Jaminan Kesehatan dalam Islam

Oleh : Subaidah SP.d
(Anggota Akademi Menulis Kreatif)

Slogan “Kesehatan itu mahal” atau “Orang miskin dilarang sakit”, kiranya layak disematkan pada era saat ini. Untuk mendapatkan jaminan kesehatan, rakyat haruslah merogoh koceknya dalam-dalam.

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang akan diberlakukan sejak 1 Januari 2020 berdasarkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 sebenarnya sangatlah memberatkan rakyat. Sayangnya, belum ada survey untuk menggali pendapat para pelanggan BPJS. Bagaimana tidak, dari kelas III yang awal iurannya adalah Rp25.500,00 menjadi Rp42.000,00. Kemudian kelas II yang awalnya iuran Rp51.000,00 menjadi Rp110.000,00 dan yang kelas I awalnya Rp80.000,00 menjadi Rp160.000,00. Bagi kalangan menengah ke atas, mungkin tidak semuanya merasakan keberatan. Namun, bagaimana dengan kalangan menengah ke bawah. 

Sementara, kebutuhan hidup mereka tidak hanya seputar kesehatan saja. Namun juga pendidikan, transportasi, komunikasi atau bahkan sekedar untuk makan dan kebutuhan tempat tinggal yang merupakan kebutuhan pokok mendasar. Belum lagi keikutsertaan mereka dalam BPJS tidaklah sendiri, namun BPJS mensyaratkan pendaftaran haruslah semua orang yang ada di Kartu Keluarga. Sehingga, jika dalam sebuah keluarga terdiri dari lima orang pastilah iuran yang awalnya dibayar Rp125.000,00 menjadi Rp210.000,00. Ini untuk kelas III. Sedangkan jika untuk kelas II atau III bisa dibayangkan biaya yang harus dikeluarkan.

Di awal BPJS dibentuk semangatnya adalah gotong royong. Harapannya si kaya mau menyumbangkan iuran untuk mensubsidi yang miskin. Namun kenyataan defisit anggaran pada BPJS menunjukkan kenyataan bahwa tidak terjadi subsidi mensubsidi. Peserta BPJS justru terseok-seok untuk menjamin kesehatan dirinya sendiri. Sementara, layanan bagi peserta BPJS seringkali di nomor duakan dalam praktiknya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum. Alasan kamar penuh seringkali terdengar untuk menolak pasien BPJS terutama kelas III atau yang menjadi anggota JKN PBI (Penerima Bantuan Iuran).

Lontaran-lontaran kalimat nakal dari oknum petugas kesehatan yang mengatakan, “gratis kok minta enak”, suka tidak suka ini menggambarkan suasana kapitalis dalam layanan kesehatan. Lantas kesehatan ini menjadi kewajiban warga negara ataukah haknya?

Jaminan Hak Kesehatan dalam Islam

Dalam aturan yang diturunkan oleh Dzat yang Maha Kuasa,  yakni aturan Islam. Makanan, pakaian dan perumahan merupakan kebutuhan pokok individu. Sedangkan kesehatan, pendidikan dan keamanan adalah bagian dari kebutuhan pokok komunal. Keduanya merupakan kewajiban negara dalam menjamin warga negaranya untuk memperoleh semua itu dengan mudah dan murah. Lantas apakah layanan kesehatan yang murah itu pelayanannya buruk dan tenaga medisnya digaji dengan harga murah? Sementara pendidikan yang harus ditempuh untuk meraih gelar dokter, perawat, bidan atau tenaga medis tidak murah.

Jawaban dari semuanya adalah tidak. Maksudnya, gaji tenaga medis juga baik bahkan tinggi, layanannya me “raja” kan pasien dan biaya pendidikan juga sangat terjangkau bahkan sangat dimungkinkan untuk gratis. Kemudian darimana biayanya, sementara biaya yang dibutuhkan untuk menggratiskan pelajar yang ingin belajar ilmu kedokteran dan semacamnya, fasilitas, sarana dan prasarananya, gaji tenaga medisnya tidak murah. Apalagi jika pelayanan yang diberikan adalah pelayanan prima.

Maka jawabannya adalah bahwa aturan yang diturunkan Allah SWT tidaklah berdiri sendiri. Satu dengan yang lainnya saling berkaitan erat. Jaminan hak kesehatan ini tidak terlepas dari sistem pendidikan dan sistem politik. Bagaimana tata kelola kekayaan di sebuah negeri yang hakikatnya adalah milik rakyat. Sumber Daya Alam (SDA) yang Allah berikan dengan sangat melimpah, tentunya bukan untuk dikonsumsi sendiri oleh negeri yang diberi karunia melimpah. Namun digunakan untuk memberikan layanan pendidikan, kesehatan dan keamanan kepada rakyatnya dengan murah. Dengan catatan, SDA dikelola sesuai dengan perintah Allah. Negara yang punya hak untuk mengelola namun hasilnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bukan malah diserahkan kepada asing dan negeri yang bersangkutan hanya mendapatkan pajaknya saja.

Demikianlah indahnya aturan yang Allah turunkan, semua itu akan nampak ketika diterapkan secara keseluruhan. Dengan kata lain, aturan Allah ini merupakan sebuah sistem kehidupan. Dan sangatlah tidak mungkin aturan tentang pengelolaan pendidikan, kesehatan dan SDA ini dilaksanakan oleh individu per individu. Namun haruslah negara yang menjalankannya. Sehingga jika sebuah negara menerapkan Islam sebagai sebuah sistem, barulah kemudian institusinya bisa disebut sebagai khilafah. Jadi khilafah adalah istilah yang sudah melekat ketika rakyat dan penguasa sepakat dan kompak menerapkan aturan yang sudah Allah turunkan kepada rasul saw. Maka semua kalangan akan menjalankan amanah dengan ketakwaan dan semangat memberikan pelayanan terbaik bagi rakyat.

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post