(Praktisi Pendidikan)
Seorang mahasiswa di Kampus IAIN Kendari, Hikma Sanggala dikeluarkan dari kampus karena tuduhan tidak jelas. Pengacara Hikma dari LBH Pelita Umat, Chandra Purna Irawan mengatakan bahwa kliennya dikeluarkan karena dituding berafiliasi dengan aliran sesat dan paham radikalisme (Kiblat.Net, 3/9/19)
Hikma Sanggala sendiri tercatat sebagai mahasiswa berprestasi yang mendapat piagam sertifikat penghargaan dengan IPK tertinggi se-fakultas, saat sedang menyusun skripsi malah di DO oleh rektornya.
Pada tanggal 27 Agustus 2019 Hikma Sanggala menerima 2 surat sekaligus yaitu surat dari Dewan Kehormatan Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa nomor : 003/DK/VIII/2019 tentang Usulan Penjatuhan Terhadap Pelanggaran Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa IAIN Kendari. Dan surat Keputusan Rektor IAIN Kendari Nomor 0653 Tahun 2019 Tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Sebagai Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Kendari.
Padahal untuk membiayai kuliahnya Hikma tak mudah karena ia harus bekerja keras untuk itu.
Tidakkah ada pertimbangan dari sang rektor atas prestasi dari mahasiswanya? Kemanakah kalangan yang selalu berfikir ilmiah demi sebuah keputusan, harusnya menganalisa suatu masalah dan membuktikannya dengan tidak terburu membuat keputusan yang merugikan.
Belum lagi ada keputusan dari pemerintah akan definisi terkait ‘radikalisme’. Yang hingga saat ini tidak ada satupun keputusan Pemerintah, Putusan Pengadilan, dan norma Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang defenisi ‘radikalisme’ dan/atau memasukan ‘radikalisme’ sebagai sebuah kejahatan.
Sungguh suatu kesimpulan yang sangat dini hingga merugikan pihak lain tanpa ada peringatan dan kesempatan untuk membela diri bagi sang mahasiswa, pupus sudah harapan yang diimpikan. Apalagi usaha keras yang dirintis demi mewujudkan sebuah gelar yang akan disandang untuk dibanggakan pada orang tuanya.
Sebaliknya sebuah disertasi yang hanya pantas masuk dalam keranjang sampah malah mendapat apresiasi dari suatu lembaga pendidikan yang berlabel Islam.
Abdul Aziz, Doktor lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta menjelaskan tentang akad atau perjanjian hubungan intim di luar nikah yang dinilainya tidak melanggar hukum Islam (Tempo.Co, 3/9/19)
Dia menyampaikan disertasi bertema hubungan intim tanpa nikah dengan konsep Milk Al-Yamin dari Muhammad Syahrur tersebut pekan lalu. Aziz pun lulus menjadi doktor dari UIN Yogya dengan nilai yang memuaskan.
Inilah pendidikan sekuler dimana asas kebebasan dijunjung tinggi tanpa memperhatikan hukum Islam yang sebenarnya membawa kemaslahatan bagi umat.
Bagaimana bisa menegakkan kebaikan sementara zina perbuatan yang hina dianggap sebagai suatu yang sah dan legal, padahal Rasulullah SAW bersabda: " Satu hukum Allah yang benar-benar diterapkan di muka bumi adalah lebih baik bagi penduduk bumi daripada mereka diberi hujan selama empat puluh pagi" (HR. Ibnu Majah, Ahmad, an Nasa)
Harusnya sebuah lembaga pendidikan Islam dapat memahami bahwa kemaslahatan umat hanya bisa terlihat dengan sistem pendidikan Islam seperti saat zaman keemasan dimana para intelektual Islam berjaya dengan karya yang berguna membangun umat.
Perbuatan zina yang telah jelas hukumnya haram karena perbuatan maksiat akan mengundang azab Allah masih saja dicari dalihnya agar bisa dilegalkan. Benar-benar menyedihkan!
Tak kalah kontraversi film yang akan tayang di hari Santri yaitu "The Santri" sangat melukai perasaan masyarakat muslim yang teguh memegang aqidahnya.
Betapa tidak menggores perasaan muslim karena dalam film itu ada pengaburan aqidah di mana adegan seorang santri masuk ke dalam gereja menyerahkan tumpeng pada pendeta. Apalah perlunya masuk gereja? Demi sebuah nilai toleransikah?
Sudah teramat jelas dalam Islam batasan toleransi,
QS Al Kafirun ayat 2:
Ù„َا Ø£َعْبُدُ Ù…َا تَعْبُدُونَ
Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
Ayat 3 :
ÙˆَÙ„َا Ø£َÙ†ْتُÙ…ْ عَابِدُونَ Ù…َا Ø£َعْبُدُ
Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
Lalu lebih jelas lagi ayat 6:
Ù„َÙƒُÙ…ْ دِينُÙƒُÙ…ْ ÙˆَÙ„ِÙŠَ دِينِ
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.
Bagi kalian agama kalian yang kalian bersikukuh mempertahankannya, dan bagiku agamaku yang aku tidak akan mencari selainnya.
Gambaran santri yang ikhtilat (campurbaur antara laki-laki dan perempuan) pada film itu jelaslah tak ada dalam pesantren karena yang menyutradarai film itu bukan seorang muslim hingga nilai yang ditonjolkan hanya nilai yang laku di pasaran.
Meskipun sutradara dari belahan dunia yang dianggap bertangan dingin dalam perfilman namun apalah artinya jika nilai yang divisualisasikan bertolakbelakang dengan ciri santri yang sebenarnya.
Memang suatu yang mustahil jika seorang kafir dapat memberitakan kebaikan yang ada pada kaum muslimin, seorang sutradara yang non muslim jelas tidak dapat menggambarkan kehidupan dalam pesantren.
Film The Santri di gadang-gadangkan seorang petinggi organisasi Islam sebagai film terbaik, hingga santri yang terbaikpun akan terpilih dikirim ke Amerika. Tak perlulah keberhasilan seorang santri berkiblat ke Amerika yang tak lain adalah negara sekuler, lantas nilai agama apa yang dapat dipetik pada negara yang memuja kebebasan itu.
Sungguh munafik jika sesuatu dianggap baik namun sesungguhnya merusak, itulah realita di masyarakat kini, menyedihkan!
Kembali pada sistem pendidikan Islam sejatinya solusi dari semua permasalahan yang ada dalam dunia pendidikan. Seperti zaman keemasan dimana peradaban Islam yang gemilang menguasai peradaban dunia selama empat belas abad. Akankah masa itu terulang? Jawabnya ada dipundak kita sebagai pengemban perjuangan, seberapa besar pengorbanan kita menolong agama Allah. Wallahu a'lam bishowab.
Post a Comment