah, maka semua uang akan bergerak di sektor riil. Sehingga roda ekonomi akan berputar secara optimal.

Keempat, khilafah akan memberlakukan aturan kepemilikan sesuai dengan syariat Islam. Dalam Islam dikenal tiga jenis kepemilikan. Yakni, kepemilkan pribadi, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Segala sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak dan  masing-masing saling membutuhkan, digolongkan sebagai barang milik umum. Benda-benda tersebut merupakan fasilitas umum, barang tambang yang tidak terbatas, sumberdaya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh individu. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara dan tidak boleh diserahkan ke swasta maupun asing.

Kelima, khilafah akan mengelola sumber daya alam secara adil. Khilafah akan melaksanakan politik dalam negeri dan politik luar negeri. Politik dalam negeri tampak pada pelaksanaan hukum-hukum Islam termasuk pengelolaan sumber daya alam. Sedangkan politik luar negeri yakni menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Pelaksanaan politik dalam negeri dan politik luar negeri ini, mengharuskan khilafah menjadi negara yang kuat dari sisi militer. Sehingga mampu mencegah dan mencabut hegemoni negara-negara imperialis yang berusaha menguasai wilayah Islam dan SDA di dalamnya.

Penguasaan dan pengelolaan SDA berada di tangan negara khilafah. Hal tersebut akan menjamin tersedianya komoditas primer untuk keperluan pertahanan dan perekonomian negara. Di samping itu juga menjadi sumber pemasukan negara yang melimpah pada pos harta milik umum. Karena itulah, setiap warga negara baik muslim maupun nonmuslim akan mendapatkan jaminan untuk mendapatkan kebutuhan pokok, seperti sandang, pangan dan papan. Demikian juga kebutuhan pokok dalam bentuk jasa seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan secara cuma-cuma.

Begitulah keunggulan sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh negara khilafah. Sehingga mampu mengantarkan umat manusia kepada kebaikan dan kesejahteraan hakiki. Maka, aneh rasanya jika ada orang yang menolak bahkan mengkriminalisasinya. Sebaliknya, khilafah justru harus menjadi arah perjuangan umat saat ini.

Wallaahu a’lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post