Oleh : Jafisa
(Aktifis Dakwah Remaja dan Penanggung Jawab Pena Muslimah Cilacap)
Isu Radikalisme seolah tiada habisnya. Makna Radikal yang digulirkan pun masih dalam tinjauan makna dasarnya, mulai dari tuduhan celana cingkrang dan cadar yang diindikasikan dengan faham radikak, hingga terbitlah wacana perombakan 155 buku PAI yang berisi muatan faham yang dianggap radikal. Belum cukup sampai disitu, kini Mentri Agama (Menag) Fachrul Razi kembali menggulirkan isu Radikalisme dengan mengingatkan kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk tidak terpengaruh faham radikal. Pernyataan ini disampaikan Menag saat bersilaturahim dengan ASN Kemenag Aceh dan Ulama Aceh yang berlangsung di Asrama Hai Banda pada Ahad, 17/11/2019 lalu.
Menag menegaskan beberapa poin yang harus dilakukanya oleh ASN dan yang tidak boleh dilakukan. Hal ini dianggap agar ASN tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan tidak terpengaruh faham radikal. Menag menginginkan seluruh ASN khususnya dijajaran Kementrian Agama menjafi agen perubahan dalam mendukung kemajuan bangsa. Sebagai komitmen, ada 11 Kementrian sudah membuat keputusan bersama yang didalmnya terdapat poin-poin yang mengatur tentang kedisplinan ASN dan Deradikalisasi.
http://rri.co.id/post/berita/748030/nasional/menag_ingatkan_asn_jangan_terpengaruh_paham_radikal
Proyek Pengaburan Ajaran Islam
Proyek anti Radikalisme ini jelas berpeluang memecah belah rakyat karena melalui situs aduan, anak negeri diprovokasi untuk saling mencurigai antar warga negara (WN), sementara open terhadap pelancong. Memprovokasi sesama anak negeri justru akan memunculkan konflik integral yang membawa negeri Indonesia dalam situasi yang sulit. Arahan ini akhirnya akan menjadi bomerang bagi pemerintah. Alih-alih ingin menangkal faham yang diklaim mengancam keutuhan negara justru memecah belah negara. Disisi yang lain, banyak problem mendesak pemerintah yang harus segera diselesaikan seperti kemiskinan, kesejahteraan dan dekadensi moral serta berbagai problem vital yang melanda negeri tercinta.
Sementara, dengan diterbitkanya Surat Keputusan Bersama (SKB) 12 Kementrian yang digadang-gadang sebagai tameng untuk menangkal gerakan dan faham radikal serta membunuh perkembanganya dalam negeri terkesan sangat dipaksakan. Pada faktanya makna Radikal, Radikalisme belum memiliki definisi yang jelas. Isu Radikalisme justru dominan bermuatan politis untuk merealisasikan kepentingan tertentu. Selalu ada udang dibalik batu. Adapun 12 Kementrian yang ikut menandatangani SKB tersebut terdiri Kemen PAN/RAB, Kemenko polhukam, Kemendagri, Kemendag, Kemenkominfo, Kemendikbud, Kemenkumham, BIN, BNPT, BIPP dan Kasn.
Tidak berbeda dari isu yang digulirkan sebelumnya, bahwa fokus utama proyek ini merupakan serangan terhadap ide Khilafah yang dianggap sebagai wabah sehingga harus segera diberangus. Salah satunya dengan menghapus 155 muatan materi yang dianggap anti Pancasila. Ide Khilafah dianggap berpotensi mengajarkan intoleransi dan kekerasan sehingga harus dihilangkan dari materi ajaran. Akibatnya, umat Islam tidak bisa difahami utuh oleh umat nabi Muhammad shallallahu ‘ alaihi wa sallam. Menyoal Khilafah ini, pihak Kementrian akan tetap disampaikan sebagai informasi sejarah, sekaligus digiring pemahaman meskipun pernah dipraktikan pada masa lalu namun tidak relevan jika dipraktikan pada zaman ini. Pernyataan ini menunjukan kepada pengebirian ajaran Islam. Bukankah, dengan semua langkah ini terlihat jelas bahwa umat digiring untuk meyakini bahwa Islam tidak musti menjadi tuntutan, cukup menjadi pengetahuan sebagaimana ilmu yang lainya.
Jelas sangat berbahaya jika wacana ini diberlakukan. Ini adalah upaya jahat pengaburan ajaran Islam. Rakyat dipaksa untuk tidak meyakini apa yang ada dalam ajaran agama. Ini merupakan pelanggaran, dimana dijelaskan didalam BAB 11 Pasal 29 :
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dijelakan dengan tegas bahwa negara ini memberikan hak kepada setiap pemeluk agama untuk menjalankan keyakinan agamanya masing-masing. Namun, pernyataan dan berbagai kebijakan yang dilakukan para penguasa hari ini mengarah kepada permusuhan ajaran agama dengan membuat tuduhan palsu tentangnya. Jika ajaran Khilafah dianggap ajaran kekerasan dan mengajak intoleransi padahal tuduhan itu tidak pernah terbukti sampai hari ini, sementara mereka (penguasa) justru yang membuat citra buruk agama dan tidak memberikan ajaran agama difahami dengan utuh oleh pemeluk-pemeluknya, mari bersama bertanya, siapakah yang sebenarnya intoleran?
Tidak aneh jika Khilafah menjadi fokus perhatian para penguasa hari ini. Padahal hari ini Khilafah diemban umat Islam masih sebatas ide, namun keberadaanya benar-benar membuat panik karena jelas bahwa Khilafah dari dulu hingga sekarang merupakan ancaman terbesar sistem jahiliyah. Sistem jahiliyyah modern yang berlandaskan pada pemisahan agama dengan kehidupan (Fashluddin 'Anil hayah) tidak akan membiarkan sejengkalpun agama dalam mengatur kehidupan, sementara Khilafah adalah musuh utama sistem hari ini. Maka wajar jika isu miring tentang Khilafah terus terjadi dan terjadi terus.
...
Khilafah Ajaran Islam dan Tidak Mengajarkan Radikalisme
Khilafah sesungguhnya bukanlah istilah asing dalam khasanah keilmuwan Islam. Menurut Wahbah az-Zuhaili, “Khilafah, Imamah Kubra dan Imarah al-Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 9/881).
Menurut Dr. Mahmud al-Khalidi (1983), “Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.” (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 226).
Karena itu tentu aneh bin ajaib jika Pemerintah dan mereka yang dijuluki sebagai ulama dan pakar ketatanegaraan Islam ingin membuktikan bahwa Khilafah bukan ajaran Islam. Khilafah merupakan ajaran Islam yang jelas. Sebagai kewajiban dalam Islam, Khilafah tentu didasarkan pada sejumlah dalil syariah. Sebagaimana dimaklumi, jumhur ulama, khususnya ulama Aswaja, menyepakati empat dalil syariah yakni: (1) Al-Quran; (2) As-Sunnah; (3) Ijmak Sahabat; (4) Qiyas Syar’iyyah.
1. Dalil al-Quran.
Selain itu Allah SWT berfirman:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً…
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi khalifah…” (TQS al-Baqarah [2]: 30).
Saat menafsirkan ayat di atas, Imam al-Qurthubi menyatakan bahwa wajib atas kaum Muslim untuk mengangkat seorang imam atau khalifah. Ia lalu menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat khalifah) tersebut di kalangan umat dan para imam mazhab; kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli terhadap syariah, red.) dan siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264).
2. Dalil as-Sunnah.
Di antaranya sabda Rasulullah saw.:
مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah.” (HR Muslim).
Berdasarkan hadis di atas, menurut Syaikh ad-Dumaiji, mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib (Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49).
Lebih dari itu, Rasulullah saw. menegaskan bahwa imam/khalifah atas kaum Muslim sedunia tidak boleh berbilang:
إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الآخِرَ مِنْهُمَا
“Jika dibaiat dua orang khalifah maka perangilah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim).
Berkaitan dengan hadis di atas, Imam an-Nawawi berkomentar, “Jika dibaiat seorang khalifah setelah khalifah (sebelumnya), maka baiat untuk khalifah pertama sah sehingga wajib dipenuhi, sementara baiat untuk ‘khalifah’ kedua batal sehingga haram dipenuhi…Inilah pendapat yang benar menurut jumhur ulama.” (An-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Shahîh Muslim, 12/231).
3. Dalil Ijmak Sahabat.
Perlu ditegaskan, kedudukan Ijmak Sahabat sebagai dalil syariah—setelah al-Quran dan as-Sunnah—sangatlah kuat. Apalagi menurut Imam al-Ghazali, Ijmak Sahabat tidak terkenanaskh (penghapusan) (Al-Ghazali, Al-Mustashfâ, 1/14).
Karena itu Ijmak Sahabat jelas tidak boleh diabaikan. Dalam hal ini, Imam as-Sarkhashi menegaskan:
وَ مَنْ أَنْكَرَ كَوْنَ الإِجْمَاعُ حُجَّةً مُوْجِبَةً لِلْعِلْمِ فَقَدْ أَبْطَلَ أَصْلَ الدِّيْنِ… فَالْمُنْكِرُ لِذَلِكَ يَسْعَى فِي هَدْمِ أَصْلِ الدِّيْنِ.
Siapa saja yang mengingkari kedudukan Ijmak sebagai hujjah yang secara pasti menghasilkan ilmu berarti benar-benar telah membatalkan fondasi agama ini…Karena itu orang yang mengingkari Ijmak sama saja dengan berupaya menghancurkan fondasi agama ini (Ash-Sarkhasi, Ushûl as-Sarkhasi, 1/296).
Karena itu pula, Ijmak Sahabat yang menetapkan kewajiban menegakkan Khilafah tidak layak diabaikan seolah-olah tidak pernah ada, atau dicampakkan seakan tidak berharga sama sekali. Tindakan demikian tentu—menurut Imam as-Sarkhasi—sama saja dengan menghancurkan fondasi agama ini.
Berkaitan dengan itu Imam al-Haitami menegaskan:
أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ، بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اِشْتَغَلُّوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ.
Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.” (Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7).
Lebih dari itu, menurut Syaikh ad-Dumaji, kewajiban menegakkan Khilafah juga didasarkan pada kaidah syariah berikut:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Selama suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.
Sudah diketahui bahwa banyak kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan oleh orang-perorang, seperti kewajiban melaksanakan hudûd (seperti hukuman rajam atau cambuk atas pezina, hukuman potong tangan atas pencuri), kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Pelaksanaan semua kewajiban ini membutuhkan kekuasaan (sulthah) Islam. Kekuasaan itu tiada lain adalah Khilafah. Alhasil, kaidah syariah di atas juga merupakan dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah (Lihat: Syaikh ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49).
Ijmak Ulama Aswaja
Berdasarkan dalil-dalil di atas—dan masih banyak dalil lainnya—yang sangat terang-benderang wajar jika kewajiban menegakkan Khilafah telah menjadi ijmak para ulama Aswaja, khususnya imam mazhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hanbali). Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H):
إِتَّفَقَ اْلأَئِمَّةُ رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالىَ عَلىَ أَنَّ اْلإِمَامَةَ فَرْضٌ…
Para imam mazhab (yang empat) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib…” (Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, 5/416).
Hal senada ditegaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal (Ibn Hajar, Fath al-Bâri, 12/205).
Pendapat para ulama terdahulu di atas juga diamini oleh para ulama muta’akhirîn (Lihat, misalnya: Syaikh Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88; Dr. Dhiyauddin ar-Rais, Al-Islâm wa al-Khilâfah, hlm. 99; Abdul Qadir Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, hlm. 124; Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani (Pendiri Hizbut Tahrir), Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, 2/15; Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 248; dll).
Ulama Nusantara, Sulaiman Rasyid, dalam kitab fikih yang terbilang sederhana namun sangat terkenal berjudul Fiqih Islam, juga mencantumkan bab tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Bahkan bab tentang Khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air.
Terakhir, permusuhan terhadap Khilafah merupakan upaya jahat syetan dan bala tentaranya semenjak dahulu dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
مُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُوَ يُدْعَى إِلَى الْإِسْلَامِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (7) يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ [الصف : 7 ، 8]
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah sedang dia diajak kepada Islam? Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.(QS. Ash-Shaff [61] : 7-8)
Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala menegaskan pula:
يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ [التوبة : 32]
Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. (QS. At-Taubah [9] : 32).
Wallahu a’lam bish-shawab. [ ]
Post a Comment