Koruptor Buah Rezim Otoriter

Oleh : Dian Safitri. S.Pd.I

Pemerintah dan DPR pada selasa (17/9) lalu resmi mengesahkan perubahan UU nomor 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi atau revisi UU KPK.
  
Pengesahan ini dilakukan di tengah penolakan yang disampaikan oleh KPK, publik dan kalangan akademisi. Namun bagi pemerintah dan DPR mengklaim bahwa revisi UU KPK bertujuan menguatkan kelembagaan KPK, bukan untuk melemahkan. Menteri hukum dan Ham Yassona. H laoly berdalih bahwa revisi UU KPK tidak sedikitpun melemahkan namun justru penyempurnaan.
(tribunnews.com. 18/9/2019). 

Benarkah demikian? Jika dilihat dari revisi undang-undang KPK, banyak sekali kejanggalan. Mulai dari revisi UU KPK berlangsung sangat cepat serta tidak melibatkan KPK sebagai pihak yang menjadi obyek dalam undang-undang tersebut. Salah satu point dalam revisi UU tersebut adalah Status kepegawaian KPK harus ASN, ini berarti KPK tidak bisa mandiri karena berada di bawah kekuasaan pemerintah yang nantinya akan patuh terhadap kekuasaan. Tidak hanya itu, Komisi Hukum DPR dan pemerintah sepakat membawa revisi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Salah satu poin strategis yang sudah disepakati DPR dan pemerintah dalam Revisi UU Pemasyarakatan itu adalah kemudahan pembebasan bersyarat bagi narapidana kasus kejahatan luar biasa seperti korupsi. 

UU KPK yang sebelum direvisi saja, koruptor merajalela, apalagi jika direvisi. Tentu akan semakin banyak para koruptor. Benarlah yang disampaikan petisi 
Henri Subagiyo menolak revisi undang-undang KPK karena dinilai bisa memundurkan langkah KPK dalam menyelesaikan korupsi. 

Apalagi kasus korupsi saat ini semakin menjamur. Ini disebabkan karena pelaku-pelaku korupsi adalah para wakil-wakil rakyat. Ketika mereka bersaing untuk menduduki kursi wakil rakyat, apapun akan dilakukan, misalnya suap. Ketika berhasil, mereka memikirkan cara untuk mengembalikan modal yakni dengan melakukan korupsi. Munculnya kasus korupsi juga tidak terlepas dari sistem yang diterapkan yakni sistem demokrasi.  kebebasan menjadi landasan dalam berbuat. Kebebasan berprilaku, atas nama HAM, seseorang bebas melakukan apa saja demi meraih tujuan yang diinginkan. Demi mendapatkan jabatan, maka suap-menyuap menjadi solusinya. Adanya Kebebasan kepemilikan dimana seseorang bebas memiliki dan memperoleh apa saja sesuka hatinya tanpa perduli halal atau haram. Dengan korupsi, maka apapun yang ingin dimiliki bisa tercapai.

Harapan menghilangkan kasus korupsi di tengah sistem demokrasi hanyalah harapan kosong. Karena hanya sistem islam yang diterapkan oleh negara yang mampu menghilangkan kasus korupsi. Sistem islam,  memiliki tiga pilar dalam penegakkan hukumnya. Pertama adanya ketakwaan individu. Seseorang yang menjadi wakil rakyat, selalu merasa diawasi oleh Allah dalam menjalankan amanahnya sebagai wakil rakyat. Amanah yang sangat besar, dimana kelak akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Sehingga untuk melakukan perbuatan yang dilarang (korupsi) terasa berat. Kedua, adanya pengontrolan masyarakat dan yang ketiga adalah peran negara. Negara tidak akan memberikan celah bagi siapa pun termasuk wakil rakyat untuk melakukan apa yang dilarang oleh Allah. Jika terbukti ada yang melakukannya (misalnya korupsi), negara akan memberikan sanksi yang tegas kepada pelakunya.

Dengan demikian, hanya Syariah Islam  satu-satunya sistem hukum yang berlaku di negara yang akan memainkan perannya yang sangat efektif untuk pemberantas korupsi, baik peran pencegahan
(preventif) maupun penindakan (kuratif).

Wallahu A'lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post