Oleh : Widhy Lutfiah Marha
Pendidik generasi dan Member Akademi Menulis kreatif
Di era jaman now tidak dipungkiri bahwa “sosok guru” sering disebut sebagai ujung tombak pendidikan. Dalam keseharian, guru berhadapan dengan peserta didik dan menjadi pengelola pembelajaran. Fakta bahwa jumlah guru di seluruh Indonesia lebih dari 3,2 juta orang menguatkan cara pandang bahwa guru merupakan profesi yang penting untuk terus dikembangkan kualitasnya. (CNN. Indonesia, 4/11/2019).
Guru sebagai sebuah “profesi”, artinya suatu jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai pengajar sekaligus pendidik. Seorang guru tidak boleh mengajar dengan sembarangan, karena ditangan guru akan menentukan arah dan tujuan siswa didiknya. Jika dilaksanakan oleh orang yang tidak berpendidikan bisa berakibat fatal pada masa depan siswa-siswi kebanggaan bangsa dan agama.
Tugas guru tidak terbatas pada proses belajar-mengajar di kelas saja akan tetapi dalam kehidupan bermasyarakat, guru juga harus mencerminkan jiwa pendidik yang berwawasan intelek yang setiap saat siap dimintai nasehat dan ilmu serta memberi contoh perilaku yang akhlakul karimah, karena tidak dipungkiri setiap pasang mata laksana CCTV, yang akan menyoroti tingkah laku seorang guru. Maka dari itu guru layak dikatakan seorang dewa yang harus tampil sempurna dan berjiwa ksatria yang senantiasa bersahaja dan bersabda seperti raja yang setiap perkataan, tingkah laku dan cara hidupnya dijadikan sebagai panutan masyarakat.
Melihat tugas berat dan jam kerjanya yang tinggi, tapi sepertinya jasa guru tidak dihargai dinegeri ini. Menurut di berbagai berita yang sedang viral seorang guru tinggal di WC sekolah, salah satunya dilansir di (TRAN7.com), ada lagi seorang guru ngaji yang menempati gubug kecil di lahan orang dengan beratapkan kresek, tikar-tikar bekas dan masih banyak lagi kehidupan guru yang sangat memprihatinkan. Sudah bisa ditebak kondisi mereka seperti itu karena mereka tak mampu, akibat gaji yang diperoleh tidak bisa membangun rumah. Jangankan membangun rumah untuk kebutuhan sehari-hari saja tidak cukup.
Sungguh aneh pemerintah ini, alih-alih membuat hati gembira pada nurani para guru meliriknya pun tidak. Malah baru-baru ini Presiden Joko Widodo mengumumkan beberapa staf khusus presiden. Dari 13 staf khusus, 7 di antaranya adalah kaum milenial. Mereka adalah CEO, founder, dan anak-anak milenial berprestasi dari penjuru negeri. Presiden berharap dengan adanya mereka akan muncul gebrakan inovasi baru.
Yang kini menjadi perbincangan di ranah publik adalah besaran gaji yang mereka terima. Dilansir oleh Kompas.com (23/11/2019) besaran gaji yang mereka terima sesuai dengan Perpres No. 114/2015, yakni Rp51 juta. Presiden menambahkan, karena mereka adalah para milenial yang memiliki kesibukan, maka mereka tidak wajib ngantor setiap hari.
Hal ini disorot oleh beberapa politisi, baik pro maupun kontra. Seperti Saleh Partaoanan Daulay (Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanah Nasional) yang menyatakan pengangkatan staf khusus itu terlalu gemuk dan tidak efisien.
Hal senada disampaikan oleh Fadli Zon (Wakil Ketua Umum Partai Gerindra) yang menganggap pengangkatan staf khusus ini hanya sebagai pencitraan saja.
Berbeda dengan beberapa tokoh lainnya, Djarot Syaiful Hidayat (Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi DPP PDI Perjuangan) justru menyatakan pemilihan tujuh staf milenial ini akan mendobrak birokrasi yang kaku.
Ironisnya, kondisi yang berbeda 180 derajat malah dialami para guru honorer. Di Hari Guru tahun ini, masih banyak dari mereka yang mendapatkan kado pahit.
Seperti nasib pilu para guru honorer di Ende, Nusa Tenggara Timur. Bayangkan, sudah 11 bulan terhitung sejak Januari 2019 mereka tidak menerima gaji. Bahkan dari data yang dilaporkan, didapatkan sejumlah nama guru hilang dari daftar penerima Bantuan Operasional Daerah (Bosda). (Kompas.com, 22/11/2019).
Di sisi lain, Ketua Umum Perkumpulan Honorer K2 Indonesia (PHK2I) Titi Purwaningsih meminta kejelasan penerbitan Perpres jabatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pasalnya, sudah sembilan bulan sejak pengumuman kelulusan, nasib mereka masih terkatung-katung. Hingga saat ini mereka hanya mendapat gaji Rp150 ribu/bulan, itu pun dibayar per tiga bulan sekali. (CNN Indonesia, 20/11/2019).
Sungguh miris dan tragis. Di satu sisi ada abdi negara yang digaji puluhan juta rupiah, tapi masuk kantor tak berjadwal. Di sisi lain ada abdi negara yang harus masuk setiap hari, di kantor tepat waktu, belum lagi tugas-tugas administrasi lainnya. Namun hanya mendapat gaji ratusan ribu. Bahkan ada yang belum dibayar hampir satu tahun.
Adanya perbedaan penghargaan bagi para abdi ini menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah atas nasib guru. Benarlah pameo “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa“. Jasanya tak pernah dihargai sepadan dengan gajinya. Apalagi mereka yang masih bergelar honorer.
Islam Memuliakan Guru
Guru adalah sosok paling berjasa dalam kemajuan negeri ini. Munculnya para milenial berdedikasi tinggi tentu hasil didikan para guru. Maka sudah selayaknya nasib guru itu lebih diperjuangkan daripada yang lainnya. Seperti perhatian Rasulullah Saw terhadap dunia pendidikan semasa kejayaan Islam. Hal tersebut ditunjukkan ketika Beliau menetapkan kebijakan bagi para tawanan perang badar bahwa akan mendapatkan kebebasan jika mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang penduduk Madinah. Hal ini merupakan tebusan dan menurut hukum Islam, barang tebusan itu merupakan hak Baitul Maal (kas negara).
Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Ahkaam menjelaskan bahwa seorang kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana dan sistem pendidikan, serta memberikan gaji untuk para pendidik masyarakat.Pada masa kekhalifahan Islam perhatian terhadap guru dan pendidikan rakyat diutamakan. Banyak hadits Rasul yang menjelaskan perkara ini, di antaranya: “Barangsiapa yang kami beri tugas melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami berikan rezeki (gaji/upah/imbalan), maka apa yang diambil selain dari itu adalah kecurangan” (HR. Abu Daud).
Hadits tersebut menjelaskan secara gamblang bahwa memberikan hak kepada pegawai negeri (pejabat pemerintahan) untuk memperoleh gaji dan fasilitas, baik perumahan, isteri, pembantu, ataupun alat transportasi, semua harus disiapkan oleh negara. Sebagai perbandingan, Imam Ad Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak dan Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar ( 1 dinar = 4,25 gram emas) sekitar 29 juta rupiah dengan kurs dolar sekarang.
Begitulah islam memuliakan profesi guru, karena guru komponen yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Dengan begitu guru akan istiqomah dalam mengabdi, mendidik, mengajar, dan menularkan nilai-nilai pendidikan dan mentalitas super kepada anak-anak untuk menyonsong masa depan yang lebih cerah dan sehingga menjadi kebanggaan bangsa dan agama. Sudah banyak prestasi terbaik dalam mengharumkan nama bangsa yang dihasilkan oleh putra-putri kebanggaan bangsa baik dikancah nasional maupun internasional. Tidak lain, hal itu dikarenakan polesan dan didikan seorang guru yang dengan setia mendampinginya. “Guru telah terbukti menjadi kunci utama keberhasilan bangsa bukan abdi negara milenial yang belum jelas kerjanya.
Wallahu a’lam bishshawab.
Post a Comment