Penulis : Yanti
(Aktivis Dakwah dan Penggiat Literasi Kampus)
Pernahkan anda membayangkan menjadi seorang petani? Kalau kita lihat petani itu butuh materi yang banyak, belum lagi tenaga yang akan dikeluarkan, lalu hasil panennya belum tentu banyak, karna dari segi obat-obatannya untuk menggaram lahan tani tersebut membutuhkan materi yang tidak sedikit, lalu dari segi hasil panennya dihargai dengan murah, di bawah standar kehidupan. Tak cukup hanya itu, untuk memenuhi kebutuhannya pun sangat sulit sekali, apalagi untuk menyisihkan modal untuk kembali berputar demi proses pekerjaan selanjutnya. Belum lagi biaya anak sekolah, listrik dan lain-lainnya. Sementara sumber pendapatan itu hanya dari hasil petani.
Dari jeritan kerabat-kerabat yang ada, ternyata materi yang akan dikeluarkan untuk mengarap padi tidaklah sedikit dalam tahapan-tahapan menggarapnya. Keadaan yang demikian, coba kita bayangkan bagaimana cara mengelola keuangannya? Sementara yang didapatkan dari hasil panen hanya sedikit, belum lagi setiap bulannya harus disisihkan untuk keperluan hidup lainnya.
Parahnya lagi adanya impor cangkul, seperti baru-baru ini diperbincangkan di Jakarta, 8/11/2019 maraknya Impor Pacul, Presiden Joko Widodo menyinggung soal Indonesia yang masih mengimpor Pacul. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Impor Pacul sepanjang Januari- September 2019 senilai USS101,69 ribu pada tahun 2019 dengan total berat 268,2 Tetapi kalau dilihat dari Direktur Jendral Perdagangan Luar Negeri kemendag Indrasari Wisnu Wardana mengatakan dugaan ini didasarkan adanya izin impor yang dikeluarkan lembaganya.
Impor cakul? Kok bisa? Bukannya Indonesia adalah beriklim tropis, yang kaya dengan sumber daya alam. Hal sepele seperti cakul kok bisa impor?
Bayangkan betapa menjeritnya para petani, belum lagi rupiah yang dihasilkan oleh panen murah, ditambah lagi cangkul yang di impor dengan harga yang melambung tinggi. Padahal cakul ini adalah alat yang digunakan untuk bertani. Artinya keperluan yang mendesak bagi para petani. Tetapi dengan kualitas yang tinggi tadi, tentu petani tidak bisa atau kesulitan mendapatkannya.
Belum juga impor baja yang masih mendominasi pasar. Indonesia Direktor utama PT Krakatau Steel TBK (KRAS) Silmy Karim dalam paparannya yang berjudul “Strategi Induks Baja untuk menjadi bagian dari Value Chain Industri Otomotif Nasional, Rabu/4/9.
Silmy mengatakan konsumsi Baja Nasional pada tahun 2018 sebesar 15,1 Juta Ton, angka tersebut meningkat (1,03%, juga berasal dari produksi domestic 10 juta ton, impor 7,6 juta ton dipotong ekspor 2,6 juta ton.
Dari fakta yang dijelaskan di atas, jelas bahwa sanya dalam sistem demokrasi tidak mampu menyelesaikan problematika seluruh kehidupan umat hari ini, justru menambah permasalahan dan kerusakan di segala lini kehidupan umat. Segala kerusakan yang dibawa oleh sistem demokrasi itu sebenarnya tidak lepas dari sejarah kemunculannya yang memang cacat sejak lahir. Akidah sekulerisme yang melahirkan demokrasi merupakan hasil jalan tengah atau kompromi. Jelas ini bukan persoalan rezim tetapi ini persoalan kerusakan ideologi yang dianut oleh bangsa ini. kepitalisme telah membuat negara dan moral bangsa jatuh ke bawah tumpukan uang. Racun sekulerisme ini juga telah masuk ke dalam kehidupan pribadi umat hingga banyak yang terzolimi.
Jadi untuk menghentikan keuntungan pada pangan impor dibutuhkan negara yang mempunyai visi yang jelas, pemerintah yang berperan sebagai pelayan bukan pebisnis serta system ekonomi yang adil, bukan ekonomi yang pro kapitalis. Dalam islam negara berkewajiban melindungi kepentingan kebutuhan warga negara dan mencegah ketergantungan kepada asing. System yang memiliki ketiga ini hanyalah system islam yang menjalankan syariat islam secara kaffah dan dinaungan khilafah.
Post a Comment