Oleh : Nur Ilmi Hidayah
Praktisi Pendidikan, Member Akademi Menulis Kreatif
Penghapusan materi perang di mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) akan diberlakukan pada tahun 2020. Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Kurikulum Sarana Prasarana Kesiswaan (KSKK) Madrasah Kementerian Agama, Ahmad Umar. Baik untuk Madrasah Ibtidayyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), ataupun Madrasah Aliyah (MA).
Ternyata wacana penghapusan materi perang juga sebelumnya diserukan oleh Said Aqil Siradj, ketua umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (BPNU). Ia meminta kurikulum pendidikan agama Islam di sekolah dikaji ulang. Pasalnya pada bab tentang sejarah terlalu didominasi cerita perang.
"Yang diperhatikan adalah kurikulum pelajaran agama di sekokah. Saya melihat pelajaran agama di sekolah yang disampaikan sejarah perang, misalnya perang Badar, perang Uhud, pantesan radikal," kata Said Aqil Siradj.(28/07/2018, antaranews.com)
Radikalisme adalah gejala yang bersifat global. Di Indonesia, radikalisme hampir selalu dikaitkan dengan Islam. Walaupun hal ini tidak dinyatakan secara terang-terangan. Cara ini justru berbahaya. Kesalahan terbesar media utama bukan pada penyebaran hoaks, tetapi pada penyembunyian fakta, bahwa radikalisme terjadi di mana-mana.
Kementerian agama tengah menggodok ulang kurikulum tentang pelajaran agama Islam untuk siswa sekolah. Hal ini dilakukan untuk mencegah perpecahan sejak dini yang mungkin menyusup ke pelajaran agama.
Sayangnya, hal ini jelas keliru. Sebab, materi perang dalam pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), bukanlah penyebab munculnya radikalisme. Justru, segala macam isme (kapitalisme liberalisme, sekularisme) yang harus dihilangkan dari kurikulum pendidikan di negeri ini. Karena setiap isme tersebut memberi peluang munculnya paham radikal.
Kurikulum dalam Sistem Pendidikan Khilafah
Dalam Islam, hubungan pemerintah dengan rakyat adalah hubungan pengurusan dan tanggung jawab negara (khalifah) dalam memelihara urusan rakyat. Rasulullah Saw bersabda;
"Imam (khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Sebagai bagian ri'ayah, maka pendidikan diatur sepenuhnya oleh negara berdasarkan akidah Islam. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk membentuk kepribadian islami (Syakhshiyah Islamiyah) setiap muslim. Di samping itu juga membekali dirinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan. Untuk menempati tujuan pendidikan tersebut, kurikulum Islam memiliki tiga komponen materi pokok yaitu; (1) pembentukan kepribadian Islam, (2) penguasaan tsaqofah Islam, (3) penguasaan ilmu kehidupan (iptek, keahlian dan keterampilan). Hal ini akan mencetak generasi yang menghiasi segenap aktivitasnya dengan akhlak mulia dan memandang Islam sebagai satu-satunya sistem kehidupan yang benar.
Pelaksanaan pendidikan formal di masa kejayaan Islam, berdasarkan sirah Rasul hingga masa tarikh Daulah Khilafah, dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1. Kurikulum pendidikan didasarkan pada akidah Islam.
2. Mata pelajaran dan metodologi pendidikan seluruhnya disusun sejalan dengan asas akidah Islam.
3. Tujuan penyelenggaraan pendidikan merupakan penjabaran dari tujuan pendidikan Islam yang disesuaikan dengan tingkatan pendidikannya.
4. Sejalan dengan tujuan pendidikannya, waktu belajar untuk ilmu-ilmu Islam (tsaqofah islamiyah) diberikan setiap minggu dengan proporsi yang disesuaikan dengan waktu pelajaran ilmu kehidupan (iptek dan keterampilan).
5. Pelajaran ilmu-ilmu kehidupan (terapan dan sejenisnya, iptek dan keterampilan) dibedakan dari pelajaran guna membentukan syakhshiyah islamiyah dan tsaqofah islamiyah. Khusus untuk materi pembentukan syakhshiyah islamiyah mulai diberikan di tingkat dasar sebagai materi pengenalan dan kemudian meningkat pada materi pembentukan dan peningkatan setelah usia generasi menginjak baligh (dewasa). Sementara materi tsaqofah islamiyah dan pelajaran ilmu-ilmu terapan dan sejenisnya diajarkan secara bertingkat dari mulai tingkat dasar.
6. Bahasa Arab menjadi bahasa pengantar di seluruh jenjang pendidikan, baik negeri maupun swasta.
7. Materi pelajaran yang bermuatan pemikiran, ide dan hukum yang bertentangan dengan Islam, seperti ideologi sosialis/komunis atau liberal/kapitalis, akidah ahli kitab dan lainnya, termasuk sejarah asing, bahasa maupun sastra asing dan lainnya, hanya diberikan pada tingkat pendidikan tinggi. Tujuannya hanya untuk pendidikan, bukan untuk diyakini dan diamalkan.
8. Libur sekolah hanya diberikan pada hari raya Idulfitri dan Iduladha (termasuk hari tasyrik). Masa pendidikan berlangsung sepanjang tahun dan tujuh hari dalam seminggunya. Hal ini menjadikan umat Islam biasa beretos kerja tinggi.
9. Pendidikan sekolah tidak membatasi usia. Yang ada hanyalah batas usia wajib belajar bagi anak-anak, yakni mulai umur tujuh tahun.
Dengan melakukan pelaksanaan pendidikan formal pada masa kejayaan Islam, maka output yang dihasilkan adalah generasi pejuang. Bukan generasi cerdas akal saja namun miskin kepribadian, bukan generasi yang mahir dalam IPTEK namun miskin iman. Merekalah generasi pemimpin, pengukir peradaban yang tak mudah surut dalam perjuangan Islam.
Kurikulum pendidikan adalah perangkat yang diharapkan mengantar kepada tercapainya tujuan pendidikan. Dalam Islam, tujuan pendidikan itu ada dua. Yaitu mendidik anak-anak menjadi taat dan mengkader anak-anak menjadi khalifah di bumi.
Oleh karena itu, mari kita melakukan tugas besar ini bersama-sama. Kita lakukan kajian kurikulum , bedah kurikulum, kemudian membuat desain kurikulum yang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam.
Satu hal lagi yang penting dalam konteks kurikulum pendidikan Islam adalah islamisasi sains. Artinya, nilai-nilai Islam harus masuk ke setiap mata pelajaran. Dengan mempelajarinya, harus dikenalkan kepada Tuhannya dan Rasulullah Saw.
Wallahu a'lam bishshawaab.
Post a Comment