Hilangnya Marwah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Oleh : Anggun Permatasari

Ada pepatah mengatakan, "Jika aku saat ini hanyalah sebuah bongkahan batu yang tak ternilai. Maka, suatu saat batu itu akan menjadi bongkahan mulia yang harganya sangat mahal, tahukah mengapa demikian dapat terjadi. Itu semua karena engkau guru kami yang mengajari kami dengan penuh motivasi dan ketulusan."

Bisa disimpulkan, itu merupakan sepenggal puisi yang ditujukan untuk guru dari muridnya. Sayangnya, jika kita lihat banyak fakta yang terjadi saat ini. Tampaknya kata-kata mutiara itu hanyalah pepesan kosong belaka. Guru bukan lagi sosok manusia yang dijunjung tinggi kehormatannya karena ilmu dan jasanya dalam mencetak generasi masa depan yang cemerlang. Melainkan sebatas profesi.

Seperti berita yang ditulis detik.com., "Alexander Warupangkey (54), guru SMK Ichtus, Manado, Sulut, ternyata lebih dulu dikeroyok sebelum ditikam hingga tewas oleh muridnya. Pelaku pengeroyokan sudah ditangkap polisi.

"Dari hasil pemeriksaan 6 saksi yang saat kejadian ada di TKP (tempat kejadian perkara) kepolisian akhirnya menetapkan satu tersangka baru, yakni OU (17), yang ikut mengeroyok korban ketika pelaku FL melakukan aksi penikaman," ujar Kapolresta Manado Kombes Benny Bawensel saat dimintai konfirmasi, Sabtu (26/10/2019). OU ditangkap polisi pada Jumat (25/10) di rumahnya, Desa Koka, Mapanget Barat. OU merupakan pelajar di SMK Ichtus.

Bercermin dari kasus di atas, guru yang sejatinya digambarkan sebagai pahlawan bagi muridnya, idealnya membuat murid menjadikannya sosok teladan yang dihormati dan disegani. Namun, saat ini marwah guru justru semakin memudar dihadapan muridnya. 

Sang murid bersikap tidak sopan, bahkan berani dan tega secara sadar menyakiti dan melukai guru yang seharusnya menjadi orang tua mereka di sekolah.

Dan yang lebih memilukan, ternyata kasus kekerasan murid kepada guru seperti yang terjadi di Manado bukanlah satu-satunya. Deretan kasus serupa banyak terjadi sebelumnya dan apabila melihat gaya hidup dan sistem pendidikan di sistem sekuler liberalis saat ini bukan tidak mungkin akan terus berulang.

Sudah menjadi pemahaman khalayak, bahwa semua ini terjadi akibat buah penerapan sistem rusak sekuler liberalis. 

Sistem sekuler liberalis hanya memandang pendidikan sebagai sarana untuk mencetak manusia sukses secara materil. Jargon-jargon pendidikan karakter yang digembar-gemborkan merupakan ilusi belaka. Karena faktanya, out put yang dihasilkan adalah manusia-manusia yang bertindak tanpa menilai halal-haram, mendewakan kebebasan dan individualis.

Sebagai contoh, program 6 literasi dasar untuk menghadapi era 4.0 yang dibuat pemerintah. Pada laman jeda.id tertulis, "Setidaknya ada enam literasi dasar yang harus dikuasai masyarakat. Literasi dasar tersebut berperan sangat penting dalam pendidikan maupun kehidupan sehari-hari. Berikut enam literasi dasar dirangkum dari Gerakan Literasi Nasional Kemendikbud. Keenam literasi tersebut adalah literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi finansial, literasi digital dan literasi kebudayaan dan kewarganegaraan."

Apabila kita perhatikan dengan seksama, Program tersebut masih terlalu umum dan tidak secara spesifik memberikan gambaran kerangka berpikir yang jelas dan terarah. Dan dari keenam literasi tersebut tidak ada poin mengenai aqidah. 

Jadi, sangatlah jelas sistem sekuler tidak mengaitkan pendidikan dengan ayat-ayat alquran dan hadist. Mereka menganggap ayat-ayat tersebut tidak sesuai perkembangan zaman. Oleh sebab itu, bukan sesuatu yang mengherankan saat ini terjadi degradasi moral pada siswa yang berimbas hilangnya rasa hormat dan patuh kepada orang tua dan guru.

Apabila kita memang ingin mencetak SDM handal, maka sistem pendidikan harus dirancang secara benar, baik dari sisi paradigma hingga implementasinya di lapangan.

Islam sebagai jalan hidup memandang pendidikan merupakan sarana untuk menjadikan manusia melaksanakan kewajiban kepada Tuhannya secara total. Dan mewujudkan terciptanya insan kamil (manusia seutuhnya). 

Pendidikan Islam mengutamakan aqidah sebagai landasan berfikir bagi manusia agar hidup tetap pada aturan Sang Pemilik Hidup.

Koridor halal-haram menjadi penyekat ambisi manusia yang tiada batas agar senantiasa berperilaku benar sesuai titah Sang Pemilik Hidup. Aqidah yang matang tentunya mencetak manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang benar dalam bersosialisi di masyarakat.

Rasulullah SAW. bersabda: “sebaik-baik kamu adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. At-Tirmidzi)."

Dalam Surat Al-Isra ayat 23 Allah swt. berfirman, "Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepada manusia janganlah ia beribadah melainkan hanya kepadaNya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia lanjut disisimu maka janganlah katakan kepada keduanya ‘ah’ dan janganlah kamu membentak keduanya”

"Tidak termasuk golongan kami, orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama." (HR. Ahmad dishahihkan Al Albani dalam shahih Al Jaml).

Ayat alquran dan hadist di atas menjelaskan bahwa Islam telah memerintahkan kita untuk menghormati orang tua dan guru. Marwah guru dalam Islam sangat agung sehingga diperlakukan dengan rasa hormat dan martabat tinggi.
Sebagai contoh, perhatian daulah islam dahulu terhadap guru diwujudkan dalam bentuk mencukupi kebutuhan anak-anak guru. Kebutuhan pokok dan biaya sekolah ditanggung oleh pemerintah sehingga membuat hidup mereka menjadi nyaman dan sejahtera.

Pada masa Daulah Abbasiyah, tunjangan kepada guru begitu tinggi seperti yang diterima oleh Zujaj pada masa Abbasiyah. Setiap bulan beliau mendapat gaji 200 dinar. Sementara Ibnu Duraid digaji 50 dinar perbulan oleh al-Muqtadir.

Contoh lain Adalah putra Khalifah Harun Ar-Rasyid, Al-Amin dan Al-Makmun pernah berebut sepasang sandal Syekh Al-Kisa’i. Keduanya berlomba untuk memasangkan sandal syekhnya itu di kakinya, sehingga mengundang kekaguman sang guru.

Syekhnya lalu berucap, “Sudah, masing-masing pegang satu-satu saja.” Ketika dewasa, Khalifah Al-Makmun juga berusaha untuk menumbuhkan sifat tawadhu kepada para putranya.

Dari penjabaran di atas sangat jelas perbedaan sistem pendidikan Islam dan sistem pendidikan sekuler liberalis yang tentunya menghasilkan out put manusia dengan kualitas berbeda. Namun, penerapan sistem pendidikan Islam yang paripurna tidak akan terwujud tanpa adanya institusi yang menaungi dan menerapakannya secara sempurna. Wallahualam. 

Post a Comment

Previous Post Next Post