Oleh : Leni Ummu Najid
(Pemerhati Masalah Sosial)
Sekretaris Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) Noor Indah bersyukur atas disahkannya revisi undang-undang perkawinan oleh DPR. Salah satu poin penting dalam revisi undang-undang itu, yakni dalam pasal 7 ayat 1, terdapat perubahan batas minimal menikah baik laki-laki dan perempuan, sama-sama harus sudah menginjak usia 19 tahun. Dengan begitu keduanya sudah dapat dipastikan memiliki KTP, jelas legalitas sebagai warga negara sudah ada ujarnya kepada Berau post (https://berau.prokal.co/read/news/61878-sekretaris-p2tp2a-itu-perlu-disyukuri.html).
Revisi ini dianggap oleh beberapa pihak akan menyelesaikan masalah pernikahan dini pada anak. Mereka menganggap bahwa pernikahan dini akan menghilangkan hak anak untuk mengenyam pendidikan dan mencari pengalaman bekerja khususnya untuk remaja perempuan. Pernikahan dini juga digadang menjadi penyebab maraknya kekerasan dalam rumah tangga(KDRT) (https://www.voa-islam.com/read/citizens-jurnalism/2019/09/20/67369/pembatasan-usia-pernikahan-solusi-atau-ilusi/).
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya apakah batasan usia menikah akan menjamin menyelesaikan berbagai permasalahan di dalam pernikahan. Ada banyak faktor yang menyumbang permasalahan dalam pernikahan. Pernikahan dini sering kali terjadi akibat adanya masalah pergaulan bebas yang terjadi dikalangan remaja. Derasnya arus informasi terutama yang menjajakan pornografi maupun pornoaksi menyuburkan pergaulan bebas bahkan perzinahan. Kemiskinan yang diciptakan oleh sistem kapitalisme telah memaksa istri untuk ikut menanggung beban ekonomi keluarga yang sejatinya menjadi kewajiban suami.
Saat itulah perempuan banyak yang menjadi objek eksploitasi khususnya dalam dunia kerja. Demikian pula kekerasan dalam rumah tangga. Bila ditelusuri lebih dalam, masalah ini juga sangat erat kaitannya dengan kondisi di luar lingkungan rumah tangga. Stres yang dialami suami karena beratnya beban hidup turut menjadi andil. Sistem sekular juga terbukti telah gagal dalam membina perempuan mempersiapkan pernikahan sejak dini. Kurikulum pendidikan sekular tidak mampu membentuk generasi yang matang sehingga jikalau mereka memasuki jenjang pernikahan, banyak persoalan yang tidak mampu diatasi.
Di dalam Islam tidak pernah disebutkan secara pasti batas minimum usia pernikahan, yang disebutkan hanyalah ukuran kemampuan menikah. Hal ini didasarkan hadist riwayat Imam Bukhari dari Abdullah Bin Mas'ud. Rasulullah bersabda, "Hai pemuda, siapa di antara kalian yang telah mampu maka menikahlah. Menikah itu menundukkan pandangan dan lebih baik untuk kemaluan. Namun siapa yang belum mampu maka hendaknya ia puasa,karena itu lebih baik baginya."
Dari hadist di atas menjelaskan bahwa batasan syarat menikah adalah kemampuan secara finansial, meski tidak harus kaya. Selanjutnya juga harus siap mental yaitu siap menjalankan kewajiban baik sebagai suami maupun istri. Terkait batasan usia, hal itu bergantung pada kondisi masing-masing orang, dan tidak bisa disamakan. Hal ini pun juga sangat dipengaruhi oleh pendidikan mereka, baik pendidikan mereka di lingkup keluarga dan masyarakat (non-formal) atau pendidikan mereka di lingkup sekolah formal.
Pemerintah seharusnya menciptakan sistem pendidikan yang mengarahkan terwujudnya persiapan tersebut. Dengan kesiapan ini, tak seharusnya pergaulan bebas menjadi pilihan pasangan muda mudi. Dengan ini pula, tudingan miring pada pelaku nikah dini dapat dieliminir karena mereka tetap mampu menjalani kehidupan rumah tangganya dengan baik. Tingkat perceraian pun akan bisa diminimalisir karena ketahanan rumah tangga yang telah dibangun.
Karenanya, untuk menghadapi persoalan dalam kehidupan rumah tangga, bukanlah dengan membatasi usia pernikahan. Akan tetapi dengan kembali menata sistem kehidupan dengan sistem yang sesuai dengan fitrah penciptaan manusia, memuaskan akal, dan menentramkan jiwa. Dan sistem yangdapat memenuhi syarat tersebut hanyalah sistem syariat Islam kaffah.
Post a Comment