By : Erni Susanti, SS
Korupsi seolah menjadi penyakit akut di negeri ini. Berbagai macam cara sudah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun bagai pungguk merindukan bulan, korupsi sulit sekali dihilangkan. Korupsi seolah sudah membudaya , dari rakyat kecil hingga para penguasa. Yang lebih ironis pelaku korupsi itu adalah muslim bahkan tokoh partai islam pun terjerat korupsi.
Ketum PPP Romahurmuzy, dan mantan Menpora Imam Nahrawi adalah contohnya. Selama ini wewenang ini pemberatasan korupsi diserahkan kepada KPK, KPK menjadi satu-satunya lembaga yang mampu menindak korupsi.
Meski korupsi menjadi musuh bersama, namun jika tidak dipahami akar utama penyebab korupsi maka selamanya korupsi akan terus menggurita di negeri ini. Penyebab pertama adalah diterapkannya sistem kehidupan yang sekuler. Korupsi adalah buah dari gaya hidup materialisme yang semata-mata mengejar kesenangan duniawi. Korupsi juga buah dari sekulerisme yang memisahkan kehidupan dunia dari agama. Mengesampingkan keimanan dan tak takut dosa adalah buah lain dari sekulerisme. Maka tak heran meski muslim, jika dihatinya keimanan di kesampingkan maka sikap rakus dan tamak akan menyelimuti hati mereka.
Penerapan sekuliresme yang memisahkan antara agama dan kehidupan, telah menjadikan politik kering dari nilai-nilai agama. Orientasi pejabat bukan lagi amanah Allah dan ibadah, melainkan keuntungan dunia. Sekularisme juga menjadikan demokrasi sebagai sistem politik dan pemerintahan. Pejabat dipilih rakyat melalui serangkaian pemilihan: pilkada dan pemilu, yang membutuhkan biaya besar. Maka tak heran, setelah menjadi pejabat, mereka akan berusaha untuk balik modal, baik untuk dirinya maupun untuk partai pengusungnya.
Penyebab kedua adalah karena lemahnya sistem penegakan hukum sekaligus lemahnya sanksi yang diberikan kepada koruptor. Penegakan hukum atas korupsi sangat lemah, yang sekaligus juga membuktikan keburukan sistem demokrasi sebagai sistem yang dibuat manusia. Sebagai institusi independen untuk pemberantasan korupsi, pemimpin KPK, mekanisme kerja dan wewenangnya, ditetapkan oleh DPR sebagai wakil rakyat. Padahal, KPK bertugas untuk memberantas korupsi institusi-institusi negara, termasuk di DPR. Begitu pula di revisi UU KPK, yang menetapkan bahwa untuk menyadap dan menggeledah terduga korupsi, KPK harus mendapat izin Dewan Pengawas. Dewan Pengawas diangkat oleh DPR yang menjadi salah satu obyek penyelidikan korupsi. Bagaimana bisa diterima akal bahwa penyelidikan KPK akan berlangsung independen?
Pemberantasan Korupsi Dalam Islam
Islam memiliki beberpa cara untuk memberantas korupsi,diantaranya adalah:
1. Memberikan gaji besar pada aparatur negara
2. Larangan menerima suap. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, yakni bagaimana agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah. Saat Abdullah bin Rawahah tengah menjalankan tugas dari Nabi untuk membagi dua hasil bumi Khaybar – separo untuk kaum muslimin dan sisanya untuk orang Yahudi – datang orang Yahudi kepadanya memberikan suap berupa perhiasan agar ia mau memberikan lebih dari separo untuk orang Yahudi. Tawaran ini ditolak keras oleh Abdullah bin Rawahah, “Suap yang kalian tawarkan adalah haram, dan kaum muslimin tidak memakannya”.
Mendengar ini, orang Yahudi berkata, “Karena itulah (ketegasan Abdullah) langit dan bumi tegak” (Imam Malik dalam al-Muwatta’). Tentang suap Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap” (HR. Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur” (HR. Imam Ahmad).Nabi sebagaimana tersebut dari hadis riwayat Bukhari mengecam keras Ibnul Atabiyah lantaran menerima hadiah dari para wajib zakat dari kalangan Bani Sulaym. Suap dan hadiah akan berpengaruh buruk pada mental aparat pemerintah. Aparat bekerja tidak sebagaimana mestinya sampai dia menerima suap atau hadiah. Di bidang peradilan, hukum pun ditegakkan secara tidak adil atau cenderung memenangkan pihak yang mampu memberikan hadiah atau suap.
3. Perhituangan kekayaan di awal dan akhir masa jabatan. Orang yang melakukan korupsi, tentu jumlah kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Meski tidak selalu orang yang cepat kaya pasti karena telah melakukan korupsi. Bisa saja ia mendapatkan semua kekayaannya itu dari warisan, keberhasilan bisnis atau cara lain yang halal. Tapi perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik sebagaimana telah dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab menjadi cara yang bagus untuk mencegah korupsi. Semasa menjadi khalifah, Umar menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara yang halal. Bila gagal, Umar memerintahkan pejabat itu menyerahkan kelebihan harta dari jumlah yang wajar kepada Baitul Mal, atau membagi dua kekayaan itu separo untuk yang bersangkutan dan sisanya untuk negara. Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang.
4. Teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin, terlebih pemimpin tertinggi, dalam sebuah negara bersih dari korupsi. Dengan takwanya, seorang pemimpin melaksakan tugasnya dengan penuh amanah. Dengan takwanya pula, ia takut melakukan penyimpangan, karena meski ia bisa melakukan kolusi dengan pejabat lain untuk menutup kejahatannya, Allah subhanahu wa ta'ala pasti melihat semuanya dan di akhirat pasti akan dimintai pertanggunganjawab. Ketakwaan ini juga ditanamkan kepada seluruh pegawai negara tanpa terkecuali. Khalifah Umar pernah menyita sendiri seekor unta gemuk milik puteranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik Baitul Mal. Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara. Demi menjaga agar tidak mencium bau secara tidak hak, khalifah Umar bin Abdul Azis sampai menutup hidungnya saat membagi minyak kesturi kepada rakyat.
5. Hukuman setimpal. Pada galibnya, orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakakan dirinya, termasuk bila ditetapkan hukuman setimpal kepada para koruptor. Berfungsi sebagai pencegah (zawajir), hukuman setimpal atas koruptor diharapkan membuat orang jera dan kapok melakukan korupsi. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
6. Pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat dengan tak segan memberi suap dan hadiah. Sementara masyarakat yang mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajaknya berbuat menyimpang. Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, khalifah Umar di awal pemerintahannya menyatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang”. Dengan pengawasan masyarakat, korupsi menjadi sangat sulit dilakukan. Bila ditambah dengan teladan pemimpin, hukuman yang setimpal, larangan pemberian suap dan hadiah, pembuktian terbalik dan gaji yang mencukupi, insyaAllah korupsi dapat diatasi dengan tuntas
Post a Comment