KETERLIBATAN PEREMPUAN DALAM RUANG POLITIK

Oleh : Siti Maisaroh, S.Pd

Pemecah rekor, Puan Maharani menjadi Ketua DPR RI perempuan pertama sepanjang sejarah republik ini. Politikus PDIP ini ditetapkan sebagai ketua DPR periode 2019-2014 dalam sidang paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/10/2019) lalu. (Kompas.com 2/10/2019). Puan berharap bisa menjadi inspirasi bagi perempuan-perempuan Indonesia. Dia mengatakan, penunjukan dirinya sebagai pimpinan DPR menunjukan jika politik bukan suatu hal yang tabu bagi perempuan. “Politik itu dinamikanya berkembang, sangat dinamis, dan ternyata bisa juga menghasilkan perempuan-perempuan yang nantinya bisa membawa manfaat bagi Indonesia.” Katanya lewat keterangan tertulis. (REPUBLIKA.co.id 01/10/2019). 

Sistem Kapitalisme- Demokrasi yang diterapkan memang selalu memberi ruang yang luas untuk kaum wanita terjun langsung menduduki kursi pemerintahan, baik ditingkat pusat maupun didaerah-daerah bahkan pelosok. Beginilah salah satu kampanye Barat (pencipta Kapitalisme) dalam menggunakan hak-hak perempuan dan idealisme feminis untuk mengejar dan memperpanjang kepentingan penjajahan mereka di dunia Islam. Tanpa sadar, perempuan dijadikan alat dan diperdaya untuk memuluskan visi-misi politiknya. 

Indonesia sebagai bagian dari dunia Islam dengan jumlah terbanyak kaum Muslimnya dengan bangga mengadopsi ide Feminisme politik Barat. Sebagaimana UU No. 10/2008 tentang pemilihan umum anggota DPR/DPRD mengharuskan parpol baru dapat mengikuti pemilu setelah menyertakan minimal 30% keterwakilan perempuan. Bersama UU No. 31/2002 tentang Partai Politik dan UU No. 12/2003 tentang Pemilu, proporsi keterwakilan perempuan di DPR diklaim menunjukan tren meningkat. (titro.id)

Terselubung Kepentingan Rezim 
Feminisme politik dimanfaatkan bagi kepentingan rezim dan pengusung ideology Kapitalis lainnya. Dengan diangkat atau terangkatnya Puan Maharani, mengisyaratkan bahwa perempuan dijadikan sebagai komunikator utama penderasan ide feminis.

Kaum pejuang Feminisme sengaja menempatkan perempuan sebagai agen utama Demokratisasi dan perubahan budaya demi mendukung klaim mereka dalam mendiskriminasi ajaran Islam. Dengan memberi ruang dan peluang kepada kaum wanita untuk duduk ‘cantik’ di kursi pemerintahan (kekuasaan) seolah-olah system sekarang (Kapitalisme) berlaku bijak dan adil kepada posisi dan hak-hak perempuan. Tetapi sejatinya, hal ini justru akan menimbulkan banyak masalah baru. Juga dalam Islam hal ini sangat jelas keharamannya, apalagi posisinya sebagai ketua (pemimpin) sebuah badan (instansi) yang dianggap sah untuk merumuskan dan membuat hukum (aturan/ UU) yang sifatnya mengikat hajat hidup orang banyak (rakyat) yang jelas ini telah merampas hak-hak Allah Swt. Sebagaimana firmanNya, “Menetapkan hukum itu hanya hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (Al An’am: 57) 

Peran dan Pemikiran Politik Muslimah dalam Islam 
Pernahkah dalam benak kita bertanya, bolehkah seorang Muslimah berkiprah dalam dunia politik? Jika boleh, apakah Muslimah mampu menjalani tugas sebagai negarawan? 

Tentu saja dibolehkan. Juga kaum Muslimah pasti mampu. Sesungguhnya anugrah akal pikiran yang sama dengan kaum lelaki, akan menjadikan perempuan mampu memiliki kapasitas berfikir tinggi, bahkan yang tertinggi yakni pemikiran politik. Meski syariah Islam membatasi peran perempuan dalam politik pemerintahan tetapi bukan berarti kapasitas pemikiran dan kenegarawanannya dihambat dan dibatasi. Syariah Islam justru memberi peran besar bagi kaum Muslimah yakni sebagai penjaga peradaban Islam dalam kapasitasnya sebagai ilmuwan, penggerak opini dakwah dan ibu generasi. 

Dalam kapasitas pemikiran, Islam tidak pernah membatasi kaum Muslimah untuk menuntut ilmu dan membangun pemikiran yang tinggi, bahkan pemikiran politik terkait ketatanegaraan, kepemimpinan dan politik internasional. Baik laki-laki maupun perempuan diberikan hak dan kewajiban yang sama dalam menuntut ilmu, mendalami tsakofah Islam, memperkaya wawasan, dan mengamalkan ilmunya untuk umat dan kemuliaan Islam. 

Namun mengenai aktifitas politik kaum Muslimah, syariah Islam telah memberi perincian, terdapat sebagian aktifitas yang sama dengan kaum lelaki, namun sebagian lagi berbeda dan dibatasi, Allah Swt berfirman yang artinya, “Orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka memerintahkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran.” (TQS at Taubah: 71). Ayat ini menjelaskan secara lebih spesifik dengan penyebutan laki-laki Mukmin dan perempuan Mukmin untuk melakukan salah satu bentuk aktifitas politik, yaitu amar makruf nahi mungkar. Namun, haruslah dipahami pula keterlibatan kaum perempuan dalam aktifitas politik bukanlah agar mereka dapat menguasai posisi tertentu dalam masyarakat atau agar suara mere ka didengar oleh masyarakat. Akan tetapi, harus dipahami bahwa esensi kiprah politik perempuan adalah sebagai bagian dari kewajibannya yang datang dari Allah swt. 

Aktifitas politik perempuan dalam Islam yang utama dan sama dengan kaum laki-laki adalah hak dan kewajiban baiat kepada khalifah (pemimpin Negara), hak memilih dan dipilih menjadi anggota Majelis Umat, kewajiban menasehati dan mengoreksi penguasa, dan kewajiban menjadi anggota partai politik. Namun diatas semua itu, Islam menetapkan dua peran penting perempuan, yaitu sebagai ibu dan pengelola rumah. Dalam Muqaddimah Dustur bab  “Nizham al-Ijtima’i” dinyatakan “Hukum asal seorang wanita dalam Islam adalah ibu bagi anak-anak dan pengelola rumah suaminya. Ia adalah kehormatan yang wajib dijaga.” Perlu dipahami disini bahwa peran perempuan sebagai istri dan ibu sesungguhnya juga merupakan peran politis. Peran utama dan strategis bagi perempuan adalah sebagai ummu wa rabbatul bait, sebagai pencetak generasi, sehingga terlahir generasi yang berkualitas prima, sebagai pejuang Islam yang ikhlas. Hal ini tidak lain karena Islam menjaga kemuliaan dan martabat perempuan.

Disamping itu Islam juga telah memberikan penjelasan tentang aktifitas politik yang tidak diperkenankan bagi perempuan, yaitu aktivitas-aktivitas yang termasuk dalam wilayah kekuasaan atau pemerintahan, yakni wilayah pengaturan urusan umat yang dilakukan secara langsung dan menyeluruh. Misalnya, menjadi penguasa atau kepala Negara, muawwin tafwidh (pembantu khalifah dalam urusan pemerintahan), wali (kepala wilayah) dan amil (kepala daerah). Rasulullah Saw telah bersabda, “Tidak akan pernah menang suatu kaum yang menyerahkan urusan (kekuasaannya) kepada perempuan.” (HR. Bukhari). Islam telah mengharamkan jabatan kekuasaan bagi perempuan dan mengkhususkan bagi laki-lak, bukan berarti menjadikan perempuan sebagai warga Negara kelas dua. Justru karena melihat ada peran strategis yang diberikan kepada kaum Muslimah, yang tidak akan pernah dapat digantikan oleh kaum lelaki. Sehingga, melihat fakta yang terjadi di Negara kita yakni ketua DPR dipegang oleh seorang perempuan, maka tunggu-tunggu sajalah kehancurannya. Inilah akibat dari diterapkannya system Kapitalis- Demokrasi yang jauh meninggalkan nilai-nilai agama. Waallahu ‘alamu bishowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post