BPJS Naik, Premi Mencekik

Oleh : Layli Hawa

Ternyata, sudah sejak 24 Oktober 2019 lalu Peraturan Presiden (Perpres) 75/2019 tentang Perubahan atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan diteken Presiden Jokowi. Perpres tersebut pun berlaku sejak tanggal yang sama dan sudah diunggah ke laman setneg.go.id.

“Bahwa untuk meningkatkan kualitas dan kesinambungan program jaminan kesehatan, perlu dilakukan penyesuaian beberapa ketentuan dalam Perpres 82/2019 tentang Jaminan Kesehatan,” tulis Jokowi dalam pertimbangan Perpres tersebut.

Dengan ditekennya Perpres 75/2019, kenaikan premi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang menimbulkan polemik di masyarakat itu pun resmi berlaku mulai 1 Januari 2020 mendatang dan menyasar seluruh kelas peserta BPJS Kesehatan.

Dalam Pasal 34 Perpres tersebut, tarif iuran kelas Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri golongan III dengan manfaat pelayanan di ruang kelas perawatan kelas III naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 per bulan tiap peserta. Kenaikannya mencapai Rp 16.500.
Selain itu, iuran kelas mandiri II dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas II naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000 per bulan untuk tiap peserta.

Sementara itu, iuran kepesertaan BPJS Kesehatan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas I naik dua kali lipat dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000 per bulan untuk tiap peserta.

Menelisik setiap kebijakan pemerintah, rupanya rakyat semakin merasakan dampak kesengsaraan yang tiada berhujung. Seolah pemerintah tidak malu lagi menampakkan kediktatoran rezim saat ini.  
Karena bila ditelaah secara mendalam, paradigma dan konsep yang mendasari pelayanan kesehatan BPJS Kesehatan sudah salah dari awal. Yakni dijiwai logika komersialisasi pelayanan kesehatan dan kelalaian negara, bukan ketulusan. Maka sesungguhnya setiap orang berpotensi didera kesulitan. 
Meskipun benar sejumlah orang merasakan manfaat BPJS Kesehatan. Namun, ini jelas tidak dapat menafikan kesengsaraan yang ditimbulkannya.

Beginilah kondisi hidup di sistem yang berdasar korporasi kapitalis, menjadikan urusan kesehatan dijadikan lahan bisnis bagi negara. Bahkan tidak hanya dalam hal kesehatan, BBM, harga sembako, sandang pangan papan, tidak luput dari kapitalisasi. Dalam negara Demokrasi, negara bukanlah sebagai pelindung dan penjaga rakyat. Negara hadir hanya sebagai regulator/pembuat aturan bagi korporasi. 

Seharusnya pemerintah belajar bagaimana para khalifah bersikap terhadap persoalan kehidupan masyarakat. Visioner, karakternya sebagai raa’in (pemelihara urusan rakyat) dan junnah (pelindung/pencegah) masyarakat dari berbagai kesulitan, begitu kuat dan menonjol.

Ini tampak dari ruang pelayanan kesehatan yang benar-benar meraih puncak kemanusiaan. Salah satu buktinya dipaparkan sejarawan berkebangsaan Amerika W. Durant, Rumah Sakit Al Manshuri (683 H/1284 M) Kairo, sebagai berikut:

“…Pengobatan diberikan secara gratis bagi pria dan wanita, kaya dan miskin, budak dan merdeka; dan sejumlah uang diberikan pada tiap pasien yang sudah bisa pulang, agar tidak perlu segera bekerja…” (W. Durant: The Age of Faith; op cit; pp 330-1).

Inilah yang dirasakan umat selama puluhan abad. Mereka mendapatkan hak paten dalam hal kesehatan tanpa pandang bulu. 
Sejarah terus mencatat kesejahteraan dan keamanan buah dari pemimpin yang menerapkan Syariat Islam dalam sistem kekhilafahan. 

Islam begitu menyadari bahwa kesehatan adalah kebutuhan pokok dan mendasar bagi setiap manusia, dan negara adalah pihak yang bertanggung jawab penuh dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan. 
Maka, hanya sistem pemerintahan Islam, Khilafah lah yang mampu mewujudkannya. 

Tidak akan ada premi BPJS Kesehatan, dan tidak ada sanksi pagi penunggak. Yang ada hanyalah pelayanan terbaik dan tulus yang dirasakan umat keseluruhan. Terlepas dari itu pula, Khilafah adalah aturan sempurna yang bersumber dari Allah SWT, bagi umat manusia. 

Post a Comment

Previous Post Next Post