Ironi Nasib Pahlawan Tampa Tanda Jasa

Oleh: Pitra Delvina, S. Pd
(Praktisi Pendidikan Peduli Generasi) 

Dunia pendidikan Indonesia kembali disorot dengan mencuatnya kasus guru honorer asal Flores, Maria Marseli (27) yang hanya bergaji Rp 75 ribu per bulan selama 7 tahun di salah satu sekolah di Flores.

Dilansir dari Tribunnews.com. Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PKB, Syiful Huda meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makariem untuk segera membenahi para gaji guru di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Dia juga mendesak Nadiem Makariem secepatnya membentuk tim Tasfos yang ditugaskan khusus untuk memperhatikan isu kesejahteraan para guru.

"Ini keprihatinan kita yang kesekian kali soal kesejahteraan guru. Saya kira Mas Nadiem harus bergerak cepat, khusus soal isu kesejahteraan guru ini. Saya sarankan untuk bikin Tasfos khusus untuk menangani soal kesejahteraan guru ini," pungkasnya. 

Seperti diberitakan Kompas.com, Upah tidak sesuai dengan beban kerja dan keringat yang dikucurkan demi mencerdaskan anak bangsa. Itulah yang dialami para guru honorer di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kepiketik, Desa Persiapan Mahe Kalen, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, Flores, NTT.

Meski sudah 7 tahun mengabdi, mereka tetap diberi gaji Rp75.000 per bulan. Uang itu juga diberikan 1 kali dalam 3 hingga 6 bulan. Maria mengungkapkan, honor Rp75.000 itu memang sangat tidak bisa untuk mencukupi kehidupan keluarganya. Tetapi, bukan itu yang dikejar. Masa depan anak-anak menjadi alasan utama membuat ia tetap setia mengabdi di sekolah itu. "Saya mengabdi dengan tulus di sini. Satu hal yang paling penting adalah masa depan anak-anak. Kalau tidak ada yang mengajar di sini, masa depan anak-anak pasti suram. Anak-anak adalah generasi penerus bangsa ini," kata Maria. 

Ini baru satu kasus dari sekian banyak kasus yang kerap ditemukan di lapangan. Isu kesejahteraan guru seolah menjadi  primadona yang selalu menghiasi dunia pendidikan tanah air. Pada tahun 2018, masyarakat  juga sempat dibuat heboh oleh jeritan guru honorer di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia yang melancarkan aksi demo dan mogok ngajar. Aksi mereka ini dalam rangka menuntut janji presiden saat kampanye pilpres 2014 yang akan mengangkat guru honorer menjadi PNS (Tribunnews.com 31/10/18). 

Berbicara nasib para guru honorer di bumi pertiwi yang kaya raya ini, memang ibarat kondisi ayam yang kelaparan di lumbung padi. Bagaimana tidak, mereka tinggal di negeri yang berlimpah ruah sumber daya alamnya, namun kehidupan mereka justru berbanding terbalik dari fakta itu. Sudah menjadi rahasia umum bila gaji guru honorer saat ini terbilang rendah, bahkan di bawah Upah Minimum Regional (UMR). 
Ada banyak guru honorer dengan pendidikan tinggi setingkat sarjana yang mendapatkan gaji di bawah Rp 1 juta/bulan. Bahkan ada yang hanya menerima Rp 300 ribu/bulan. Fakta terbaru yang lebih mengiris hati adalah kasus guru honorer yang digaji hanya Rp 75,000 per bulan yang terjadi di Flores baru-baru ini. Itu pun kadang tidak rutin dibayarkan setiap bulannya. 

Kasus kesejahteraan guru di tanah air sudah ibarat bola salju, semakin hari permasalahan ini semakin membesar dan tak kunjung mendapat perhatian besar dari pemerintah. Lemahnya perhatian pemerintah dalam menjamin kesejahteraan guru sebagai tenaga pendidik generasi seolah dipertanyakan saat ini. Guru yang notabene adalah salah satu komponen yang berperan penting dan berharga mengantarkan generasi penerus bangsa ini menuju masa depan yang lebih baik. Malah mendapatkan perlakuan yang tidak setimpal dengan jasa yang mereka torehkan.

Ini baru satu dari fenomena yang menyayat hati di ranah sektor pendidikan Indonesia saat ini. Fakta minimnya penghargaan ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ di tengah kapitalisasi lembaga pendidikan semakin menonjol. Baik lembaga di bawah naungan pemerintah, terlebih swasta. Berlarutnya masalah guru hononer menjadi indikasi bahwa akar masalahnya tidak sekedar teknis namun juga sistemis. 

Bagaimana Islam mewujudkan kesejahteraan guru?
Sebuah pertanyaan yang pantas kita lontarkan, mengingat bagaimana fakta sejarah telah membuktikan sumbangsih peradaban Islam bagi dunia sebagai peletak batu pertama pengembangan ilmu pengetahuan yang kita nikmati hari ini. Islam telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan yang terampil di berbagai macam study keilmuwan. Sejarah juga mencatat bagaimana penghargaan khalifah Umar bin Khattab kepada para guru dengan memberikan upah dan fasilitas yang memadai demi kesejahteraan mereka. 
Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dari al- Wadl-iah bin Atha, bahwasanya ada tiga orang guru di Madinah yang mengajar anak-anak dan Khalifah Umar bin Khattab memberi gaji lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63,75 gram emas; bila saat ini 1 gram emas Rp. 500 ribu, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp 31.875.000).

Dalam Tarikh Daulah Khilafah Islam, Al Baghdadi, 1996 mencatat Madrasah An Nuriah di Damaskus yang didirikan pada abad keenam Hijriyah oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky memberi fasilitas lain seperti asrama siswa, perumahan staf pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan serta ruangan besar untuk ceramah dan diskusi.

Mengapa bisa demikian? 
Sistem pendidikan mencakup dua aspek, paradigma dan teknis. Paradigma pendidikan meliputi tujuan pendidikan, kebijakan negara, politik pendidikan dan dasar/asas pendidikan yang dibangun. Detil operasionalnya terwujud dalam aspek teknis meliputi kurikulum, manajemen, fasilitas dan guru. 

Sistem pendidikaan hari ini memiliki paradigma pendidikan yang terbilang rusak. Pendidikan dianggap sebagai salah satu ‘jasa industri’ yang ditangani dalam neraca untung rugi. Kisruh ketidaksejahteraan guru hanyalah satu dari sekian banyak tumpukan masalah pendidikan yang muncul. 

Sedangkan dalam Islam, paradigma yang dibangun adalah dalam kerangka ibadah. Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim (HR Baihaqi). 

Detil operasional pendidikan dalam Islam menganut prinsip “Seorang Imam (kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bertolak belakang dengan sistem kehidupan kita hari ini yang menyerahkan pendidikan pada pasar bebas (korporasi), dalam Islam negara harus berperan penuh dalam urusan negara. Ibnu Hazm dalam kitab Al Ahkaam menjelaskan bahwa seorang kepala negara berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. 

Dalam masalah kepegawaian, negara berkewajiban memberi upah yang layak kepada guru,  sehingga ia bisa mengerjakan tugas yang diamanahkan kepadanya. “Barangsiapa yang diserahi tugas pekerjaan dalam keadaan tidak memiliki rumah maka hendaklah ia mendapatkan rumah. Jika ia tidak memiliki isteri maka hendaklah ia menikah. Jika ia tidak memiliki pembantu maka hendaklah ia mendapatkannya. Bila ia tidak memiliki hewan tunggangan hendaklah ia memilikinya. Dan barang siapa yang mendapatkan selain itu maka ia telah melakukan kecurangan” (HR. Abu Daud).

Bagaimana dengan pembiayaannya? Ini pentingnya integrasi sistem pendidikan dengan sistem lain yang kompatibel. Sistem pendidikan Islam hanya kompatibel dengan sistem ekonomi Islam sebagai penyokong dana. Sedangkan penjaminan mekanisme ekonomi Islam yang dijalankan ada pada sistem pemerintahan yang dianut, yakni sistem pemerintahan Islam. Itulah mengapa Islam tidak bisa diambil hanya sebagian hukum saja, tapi harus kaffah (menyeluruh). inilah berkah penerapan Islam kaffah dalam kehidupan. Bukan suatu hal yang mustahil kesejahteraan guru dapat diwujudkan jika pengaturan kehidupan sejalan dengan aturan sang pencipta kehidupan itu sendiri. Wallahu a’lam bish showab. 

Post a Comment

Previous Post Next Post