By : YOLA MAILENIA PUTRI
NIM: 1815040136
MAHASISWI UIN IMAM BONJOL PADANG
PRODI PSIKOLOGI ISLAM (D)
Pada akhir-akhir ini para ahli psikologi kognitif menaruh perhatian besar terhadap hubungan antara aspek emosi dengan proses-proses kognitif karena beberapa alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, bahwa keadaan emosi dapat mempengaruhi proses-proses kognitif dalam bentuk-bentuk atau cara-cara yang sangat penting, bahkan berakibat fatal. Oleh sebab itu, ada sesuatu hal yang esensial bagi psikologi untuk memahami apa dan bagaimana emosi mempengaruhi aktivitas kognitif seseorang.
Kedua, cara yang lebih berguna untuk dikembangkan, sehingga memungkinkan dilakukan manipulasi atau rekayasa pengalaman emosi secara eksperimental sebagai variabel bebas. Misalnya suasana emosinya dengan hipnotis atau verbal, sehingga membuat mereka mengalami emosi sedih atau gembira pada saat itu. Dengan makin canggih metode yang dipergunakan maka memungkinkan untuk dilakukan penelitian yang lebih luas.
Ketiga, keterbatasan penelitian yang dilakukan dalam bidang klinis. Sejak sepuluh tahun yang lalu, kebanyakan penelitian mengenai pengaruh depresi terhadap ingatan dan proses kognitif yang lain menggunakan pasien klinis, dan tidak melibatkan rekayasa emosi pada orang-orang normal. Dengan begitu, tanpa dilakukan manipulasi secara langsung terhadap emosi subjek yang normal maka sulit diketahui dengan jelas apakah suatu proses kognitif memang dipengaruhi oleh suasana emosi yang sedang berlangsung, atau karena faktor sindrom depresif secara umum.
Terakhir, tumbuhnya suatu keyakinan bahwa pertimbangan teoritis tentang ingatan dan kognisi pada umumnya harus dapat menjelaskan juga mengenai pengaruh aspek-aspek afektif atau emosi seperti kecemasan, depresi, nilai, terhadap proses- proses kognitif. Dengan demikian, teori kognitif yang lengkap pada akhirnya harus mencakup penjelasan tentang bagaimana peran-peran penting aspek-aspek emosi di dalam keseluruhan proses kognitif manusia (Suharnan, 205).
Menurut Gros (198) bahwa terdapat pengaruh regulasi, antara lain : Coping, Mod Regulation (pengaturan mod), Defenses (pertahanan), dan Emotion Regulation (Regulasi Emosi). Dalam regulasi emosi terdiri atas bagian-bagian regulasi emosi, antara lain: kepribadian, klinis, kesehatan, biologi, kognitif, perkembangan, dan sosial (Gros, 198).
Regulasi emosi adalah usaha individu untuk mempengaruhi emosi yang mereka alami, dan bagaimana emosi ini dihayati dan diekspresikan (Gros, Richard, & John, 204). Mengelola emosi (regulasi emosi) dapat dilakukan dengan pendekatan kognitif dan perilaku (Gros, 202). Pendekatan kognitif menjelaskan bahwa emosi yang dirasakan individu merupakan hasil dari penilaian terhadap situasi yang dihadapinya. Individu yang menilai situasi yang dihadapi sebagai sesuatu yang positif akan mengembangkan respon emosi yang positif pula, sebaliknya individu yang memberikan penilaian negatif terhadap situasi yang dihadapi akan mengembangkan emosi negatif pula.
Berdasarkan penelitan yang dilakukan Gros (202) individu yang memilh strategi antecedent-focused mempunyai fungsi interpersonal dan kesejahteraan yang lebih baik. Pada proses response - focused berlangsung usaha untuk menekan ekspresi emosi (supresion), dimana strategi tersebut efektif untuk menurunkan ekspresi emosi negatif tetapi memberikan efek samping yaitu menekan ekspresi positif dan tidak membantu mengurangi pengalaman negatif. Proses ini membutuhkan usaha yang lebih untuk mengatur ekspresi emosi (Gros, 202).
Penelitan Aldao, dkk (2010) yang meneliti hubungan antara empat strategi regulasi emosi kognitif (perenungan, supresi, penilaian kembali, dan pemecahan masalah) dan gejala tiga psikopatologi (depresi, kecemasan, dan gangguan makan). Secara keseluruhan, menunjukan bahwa penggunaan strategi maladaptif mungkin memainkan peran yang lebih sentral dalam psikopatologi daripada penggunaan non strategi adaptif, dan memberikan dukungan dari pandangan transdiagnostik dari regulasi emosi kognitif.
Menurut penelitian A.Ben Eliyahu, et al (2013) secara khusus, kami fokus pada regulasi emosi yang terjadi sebagai bagian dari self regulated learning dengan mengadaptasi tiga strategi regulasi emosi yang luas untuk situasi belajar. Dalam melakukanya, kami memeriksa regulasi emosi dalam konteks pembelajaran (Davis et al. 208). Davis et al. (208) menerapkan kerangka penilaian kognitif untuk memeriksa bagaimana komponen kognitif dari regulasi emosi berkaitan dengan aspek yang berbeda dari emosi. Mereka berfokus pada bagaimana penilaian relevansi tujuan dan kesesuaian, sense of agency, dan efikasi bergabung untuk memprediksi mengatasi tes kecemasan.
Sementara itu, regulasi emosi dapat terjadi sebagai akibat dari hubungan sosial (Misalnya, berbagi sosial dan coregulation), penelitan ini bertujuan mengintegrasikan regulasi emosi dengan self regulated learning, yang berfokus pada regulasi internal diri selama belajar. Kesimpulan penelitan ini memberikan dukungan untuk hipotesis bahwa strategi emosi mandiri yang berbeda-beda terkait dengan emosi di kelas favorit dan kursus paling favorit dan menyoroti utiltas potensi dalam mengintegrasikan regulasi emosi dalam kerangka yang lebih luas dari self regulated learning.
Penelitian di masa depan harus membangun konsep saat ini untuk menyelidiki bagaimana sekolah dan guru dapat mendukung regulasi diri dan emosi siswa, dan bagaimana strategi ini, pada gilirannya, berhubungan dengan belajar. Menurut penelitan A.Ben Eliyahu, et al (2015) kerangka penelitian kami menggabungkan literatur relatif independen pada afektif, perilaku, dan regulasi kognitif yang berasal dari klinis, kognitif, dan psikologi sosial dengan self regulated learning dari psikologi pendidikan.
Sehubungan dengan proses regulasi, peneliti mengusulkan bahwa tiga bentuk dasar self-regulation (emosional, perilaku, dan kognitif) sangat penting dan dapat didefinisikan sebagai proses yang mempengaruhi emosi, perilaku, dan kognisi masing-masing. Artinya, regulasi emosi (atau perilaku atau kognitif) mengangap hasil emosional (atau perilaku atau kognitif masing-masing) yang berpengalaman melalui regulasi.
Peneliti mengkonsepkan regulasi emosi baik dari segi reframing situasi dalam yang positif, yang dikenal sebagai penilaian kembali, menekankan kembali emosi maladaptif. Untuk konsep regulasi perilaku, peneliti membangun konsep yang menunjukan bahwa lingkungan menyesuaikan seseorang dan merencanakan kapan harus melakukan tugas-tugas tertentu) yang sangat penting untuk belajar. Peneliti mengusulkan bahwa ketiga bentuk regulasi diri yang pada gilranya berhubungan dengan strategi self regulated learning (pengolahan dalam, keterlibatan, dan organisasi) dan keterlibatan perilaku-kognitif, yang pada akhirnya menentukan prestasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa emosi akademis secara signifikan berhubungan dengan motivasi belajar siswa, strategi belajar, sumber daya kognitif, self-regulation, dan prestasi akademik, serta kepribadian. Temuan menunjukan bahwa penelitian afektif dalam psikologi pendidikan harus mengakui keragaman emosional dalam pengaturan akademik dengan mengatasi berbagai emosi yang dialami siswa di sekolah.
Network Theory dikembangkan oleh Gordon Bower dkk pada awal tahun 1980-an. Teori ni didasarkan atas asumsi bahwa emosi-emosi disimpan sebagai komponen-komponen di dalam ingatan semantik. Setiap emosi yang menonjol seperti gembira, murung (depresi), atau ketakutan, memilki komponen atau unit khusus di dalam ingatan yang terkumpul bersama-sama dengan banyak emosi yang lain seperti jaringan. Masing-masing unit emosi tersebut juga dihubungkan oleh proposisi yang mengambarkan peristiwa- peristiwa yang terjadi ketika seseorang sedang mengalami emosi tu. Kode-kode emosi ini dapat diaktifkan kembali oleh berbagai stimulus, misalnya simbol-simbol bahasa atau objek-objek fisik (Suharnan, 205).
Post a Comment