Pengkhianat Negara, Mahasiswa atau Koruptor?



Oleh : Heni Kusmawati, S.Pd

Akhir pekan kemarin, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menghadiri acara pembukaan penerimaan mahasiswa di salah satu universitas PKN STAN. Dalam acara tersebut, Sri Mulyani menjadi pembicara. Dia menyampaikan kepada para mahasiswa yang hadir agar mereka tidak  menjadi pengkhianat negara RI. Karena menurutnya, untuk menempuh pendidikan, mahasiswa dibiayai oleh negara (minews.id).

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, pengkhianat negara adalah perbuatan yang bertentangan dengan janji dan tidak setia kepada negara. Dari definisi ini, maka mahasiswa bukanlah termasuk pengkhianat negara akan tetapi penyelamat negara. Mahasiswa adalah agen perubahan, karena di tangan merekalah tolok ukur baik buruknya sebuah negara. Munculnya pernyataan mahasiswa sebagai pengkhianat negara disebabkan melihat mereka menuntut keadilan dari para penguasa atas kebijakan-kebijakan yang dibuat. Mahasiswa sudah tidak lagi diam membisu karena tuntutan mereka hanya satu yakni perbaikan rakyat.

Jadi, pernyataan Sri Mulyani agar mahasiswa tidak boleh mengkhianati negara tidaklah tepat. Karena mahasiswa sendiri yang membayar uang pendidikan. Jika tidak mampu membayar, maka mahasiswa tersebut tidak diikutsertakan dalam perkuliahan. Seperti yang dilansir kompas.com, 19/3/2018, sebanyak 26 mahasiswa salah satu kampus negeri Makassar yang masih semester 2 dari fakultas berbeda di DO karena telat membayar uang kuliah.

Seharusnya yang pantas disebut pengkhianat negara adalah para koruptor dan antek asing. Sebab mereka telah mengkhianati amanah yang diberikan oleh rakyat. Rakyat telah memilih mereka untuk menjadi pemimpin dan wakil rakyat. Semestinya dengan amanah yang diberikan, rakyat harus dilindungi dan dilayani dengan cara memenuhi semua kebutuhan baik primer maupun sekunder. Namun, para wakil rakyat jangankan memenuhi kebutuhan sekunder, kebutuhan primer saja sangat sulit dipenuhi.  Buktinya masih ada rakyat yang tidak bisa makan dalam sehari. Kesehatan, mereka sendiri yang harus bayar melalui pembayaran iuran BPJS. Pendidikan hanya dinikmati oleh orang-orang yang berduit. Sementara yang tidak memiliki uang, harus terhenti di tengah jalan.

Demikianlah kondisi yang terjadi di negeri yang menjadikan aturan buatan manusia dalam mengatur kehidupan. Aturan dari Pencipta diambil hanya dalam hal ibadah-ibadah ritual saja. Maka, wajar para koruptor dan penguasa yang menjadi kaki tangan penjajah tetap eksis di negeri ini. Para koruptor semakin menggila. Apalagi dengan adanya  undang-undang KPK dan UU pemasyarakatan, dimana napi koruptor diberikan remisi berupa cuti. Setali tiga uang dengan para penguasa, rakyat tidak boleh sembarang mengkritik para penguasa. Jika ada yang mengkritik kebijakan yang dibuat maka akan diberikan sanksi yang tidak ringan.

Untuk itu, satu-satunya solusi agar pengkhianat negara tidak lagi eksis yakni kembali pada sistem Islam. Sistem yang bersumber dari Allah SWT, pencipta alam semesta beserta seluruh isinya. Sistem Islam menjadikan akidah Islam sebagai asasnya. Dengan begitu akan menutup celah bagi siapa pun yang menjadi wakil rakyat melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. Seperti mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya (korupsi). 

Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, pernah diberikan sebuah kebijakan agar para harta kekayaan yang dimiliki oleh pejabat dihitung, baik sebelum maupun setelah menjabat. Jika terdapat kelebihan harta dari pejabat tersebut, khalifah tidak segan-segan untuk mengambilnya. Tidak hanya itu, beliau juga melarang para pehabat untuk berbisnis. Hal ini karena dikhawatirkan mereka menyibukkan diri untuk berbisnis sementara tanggung jawabnya sebagai pejabat terbengkalai.

Inilah keistimewaan sistem yang bersumber dari pencipta, apapun masalahnya akan terselesaikan. Berbeda jauh dengan sistem buatan manusia, masalah terus bermunculan serta tidak akan ada akhirnya.

Wallahua'lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post