Oleh : Baiq Famila Hendrawati
(Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Mataram)
Jakarta, CNN indonesia Menteri Hukum dan HAM Tjahjo Kumolo mengatakan baru saja memberi sanksi disiplin berupa pencopotan jabatan atau non job terhadap Aparatur Sipil negara (ASN) yang mengunggah konten pro khilafah di media sosialnya. Tjahjo Kumolo meminta pada Irjen untuk mengusut dan langsung di nonjobkan, kata Tjhajo saat di temui usai Rakornas simpul strategis pembumian pancasila di hotel Merlyn park, jakarta (Rabu 16/10).
Ia adalah seorang Muslim yang bekerja sebagai salah seorang pegawai di Kanwil Kumham Balik Papan.
Ini hanyalah salah satu dari sekian banyak fakta yang menunjukkan bahwa saat ini, virus Islamophobia di elit pemerintahan maupun rezim semakin menyebar dan tidak bisa dibendung lagi. Khilafah adalah ajaran islam yang seharusnya tidak dijadikan sebagai momok yang menakutkan, apalagi sampai menonjobkan orang orang yang hanya sekedar mengatakan "era kebangkitan khilafah sebentar lagi"
Sungguh miris negeri yang mayoritasnya muslim, namun Islam dan seperangkat ajarannya justru dibenci dan dikriminalisasi.
Pihak yang kontra terhadap ajaran Islam,menyatakan bahwa hal ini mereka lakukan semata mata untuk memberantas radikalisme. Padahal jika mereka memahami konstelasi perpolitikan internasional, radikalisme adalah senjata bagi negara adidaya, yakni pengusung ideologi kapitalisme, untuk menjadikan Islam dan para pejuangnya dijadikan sebagai common enemy (musuh bersama yang harus diperangi); agar hegemoni mereka bisa tetap eksis di negeri-negeri kaum muslim dan musuh-musuh Islam bisa menancapkan ideologi kapitalismenya lebih lama.
Padahal sudah jelas biang dari semua masalah yang serupa di Indonesia bukanlah Islam itu sendiri namun akibat diterapkannya sistem demokrasi sekuler ini. Bahkan karena diterapkannya sistem ini justru penguasa saat ini semakin terlihat anti terhadap kritikan, hal ini terbukti dengan adanya pengekangan kebebasan pers untuk berpendapat misalnya seperti pasal 218, 219, dan 220.
Salah satunya jika seseorang, termasuk junalis dan warganet yang dianggap menghina presiden dan wapres, akan terancam hukuman pidana. Pertanyaannya, siapakah yang memang sengaja merugikan dirinya untuk dijatuhi hukuman penjara atau denda? Tentu tidak ada! Karena ini semua adalah hal yang wajar bahkan menjadi hak setiap warga negara baik ketika ada masalah maupun tidak untuk berpendapat dan memberikan kritikannya, atau berpandangan sesuai keyakinan agamanya, tentu selama itu tidak ada unsur penghinaan penganut agama lain. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Umat Islam harus mengelus dada merelakan agamanya dihina dan pendapatnya tak dilindungi. Mau seperti apa lagi wahai Penguasa?
Beginilah realita dalam sistem rusak demokrasi sekuler. Berbeda halnya dengan sistem islam, yang telah tercatat dalam tinta sejarah, bagaimana muhasabah lil hukkam itu sangat di utamakan. Mari kita flashback kisah Khalifah Umar bin khattab, yang pernah dikritik atau dinasehati oleh seorang wanita terkait penentuan mahar. Dalam pidatonya, Umar membatasi pemberian mahar terhadap wanita. Namun salah satu wanita memprotesnya, dan mengingatkannya pada surat An-Nisa ayat 20, seketika itu khalifah Umar beristighfar dan berkata" tiap orang lebih paham daripada Umar". Beginilah sosok seorang pemimpin di dalam sistem Islam. Sosok pemimpin seperti ini ada karena mereka hidup dalam sistem kehidupan yang standar yang digunakan nya adalah hukum syara yang sesuai dengan logika dan fitrah manusia. Mau tunggu apa lagi wahai saudara? Disinilah kedamaian dan hak-hak manusia, termasuk hal menginginkan kebahagiaan hakiki akan terwujud.
Waulahu'alam bisshawab.
Post a Comment