BPJS Kontraproduktif, Peserta Di Anak Tirikan

By : Mitri Chan

Cerita tentang pelayanan kesehatan bagi masyarakat pengguna BPJS selalu membuat hati trenyuh, mengelus dada bahkan tak jarang menimbulkan emosi. Salah satunya ketika seorang ibu yang mengantar berobat orangtua nya di sebuah RS daerah Bogor, merasa diperlakukan diskriminasi oleh tenaga kesehatan. Ibu tersebut merasa perlakuan dokter sangat kasar hanya karena ia dan orangtuanya terlambat beberapa menit memasuki ruang periksa. Hal itu bukan karena sengaja, tapi ruang tunggu sangat padat oleh pasien rawat jalan sedangkan orangtuanya yang menggunakan kursi roda harus menunggu di kursi tunggu paling belakang. Terlebih ketika menuju ruang periksa, ada pengguna kursi roda lain di depannya jadi butuh beberapa menit untuk sampai di ruang periksa dokter. Sayangnya, penjelasan pasien tidak diterima oleh dokter. Sebaliknya dokter tersebut bersikap apatis, marah pada pasien dan mengatakan bahwa dirinya sangat sibuk, banyak urusan lain jadi kalau mau terlambat jangan ke sini. Perkataan nakes tersebut membuat pasien sangat tersinggung karena ia merasa bayar (iuran BPJS) kenapa diperlakukan kasar.

Di sisi lain, jumlah pasien peserta BPJS kelas 3 membludak karena kebanyakan dari masyarakat menengah ke bawah. Apalagi setelah iuran BPJS dinaikkan 100%, peserta BPJS ramai-ramai turun ke kelas 3. Banyaknya pasien membuat beban tenaga kesehatan (nakes) menjadi berlebihan. Satu dokter bisa saja melayani 5 ribu pasien BPJS sehingga waktu konsultasi menjadi sangat minim. Tenaga kesehatan harus bekerja ekstra sementar insentif yang mereka dapatkan minimal. Mungkin ini yang memicu kekesalan dokter tersebut, beban kerja, insentif yang minimal membuat kinerja dan pelayanan menjadi tidak optimal. Sehingga keinginan pasien yang ingin mendapatkan pelayanan terbaik tidak selaras dengan keinginan tenaga kesehatan karena dokter juga manusia.

Sehingga layanan kesehatan yang diharapkan sebagai solusi kesehatan negeri ini alih-alih tercapai, justru malah kontraproduktif. Ujung-ujungnya rakyat baik pasien maupun nakes jadi korban kebijakan yang salah arah. Sehingga kasus seperti ini banyak sekali terjadi di lapangan. Tapi, mau mengadu pada siapa?

Sejak awal mula berdiri, BPJS sudah bermasalah karena sebenarnya skema asuransi memang tidak mampu menjamin semua pelanggan. Kerugian bahkan sudah dirasa sejak tahun pertama BPJS diberlakukan, salah satunya karena BPJS mewarisi hutang dari pendahulunya yaitu PT Askes. Ironinya, beban defisit itu justru dibebankan kepada masyarakat alih-alih mendapatkan jaminan kesehatan gratis yang mereka impikan. 

Sudahlah diminta membayar iuran per bulan, dan ketika terjadi masalah mereka harus menanggungnya sendiri (defisit). Ini artinya, pemerintah tidak mampu memberikan layanan kesehatan maksimal pada rakyat. Jika pemerintah berniat meringankan beban rakyat, bukan dengan BPJS tapi naikkanlah anggaran APBN untuk kesehatan. Selama ini anggaran kesehatan hanya 5% saja (tahun 2018), itu sangat kecil untuk 265 juta jiwa rakyat Indonesia bahkan tidak sebanding dengan dana pelesiran para pejabat. 

Untuk menyelamatkan jiwa maupun psikis masyarakat, sebaiknya BPJS dihapuskan saja diganti dengan murahnya biaya pengobatan. Tambahlah anggaran kesehatan, perbaiki sarana dan prasarana, obat murah, fasilitas kesehatan terjangkau, gaji nakes pantas, dll. Semua itu bukan mimpi jika pemerintah amanah mengelola sumber daya alam yang sangat melimpah di negeri ini. Itu semua akan terwujud jika pemimpin di negeri ini menjalankan konsep riayah ummat sebagaimana yang disebutkan dalam hadits 'Pemimpin itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Ahmad).'

Post a Comment

Previous Post Next Post