Oleh : Aina Syahidah
“Mestinya, tanah-tanah produktif itu jangan dijadikan jalan tol. Ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Setiap hari orang bertambah, kalau lahan produktif dikurangi, mau makan apa kita?” ujar Muhammad Saipun petani asal Jawa Timur yang terkena dampak dari pembangunan proyek Infrastruktur jalan di daerahnya.
Tidak hanya kehilangan lahan. Ia juga harus menempuh jarak yang lumayan jauh dari sebelumnya untuk sampai ke ladang. Pilunya, Saipun itu juga menuturkan bahwa petani yang memikul cangkul dilarang melintasi jalan tol. Padahal di sanalah dahulu jalan yang mesti dilalui pabila hendak menuju sawah (Hidayatullah.com, 31/03/2019).
Pengakuan yang sangat mengiris hati. Sangat bertentangan dengan apa yang selalunya digembar-gemborkan oleh penguasa bahwa pembangunan sejumlah proyek jalan adalah untuk menopang ekonomi rakyat.
Patut dipertanyakan, rakyat yang mana sebenarnya yang dimaksudkan oleh pemerintah? Mengapa suara-suara sumbang selalu saja terdengar dari mulut rakyat, dengan pengakuan yang hampir sama. Infrastruktur telah merenggut sumber kehidupan mereka. Mulai dari kehilangan tempat mengais rezeki, rakyat juga kehilangan tempat tinggal, akibat aktivitas penggusaran yang dilakukan oleh sejumlah korporasi.
Ironisnya, keselamatan nyawa masyarakat juga ikut terancam dengan adanya proyek ini. Sebut saja yang terjadi di daerah kawasan Gunung Bohong Cimahi. Sejumlah rumah mengalami keretakan pada dinding akibat aktivitas pengeboman yang dilakukan oleh pekerja proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) di daerah tersebut.
Keretakan ini nampak terlihat di bagian seisi rumah, mulai dari dapur, ruang tahun sampai kamar tidur. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan karena sewaktu-waktu bangunan bisa saja ambruk dan berpotensi menyelakai seisi rumah (Jabar.tribunnews.com, 19/10/2019).
Rakyat Bukan Penikmat Infrastruktur
Berangkat dari sederet fakta di atas, nyatalah sudah bahwa menjamurnya proyek Infrastruktur megah di negeri ini, tidak diperuntukan bagi rakyat kelas bawah. Mengapa? Karena kehadiran infrastruktur justru menghilangkan mimpi dari para petani dan kebanyakan rakyat lainnya.
Tidak dipungkiri bahwa yang menerima keuntungan besar dari berbagai proyek ini adalah pihak korporasi yang turut serta, juga para pelaku usaha kelas kakap yang semakin dimudahkan dalam melakukan proses distribusi hasil produksi dengan adanya jalan baru dan sejumlah fasilitas cepat lainnya.
Adanya pelarangan petani melintasi jalan tol serta penetapan tarif bagi yang ingin melewati jalan, adalah sejumlah representasi bahwa semua yang ada bukan untuk rakyat biasa.
Sebaliknya yang menikmati hanyalah mereka yang mempunyai pengaruh dan dapat membayar biaya melintasi tol.
Betapa perlakuan demikian ini, adalah cara-cara penjajah di masa lalu. Dilansir dari detiknews.com edisi 30/03/2019, di masa Daendles penggenjotan pembangunan proyek jalan raya telah dilakukan. Namun yang boleh melaluinya, hanyalah orang-orang Eropa saja. Kaum pribumi dilarang melewatinya karena khawatir jalan akan cepat rusak.
Adalah Muhammad Ridha, seorang dosen Filsafat UIN Alauddin Makassar melihat fenomena di jalan raya hari ini sama dengan yang terjadi di masa kolonialisme. Jalan raya menjadi simbol penanda kelas-kelas sosial. Yang kaya melewatinya sedang si miskin tinggal di gang-gang kumuh. Begitu ungkapan sang Dosen yang ditulis dalam bukunya yang berjudul Melawan Rezim Infrastruktur (detiknews.com, 30/03/2019).
Sudahlah rakyat tidak menikmatinya, dialah pula yang paling dirugikan. Sesudah itu, pembangunannya juga melalui jalan hutang sebagaimana ungkapan seorang Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara. Beliau mengatakan bahwa pembangunan infrastruktur didanai melalui utang. Sedang sudah 40 persen utang kita dipegang oleh investor asing. Sewaktu-waktu tatkala terjadi pengetatan moneter global dana ditarik kembali ke AS atau negara maju. Fenomena ini akan berpotensi menimbulkan lemahnya kurs rupiah (Tirto.id, 28/08/2019).
Liberalisasi di Bidang Transportasi?
Mewarisi cara-cara pengaturan rezim neolib di masa lalu terlihat di kondisi hari ini. Mentalitas terjajah masih ada sekalipun penjajah telah lama meninggalakn bangsa secara kasat mata. Semua ini karena kita masih menerapkan aturan yang buat oleh mereka.
Liberalisasi transportasi yang hari ini terjadi, itu adalah buah dari penerapan sistem kapitalistik. Di dalam sistem ini, negara dibuat tidak berdaya. Negara tak ubahnya hanya sebagai pelayan kepentingan para korporasi. Sebab sudah lazimnya, pembangunan infrastruktur mengacuh pada konsep kerjasama pemerintah dan swasta. Anggaran pun berbasis utang tergantung siapa yang hendak member pinjaman atau mau berinvestasi.
Maka tidak mengherankan jika hajat hidup sebagian besar rakyat tidak begitu diperdulikan. Yang terpenting adalah kepuasaan para investor. Padahal tidak sedikti yang menjadi korban dari semua ini. Mulai dari dampak rusaknya lingkungan, hilangnya sejumlah rumah dan sumber kehidupan rakyat.
Di dalam Islam pembangunan harus dilakukan tanpa harus menimbulkan bahaya bagi yang lainnya. Sebagaimana hadis Nabi Saw yang berbunyi, “Tidak boleh ada bahaya dan saling membahayakan (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Berangkat dari hadis ini, maka dalam melakukan proses pembangunan baik itu di bidang transportasi, pendidikan dan lainnya harus memperhatikan keseimbangan ekosistem di sekitarnya. Dimana tidak dibolehkan ada sejumlah kerusakan yang ditimbulkan olehnya. Apalagi sampai harus mengancam nyawa, hal itu tidak dibenarkan terjadi.
Disamping itu juga, Islam menolak untuk memberikan pengelolaan apa-apa yang masuk dalam urusan hajat hidup orang banyak atau yang berbau kepemilikan umum kepada pihak kedua dalam hal ini asing dan swasta. Negara harus hadir dalam mengelolanya secara langsung. Karena korporasi tidak mempunyai naluri untuk meriayah sebagaimana tugasnya penguasa yang memang mengemban amanah untuk mengurusi segalah hajat hidup rakyatnya. Wallahu’alam
Post a Comment