Oleh : Nur Fitriyah Asri
Penulis Ideologis Bela Islam Akademi Menulis Kreatif
Allah berfirman: "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh yang ma'ruf dan mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah (TQS Ali Imran: 110).
Predikat itu sekarang lepas dari identitas tubuh kaum muslimin sejak 3 Maret 1924, runtuhnya khilafah Ustmaniyah di Turki. Benteng penjagaan itu telah sirna sehingga membuat umat Islam cerai-berai menjadi 50 lebih nation state. Khilafah yang semula merupakan negara kesatuan telah berubah menjadi negeri-negeri kecil yang terjajah dan tertindas, penuh diwarnai penderitaan dan kehinaan.
Penghinaan itu terus berlanjut dan semakin berani. Seperti, pernyataan penulis dan kader PDIP Kanti W Janis, yang menyebut "Khilafah bukan ideologi tapi sekte sesat." Menurut Kanti, para penyebar khilafah harusnya dipandang sebagai sekte. Sebab mereka telah membengkokkan dari ajaran agama Islam. (Dirilis oleh Gesuri.id.16/09/2019). Pernyataan itu sungguh lancang dan keji. Kanti mengikuti jejak Viktor Laiskodat, orang kafir secara terang-terangan menghina khilafah ajaran Islam. Anehnya hingga sekarang tidak tersentuh hukum, padahal melanggar undang-undang penistaan dan penodaan agama. Demikian juga insiden di Wamena yang menjadi korbannya adalah orang-orang muslim. Semua itu membuktikan, bahwa kondisi umat Islam di negara yang mayoritas muslim mengalami diskriminasi. Keadilan tidak berlaku untuk orang muslim. Ironi, umat Islam khususnya ulamanya diam seribu basa mengetahui khilafah ajaran Islam dihinakan.
Muncul pertanyaan, mengapa sekarang ini orang-orang kafir, liberal, sekuler dan musuh-musuh Islam semakin berani menyerang khilafah ajaran Islam?
Hal ini tidak terlepas dari kriminalisasi yang dilakukan oleh rezim terhadap khilafah. Khilafah diposisikan sebagai ancaman. Selalu diframing dan dinarasikan negatif, serta dihembuskan secara masif, bahwa khilafah bertentangan dengan Pancasila, NKRI, radikalisme, terorisme. Barat sangat meyakini bahwa khilafah akan tegak kembali, jika demikian akan membuat Barat kehilangan statusnya sebagai negara adidaya. Oleh sebab itu Barat berusaha dengan berbagai cara menghadang tegaknya khilafah. Antara lain dengan mengadu domba umat Islam supaya tidak bersatu, dan memfitnah khilafah dengan tudingan-tudingan negatif agar memunculkan islamofobia (umat Islam takut dengan agamanya). Begitu juga dengan Indonesia yang sudah terikat dengan perjanjian PBB, tentu ikut arahan tuannya yaitu AS. Dampak terjangkitnya virus islamofobia, rezim ketakutan sehingga mencabut BHP HTI, salah satu ormas Islam yang konsen terhadap perjuangan syariah dan khilafah. Padahal dalam sidang tidak bisa membuktikannya. Selanjutnya Menkopolhukam Wiranto berencana menggodok aturan untuk mengkriminalisasikan setiap individu yang mengusung dan mendakwahkan khilafah.
Ini sama artinya dengan memberikan legitimasi kepada pihak-pihak yang membenci Islam. Benar-benar rezim represif anti-Islam.
Faktor lain yang berpengaruh adalah diamnya ulama atau pemuka agama saat khilafah diserang. Bahkan ada pemuka agama atau ulama yang ikut-ikutan menyerang dan mengkriminalisasikan khilafah. Inilah ulama suu' (ulama buruk). Karena perbuatan ulama suu' itulah, orang-orang kafir menjadi berani dan beringas menghina dan memusuhi Islam.
Ulama Suu' (ulama buruk) sangat berbahaya karena menutupi kebenaran firman Allah Swt dan sabda Rasulullah Saw. Padahal, khilafah dalilnya jelas termaktub pada Alquran, Assunah dan Ijma' sahabat. Bahkan, ada yang berani memanipulasi hukum-hukum Allah hanya untuk memuaskan syahwat nafsunya mencintai dunia. Ulama suu' mengumbar fatwa dan menjadi stempel untuk melegislasikan kebijakan-kebijakan penguasa yang merugikan rakyat.
Semua itu disebabkan karena sistem demokrasi sekularisme yang diadopsi oleh negara ini. Sistem yang rusak dan merusak, karena memisahkan agama dengan kehidupan. Agama tidak boleh mengatur urusan kehidupan manusia. Agama hanya mengatur sebatas ibadah mahdah dan akidah semata.
Ulama suu' lebih memilih zona aman dan nyaman. Tidak berani melakukan aktivitas amar ma'ruf nahi munkar kepada penguasa. Ulama suu' silau terhadap harta dan jabatan. Meskipun semula mengakui bahwa khilafah ajaran Islam, namun dengan mudah dia berbalik lidah. Mereka menjual agamanya dengan harga yang murah. Rasulullah Saw mengingatkan, "Bencana bagi umatku datang dari ulama suu' yaitu ulama dengan ilmunya bertujuan mencari kenikmatan dunia, meraih gengsi dan kedudukan. Setiap orang dari mereka adalah tawanan setan. Ia telah dibinasakan oleh hawa nafsunya dan dikuasai oleh kesengsaraannya. Siapa saja yang kondisinya demikian, maka bahayanya terhadap umat datang dari beberapa sisi. Dari sisi umat, mereka mengikuti ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya.
Ia memperindah penguasa yang menzalimi manusia dan gampang mengeluarkan fatwa untuk penguasa. Pena dan lisannya mengeluarkan kebohongan dan kedustaan. Karena sombong, ia mengatakan sesuatu yang tidak ia ketahui." (Faydh al- Qadir,
VI/369).
Imam al-Ghazali mengatakan, “Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (Ihya’ Ulumuddin II hal. 381).
Dalam sistem demokrasi kapitalisme, ulama diam pasif meskipun melihat kemaksiatan yang dilakukan penguasa, tidak berani beramar ma'ruf nahi munkar. Sebaliknya, mendekati penguasa justru merapat untuk mendapat manfaat. Padahal, Nabi Muhammad Saw bersabda:
ﺷِﺮَﺍﺭُ ﺍْﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺍَﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﻳَﺄْﺗُﻮْﻥَ ﺍﻷُﻣَﺮَﺃ ﻭَﺧِﻴَﺎﺭُ ﺍﻷُﻣَﺮَﺃِ ﺍَﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﻳَﺄْﺗُﻮْﻥَ ﺍْﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ
"Paling buruknya ulama adalah mereka yang mendatangi penguasa dan sebaik-baiknya penguasa adalah mereka yang mendatangi ulama."
Jadi wajar terjadi kerusakan di mana-mana. Karena Islam dan ajarannya dicampakkan. Akibatnya di era demokrasi sulit untuk menemukan sosok ulama pewaris nabi. Mereka jumlahnya amat sedikit dan dikriminalisasi oleh penguasa yang anti kritik.
Menurut pandangan Islam, penguasa atau imam atau khalifah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk menerapkan syariah dalam mengatur urusan umat dan negara. (TQS al-Maidah: 49).
Berkaitan dengan peran ulama dalam politik, seharusnya ulama adalah:
1. Memberikan loyalitas hanya pada Islam. Hanya takut kepada Allah meskipun harus mati tersungkur karena kelaliman penguasa.
2. Mengawal kekuasaan agar tetap berjalan di atas syariat Islam.
3. Menjadi garda terdepan dalam mengoreksi penguasa zalim. "Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kata-kata yang haq di depan penguasa yang zalim." (HR Ahmad, Ibn Majah).
4. Membimbing umat dan penguasa, agar selalu berjalan di atas Islam. Ulama tidak menyibukkan diri pada ibadah mahdah belaka, tetapi terjun langsung dan berinteraksi dengan masyarakat.
5. Membentengi umat dari ide-ide kufur (paham, keyakinan, dan sistem hukum yang bertentangan dengan Islam, misalnya sekularisme, pluralisme, liberalisme, demokrasi, dan lain-lain.
Ketika ulama berlaku lurus dan tegas kepada penguasa, hakikatnya ia telah mencegah sumber kerusakan. Sebaliknya, tatkala ia berlaku lemah kepada penguasa zalim, saat itulah ia menjadi pangkal segala kerusakan.
Solusinya hanya satu yaitu tegakkan kembali khilafah. Khilafah adalah institusi yang dipimpin oleh seorang khalifah, mempersatukan umat Islam seluruh dunia, dan menerapkan Islam secara kafah dan mengemban dakwah ke seluruh dunia. Dengan begitu rahmatan lil alamin akan terwujud.
Wallahu a'lam bishshawab.
Post a Comment